LUNA
Ini adalah nasi goreng kedua yang kumakan hari ini. Pencarian makan malam kami di jalan utama tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Mengingat guest house yang kami tinggali berada di tengah pemukiman warga dan sudah hampir tengah malam, tidak ada banyak gerobak makanan yang masih menjajakan jualannya. Ada yang menjual sate ayam dan sate kambing, tetapi penjualnya mengatakan kalau dagangannya sudah habis. Aku dan Aksa harus berjalan beberapa meter lagi hingga menemukan gerobak nasi goreng yang berjualan di depan minimarket dua puluh empat jam.
"Kok bisa kepikiran buat ikut MUN, Lun?" tanya Aksa setelah dia selesai dengan makan malamnya.
Aku mengangkat sebelah tanganku, meminta Aksa untuk menunggu selagi aku mengunyah makananku.
"Kenapa, ya?" Aku balik bertanya setelah berhasil menelan sesuap nasi goreng. "Awalnya nyoba karena iseng dan penasaran. Waktu SMA sempat aktif di ekskul debat, tapi pas kuliah nggak ada UKM kayak gitu lagi." Aku meringis pelan. "Pas submit pendaftaran dan kirim requirements juga cuma modal nekat. Mungkin gue lagi beruntung aja kali, ya?"
"Jangan rendah diri begitu. Seharusnya lo merasa percaya diri dengan kemampuan lo. Nggak semua orang bisa ikut MUN. Cuma orang-orang terpilih aja yang bisa mewakilkan universitas sampai ke ranah internasional dan faktor keberuntungan itu kecil." Aksa menatapku dalam. "You deserved it."
Bibirku terbuka, sedikit terperangah karena ucapannya. Seharusnya aku kedinginan sekarang karena terpaan angin malam yang menyapu kulit, tetapi suatu kehangatan yang tak mampu kujelaskan justru melingkupi tubuhku. Terutama di bagian hati.
"Thanks," gumamku sedikit bersemu, kehabisan kata-kata.
"Ada rencana ikut MUN lagi?"
Aku melepaskan sendok yang ada di genggaman. Dengan keantusiasan yang mendadak menyeruak, aku mengangguk cepat. "Lagi persiapan buat Harvard World MUN."
Bola mata Aksa melebar. Rahangnya jatuh ke bawah. Reaksinya yang agak berlebihan itu membuatku tidak tahan untuk tidak tertawa. "Harvard World MUN?" Aksa berdecak kagum. "One of the largest international MUN conference these days."
Aku terkekeh. "I know. Conference-nya masih bulan Maret, tapi udah mulai persiapan dari sekarang dengan delegasi yang lain."
"Tahun ini diselenggarakan di mana?" tanya Aksa penasaran. "Tempat penyelenggaraannya selalu berubah setiap tahun, kan? Kalau nggak salah tahun lalu di Vancouver. Tahun ini di mana?"
Aku termangu, sedikit ragu untuk membagikan informasi ini. Aku tidak ingin membuat suasana hati Aksa kembali memburuk, tetapi tatapan mata Aksa yang mendesakku untuk memberikan jawaban akhirnya membuatku mau tidak mau mengalah.
Dengan napas yang berembus pelan, aku menyahut. "Melbourne."
"Melbourne?" Laki-laki itu tampak sedang memastikan. Aku mengulum bibir dan mengangguk, bersiap untuk menerima perubahan pada sikap Aksa. Namun, bukannya raut wajah mengeras yang kudapatkan seperti beberapa saat yang lalu, Aksa menyunggingkan senyum lebar. "Kita harus ketemu lagi nanti di Melbourne."
Aku terkesiap, sedikit tidak menduga Aksa akan menelan informasi ini dengan baik. Aku terdiam seraya meneliti raut wajahnya. Dia terlihat baik-baik saja, seperti tidak terganggu dengan kenyataan bahwa dia akan melanjutkan kuliah di Melbourne. Lantas, kenapa dia enggan untuk membicarakan hal tersebut dengan Haris beberapa waktu yang lalu?
Walaupun sedikit kebingungan dengan reaksinya, perhatianku lebih teralihkan dengan kalimat terakhirnya. Ajakannya untuk bertemu di Melbourne itu menimbulkan secercah harapan kalau hubungan kami tidak akan berhenti sampai di sini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]
RomansLuna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali di sebuah liburan singkat selama satu minggu ke Malang yang dirancang oleh Lisa, kembarannya Luna. Selama dua puluh empat jam per hari dalam...