LUNA
Hari ini Mas Jero meminta timnya untuk berkumpul membahas proyek-proyek yang sedang berlangsung. Aku melirik Dewa dan Hanifa ketika Mas Jero menyambut kami dengan mukanya yang kusut.
"Progress KA-ANDAL udah sampai mana?" tanya Mas Jero.
"Masih pembuatan ruang lingkup studi, Mas," jawab Hanifa. Dia bermain mata dengan Dewa, konsultan lain yang bekerja di bawah tim Mas Jero. "Kliennya agak late response pas dimintain dokumen-dokumen yang kita butuhin."
Mas Jero mengangkat sebelah alisnya. Dilihat dari ekspresinya, aku dapat menangkap bahwa dia tidak suka dengan informasi tersebut. "Udah follow up ke klien, Lun?"
Aku mengangguk mantap. "Udah, Mas. By email dan Whatsapp, tapi mereka selalu bilang nanti dikirimin. Sampai sekarang aku masih belum terima dokumennya, Mas."
"Udah seminggu sejak meeting terakhir. Mereka janji buat kasih dokumen yang kita minta di minggu yang sama saat kita meeting, kan?" tanya Mas Jero, berdecak kesal. "Dokumen apa yang masih belum mereka kasih?"
"Semua tentang proyek yang bersangkutan, Mas," sahutku lagi dengan tenang. Meski sebenarnya jantungku berdetak dengan kencang, mengantisipasi kemarahan Mas Jero.
"Terus lo nggak report sama sekali ke gue? Kenapa lo nggak bilang ke gue sebelum weekend kalau lo belum terima dokumennya?" omel Mas Jero. Setelah sebulan lebih berkerja di sini, aku sudah mulai terbiasa dengan omelannya ketika muncul hambatan-hambatan seperti ini dalam proyek. "Kalian tahu kan, kalau klien minta KA-ANDAL selesai bulan ini? Dan itu artinya kalian cuma punya sisa waktu tiga minggu buat selesaikan semuanya. Kalau dokumen aja belum lo pegang, mau selesai kapan? Gue nggak mau denger lo semua ngeluh, ya, kalau terpaksa harus lembur pas mendekati deadline."
Aku, Hanifa, dan Dewa saling melirik. Kalau Mas Jero sudah mengomel panjang, kami memang memilih untuk tidak menyahuti karena tidak ingin manajer itu semakin murka. Walaupun terkadang Mas Jero juga akan semakin marah dan menggerutu jika kami tidak menimpalinya.
"Denger, nggak?" tanya Mas Jero dengan nada yang meninggi. "Kalau gue ngomong, tuh, disahutin. Jangan cuma diem aja."
Tuh, kan!
Sontak, kami bertiga langsung berkoar. "Iya, Mas."
"Penilaian KA-ANDAL itu lama, butuh waktu lebih dari sebulan bahkan bisa lebih dari dua bulan," cerocos Mas Jero lagi, diiringi dengan penjelasan lebih lanjut mengenai proses penilaian KA-ANDAL oleh Komisi Penilaian AMDAL—yang tentunya sudah kuketahui. "Gue nggak mau tahu pokoknya dokumen itu udah harus kalian terima hari ini. Kalau sampai lunch belum kalian terima, kasih tahu gue supaya gue bisa follow up langsung ke manajer HSE-nya. Paham?"
Lagi, kami menyahut berbarengan. "Paham, Mas."
"Minggu ini gue mau bab deskripsi rencana kegiatan proyek, dampak penting hipotetik yang harus dikaji, batas wilayah studi, dan batas waktu kajian harus selesai. Bisa?"
Melalui tatapan mata, aku tahu bukan hanya aku saja yang tidak dapat menyanggupi permintaan tersebut, tetapi Hanifa dan Dewa juga memiliki pemikiran yang sama. Namun, karena tidak ingin mendengar rentetan omelan Mas Jero yang kemungkinan tidak akan berhenti dalam lima belas menit ke depan apabila kami mengatakan tidak, maka kami semua hanya mengangguk bersamaan.
"Good." Mas Jero tersenyum puas. "Hari ini follow up lagi ke orang HSE-nya, Lun."
Aku menegakkan tubuh begitu mendengar namaku disebut. "Oke, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]
RomansaLuna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali di sebuah liburan singkat selama satu minggu ke Malang yang dirancang oleh Lisa, kembarannya Luna. Selama dua puluh empat jam per hari dalam...