Tama terlihat memandangku sekejap, lantas memandang sang bunda. Jujur, itu adalah pandangan sinis Tama pertama kali dalam hidup aku.
"Bund! Apa bisa?" tanya Tama, seolah sedang menolak secara halus menikah dengan diriku ini.
"Bisa! Hari ini kan cuma akad harusnya, resepsi kan besok, dalam sehari ini bisa lah kalau Ayah dan Bunda urus segala administrasi nya? Jadinya akad kalian di undur besok kan nggak masalah." Tante Widya berkata dengan antusias.
"Tapi, Bund. Aku nggak mau nikah sama Alya," ucapnya menohok, berhasil membuat sedikit relung hatiku terasa sakit.
"Lantas? Kamu mau mempermalukan Ayah dan Bunda karena pernikahan mu gagal?"
Tama diam. Menghela napas secara kasar. "Memang dia mau nikah sama aku?" ucapnya kemudian.
Aki tergagap melihat ke arahnya, lantas mengedarkan pandangan menuju ke kedua orang tua ku, dan pada orang tua Tama.
Aku menggeleng. Lebih baik menolak pernikahan ini daripada aku akan sakit hati dengan sikap Tama di kemudian hari.
"Alya?" panggil Tante Widya. Aku menatap beliau sendu. "Kenapa, nak?"
Aku tersenyum. "Orangnya bukan aku, Tante."
"Jangan pedulikan apa yang dikatakan Tama, nak."
Tama menatap tajam ke arah Tante Widya.
"Kamu mau?" tanya Tante Widya lagi.
Aku membisu, membiarkan detak jam dinding mengalun dengan keras di antara kebisuan ini.
"Sayang?" Ibu kini mendekat ke arahku.
"Nggak papa ya, sayang. Terima saja. Siapa tahu ini memang taqdirmu, kan? Kan kalian sudah sahabatan, nggak susah untuk mengubah suasana lagi." Ibu mengelus pelan punggungku.
"Tapi, Bu...."
"Ibu dan Bapak sudah tua, takut segera dipanggil sebelum melihat kamu menikah, juga takut kamu mendapatkan suami yang kurang baik. Kami percaya, Tama ini baik, bakalan jaga kamu juga."
Jujur, ketika Ibu sudah berkata seperti itu, aku tak akan kuasa menolaknya.
"Baiklah, demi Ibu dan Bapak," ujarku kemudian.
"Alya!" bentak Tama, hal yang baru pertama kali aku dapatkan dari dia.
Aku terjingkat. Lantas menundukkan kepala. Takut melihat Tama marah.
"Aku nggak habis pikir sama kamu, Al. Sudahlah terserah kalian semua saja."
Tama berdiri, pergi meninggalkan kami semua. Mungkin menuju kamarnya saat ini.
"Ah, baiklah. Kamu pulang dulu, Al. Istirahat. Tante sama Om akan urus administrasi pernikahan kalian."
Tante Widya bangkit dan segera bersiap-siap. Sedang Ibu menarik tanganku untuk mengikutinya pulang.
***
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur kamarku. Tak kulihat Ibu dan Bapak setelah pulang ini. Mereka terlihat sangat senang atas pernikahan dadakan ini. Tapi, apakah mereka tak sadar bahwa aku akan mengalami hal paling berat setelah ini.
Ponselku berdering beberapa kali. Menampakkan beberapa pesan masuk. Dari Tama?
Dadaku bergemuruh melihat pesan itu. Tama? Aku nggak pernah lihat Tama seperti ini sebelumnya. Aku mengetikkan jawaban untuknya.
Aku memegang dadaku. Sakit sekali rasanya. Dan bakal dihadapkan dengan Tama setelah ini. Sikapnya jelas sudah jauh berubah.
Aku memang mencintainya, dan jelas sampai saat ini rasa cinta itu masih sama. Hanya saja, aku takut jika aku terluka karena bersama dengannya.
***
"Ankahtuka wa Zawwajtuka Makhtubataka Binti Alya Ummul Habibah alal Mahri 12 juram dhahab," ucap Bapak dengan lantang sembari menggenggam tangan Tama.
(Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pilihanmu puteriku Alya Ummu Habibah dengan mahar 12 gram emas)Tama menghembuskan napas kasar. Terlihat dari monitor yang ada di ruangan ini. Aku tak langsung duduk bersanding dengannya karena kita belum halal.
"Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha Alya Ummu Habibah alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq," ucapnya dalam satu tarikan nafas.
(Saya terima nikah dan kawinnya Alya Ummu Habibah dengan mahar tersebut dibayar tunai)Alhamdulillah, aku bersyukur dalam hati. Takut-takut apabila Tama salah menyebut nama Hanna dalam ijabnya.
Tante Widya, ah maksudku Bunda. Bunda menggandengku bersama Ibu menuju meja pelaminan, mengantarkanku pada Tama. Entah apa yang membuat Ayah dan Bunda berhasil mengganti nama pengantin secara dadakan ini.
Tama berdiri menunggu, apa dia benar-benar menungguku? Atau hanya sebatas akting saja? Entahlah, saat ini aku hanya ingin fokus apa yang akan terjadi, dan bersiap untuk menjawab mengapa pengantin wanitanya berubah.
Aku telah sampai di depan lelaki ini, sahabatku sendiri, dan sekarang menjadi suamiku, Tama, aish, bukankah aku harus memanggilnya Mas Tama?
Pemandu acara menyuruhku untuk mencium takzim tangan suami, aku menurutinya. Ku ambil pelan tangan Mas Tama, lantas kucium dengan takzim. Dapat kurasakan apabila Mas Tama menarik pelan tangannya, seakan tak berniat berlama-lama untuk kucium. Ketika sang pemandu menyuruh Mas Tama untuk mencium keningku, ia terlihat ragu. Dapat kurasakan bibirnya menyentuh keningku, hanya sekejap saja. Seakan diri ini benar-benar jijik untuknya. Proses penyematan cincin pernikahan pun berlangsung cepat.
Alhamdulillah, tak ada pernyataan tentang mengapa statusku menjadi pengantin pengganti ini, sepertinya pemandu acara sudah menjelaskannya tadi. Yang kurasakan hanya bisikan-bisikan tak mengenakkan hati. Apalagi selama acara berlangsung, Mas Tama hanya fokus pada benda pipih di tangannya. Mas Tama menunggu Hanna mengirimkan pesan padanya?
***
Acara telah selesai, tamu undangan telah pulang ke rumah masing-masing. Mas Tama masih bergulat dengan air di kamar mandi. Sedang aku masih melihat pantulan wajahku dengan riasan hari ini. Cukup cantik menurutku, tata rias modern yang dikemas dengan sederhana, dengan gaun pengantin warna putih tulang. Cukup terlihat cantik, bukan? Tapi, bukan aku tokoh yang diinginkan Mas Tama, kan?
"Sampai kapan mau ngaca?" Suara Mas Tama mengejutkan ku. "Buruan mandi, nanti kita bicarakan masalah bagaimana tidur kita."
Aku menganggukkan kepala, lantas berjalan menuju kamar mandi. Merasakan kesegaran yang terasa.
"Ya Allah, berikan hamba kekuatan untuk menghadapi kenyataan setelah ini," ucapku sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti [TAMAT]
عاطفيةAku tak pernah menyangka dalam hidupku bisa menikah dengan dia, orang yang ku suka sejak lama, meskipun aku hanya sebagai pengganti pacarnya yang pergi di hari akadnya