Aku mulai mengiris hati sapi menjadi potongan dadu kecil-kecil, sedang Bunda sedang asik mencuci sayur. Rencana kami mau memasak sayur asem hati sapi. Ini makanan favorit di keluarga ku, dan kebetulan Bunda masih ada sisa hati sapi dari hajatan kemarin.
Pundakku ditepuk pelan, "Semalam sudah melakukan sunnah ya, Sayang. Kamu keramas pagi-pagi soalnya."
"Ah, iya Bunda." Aku hanya tersenyum. Bingung mau jawab apa. Karena faktanya ini ide anaknya.
"Tadi pagi Tama langsung pergi kerja, ya. Katanya izin cutinya nggak dapet. Nggak papa ya, Sayang." Bunda berujar sembari mulai mengiris wortel dan buncis.
Oh, Mas Tama kerja ternyata. Berharap apa, Alya? Berharap Mas Tama minta izin kerja ke kamu? Jangan harap deh.
Aku mencuci potongan hati sapi. Sambil sesekali mengingat perbincangan kita semalam.
***
Aku mencoba menutup mata, namun terus menerus gagal. Tidur di sofa sungguh tidak nyaman. Kulihat Mas Tama sebentar, wajah lelahnya terlihat menikmati tidurnya. Wajah tenang yang aku rindukan, wajah tanpa tekukan amarah seperti saat ini ketika ia bersamaku.
Karena lelah tiduran dengan posisi tidak nyaman, aku memilih untuk duduk dan menyandarkan punggungku pada sofa, sofa ini tidak keras, bahkan lembut sekali, hanya saja aku tidak terbiasa tidur di sofa dengan ruang yang sempit.
Netraku kembali melihat pada lelaki yang beberapa saat lalu menjadi suamiku, meski aku hanya istri pengganti bagi dia. Tak terasa air mata turun, mengingat segala kenangan indah yang dulu kami rasakan.
Senyum dan tawanya tak pernah luntur ketika bersamaku, bahkan ketika kita dipisahkan oleh jarak karena mengejar cita-cita pun, kita selalu merindukan sebuah pertemuan meski hanya singkat. Tak pernah terlewatkan panggilan telepon maupun video tiap malam, tak pernah terlewatkan bertukar pesan setiap saat. Bahkan, dua hari lalu, Mas Tama masih bertukar pesan candaan denganku, bahkan memintaku untuk datang membantu masalahnya.
Namun, kenangan indah semuanya hanya menjadi kenangan. Aku yakin, setelah ini Mas Tama akan berubah. Ia bukan lagi orang baik yang selalu mengorbankan segalanya seperti yang dulu ku kenal. Karena aku bukan Hanna.
Kutepis kasar air mataku, lantas bangkit dan berjalan perlahan menuju ranjang, lalu duduk di bibir ranjang, mengamati wajah letih berdiri seharian di pelaminan tadi. Dengan tangan agak gemetar, ku belai pelan kepalanya.
Aku memejamkan mata. Lantas mengucap sebait doa.
"Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah, Engkau cukup bagiku sebagai penolong atas suamiku, lembutkan hatinya padaku, palingkan hatinya padaku, tundukkan hatinya padaku, dan jadikan aku mencintainya sehingga dia datang padaku dengan tunduk tanpa menunda-nunda, sibukkanlah dia dengan mencintaiku, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aamiin Ya Rabbal Alamiin."
Setelah mengucapkan doa, aku menarik kembali tanganku. Lalu berjalan kembali ke sofa. Doa itu akan kubacakan untuknya setiap malam jika ada kesempatan. Batu yang ditetesi air terus menerus juga akan cekung pada masanya, dan semoga hati Mas Tama akan menerimaku suatu saat nanti.
***
"Nak? Ada apa?" ucapan Bunda mengejutkanku.
"Ah, Bunda. Tak apa, Bund."
"Sudah selesai mencucinya? Airnya sudah mendidih dari tadi. Kamu Bunda panggil diam saja. Semuanya oke 'kan?" tanta Bunda khawatir.
"Oke kok, Bund. Aman. Maaf, Bund. Masih agak terkejut dengan keadaan ini." Aku berjalan menuju panci dengan air panas yang mendidih, memasukkan potongan hati dengan pelan.
***
"Enak juga masakanmu, Al. Pasti di rumah sering masak ya?" ujar Ayah ketika kita sedang menikmati makan malam bersama.
"Eh, nggak juga, Yah." Aku merendah.
"Ini beneran enak lho, Nak. Sepertinya Bunda sendiri kalah deh kalau soal resep masakan. Iya 'kan, Tam. Masakan istrimu enak?" Bunda melihat ke arah Mas Tama yang duduk di kursi sebelahku.
Mas Tama melihat sekilas. "Biasa saja. Sama kayak masakan, Bunda."
Mas, apa kamu nggak bisa kah sekali saja menghargai aku. Setidaknya di depan orang tuamu?
"Yakin? Bukannya dulu kamu paling suka sama masakan Alya sampai nggak mau bagi Ayah sama Bunda? Dan kami baru ngerasain sekarang, lho." Ayah berkata seperti ingin mencairkan suasana.
Tang ....
Mas Tama meletakkan sendok dan garpunya secara kasar. "Itu 'kan dulu, sebelum kalian memaksa Tama menikah dengan orang yang sama sekali tidak Tama harapkan menjadi istri."
Mas Tama bangkit dari duduknya dan segera menuju ke kamar, meninggalkan makanannya yang baru dimakan sesuap.
Tak terasa, air mata jatuh membasahi pipiku. Ayah dan Bunda simpati melihatku.
"Nak, maafin Tama, ya?" Bunda mengelus tanganku di atas meja.
"Ah, tidak apa-apa, Bund."
Aku mengusap kasar air mataku. "Bund, Alya sudah kenyang. Mohon pamit ya, Bund, Yah. Alya beresin dulu piring Alya dan Mas Tama."
Bunda dan Ayah hanya mengangguk. Ada sorot kesedihan yang terpancar dengan jelas dari mata keduanya. Maaf Ayah, maaf Bunda, kalian jadi harus melihat apa yang terjadi ini.
Setelah mencuci piring, aku kembali ke kamar Mas Tama. Melihatnya yang berdiri memandang jalanan dan lampu kota dari balkon kamarnya.
"Mas?" panggilku. Hanya hening yang ada, bahkan ia sama sekali tak menoleh ke arahku.
"Apa nggak sebaiknya kamu menalakku saja, Mas?"
Aku memberanikan diri untuk mengatakan kalimat itu. Kalimat yang mampu membuat Mas Tama membalikkan badan menghadap ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti [TAMAT]
RomanceAku tak pernah menyangka dalam hidupku bisa menikah dengan dia, orang yang ku suka sejak lama, meskipun aku hanya sebagai pengganti pacarnya yang pergi di hari akadnya