Ch. 2: You're really something

27.4K 2.7K 96
                                    

LUNA

Aku tidak tahu apa tepatnya yang membuatku tidak nyaman. Membiarkan Kevin duduk dengan orang asing yang tidak dia kenal atau kenyataan bahwa Aksa akan duduk di sampingku. Tadinya, aku sudah menawarkan diri untuk mengambil tempat duduk yang berbeda dengan rombonganwalaupun aku sebenarnya tidak ingin duduk dengan orang asing selama perjalan ke Malangtetapi, aku sebenarnya kan, tidak diundang. Jadi, aku cukup tahu diri untuk sedikit menyingkir dan membuat mereka nyaman di liburan yang telah mereka rencanakan dari jauh hari ini.

Namun, niat baikku itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Kevin. Dia bilang, aku sudah susah payah menemani Lisa hingga membatalkan liburan ke Bali sehingga dia tidak ingin membuat liburanku ini semakin berantakan karena harus menghabiskan waktu empat belas jam duduk di samping orang yang tidak kukenal.

"Gue ini bukan orang yang suka perjalanan jauh, Lun. Gampang banget mabok darat. Kemungkinan gue bakal tidur selama di perjalanan karena dari beberapa hari yang lalu juga kurang tidur karena main games sampai pagi," ujar Kevin seraya duduk di kursi kosong yang ada di belakangku. "Daripada Aksa bengong selama di jalan karena gue tidur dan lo juga bengong karena nggak ada teman ngobrol, mendingan gue yang duduk di sini."

Aku menggigit bibir bawahku. "Serius?"

Kevin mendecakkan lidahnya, tampaknya mulai gerah karena sedari tadi aku merecokinya. "Nggak apa-apa. Mending lo duduk yang manis sebelum gue berubah pikiran."

Aku menyapu pandangan ke sekitar. Tidak ada satu pun yang merasa keberatan dengan hal itu. Bahkan, ketika Kevin mengajukan diri untuk duduk terpisah dari kami, aku bisa menangkap mereka semua menghela napas lega. Mungkin karena mereka juga tidak tega membiarkanku duduk sendirian dan membuatku merasa terasingkan dari rombongan.

Aksa menaikkan sebelah alisnya ketika mendapati diriku menumpukan lutut pada kursi kereta seraya menghadap ke belakang—ke arah Kevin. "Ngapain, Lun?"

Aku menunjuk Kevin kemudian memutar badan dan duduk di bangku kosong yang berada di dekat jendela. "Gue kayak ngelunjak banget nggak, sih?"

Tanpa menunggu lama, Aksa menempati kursi yang ada di sampingku kemudian menanggalkan hoodie merahnya, menyisakan kaos berwarna hitam melekat di tubuhnya. Jaket jins yang tadi melekat di tubuhnya sudah menghilang dari pandangan. Kontan, aku mengalihkan pandangan, berusaha untuk tidak terpana dengan ketampanan laki-laki yang duduk di sampingku.

"Nggak," ujarnya santai. "Gue sama anak-anak lebih merasa nggak enak kalau lo harus duduk sendirian. Mendingan duduk sama gue selama empat belas jam kan, daripada duduk sama orang yang nggak lo kenal?"

"Tapi tetap aja gue merasa nggak enak sama Kevin."

"Nggak usah merasa nggak enak," sahut Aksa tenang. "Mau taruhan sama gue?"

Aku menoleh ke arahnya, mengernyit. "Taruhan apa?"

"Gue bertaruh kalau Kevin nggak akan bangun kecuali kalau dia butuh ke toilet atau lapar," ungkap Aksa. Dia menatapku lekat. Dengan jarak sedekat ini, aku baru menyadari kilauan yang ada di matanya. "Kalau gue menang, lo harus temenin gue ke gerbong restorasi pas gue lapar. Kalau tebakan gue salah" Dia tampak berpikir sejenak sebelum kembali berbicara. "Gue bersedia buat pinjemin bahu gue selama perjalanan kalau lo mau tidur."

Aku melotot, agak kaget karena ucapannya. Is he flirting with me right now? Bahkan, belum ada genap satu jam sejak kami bertemu.

"Taruhannya enak di lo semua itu!" gerutuku.

Aksa tertawa pelan. "Lo mau apa?"

Aku mengerutkan kening. "Ini beneran kita mau taruhan nggak penting kayak gini?"

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang