Ini sudah hampir sebulan kami tidur bersama. Dan memang belum ada apapun yang terjadi. Kita berdua masih saja belum menjalankan satu ibadah suami istri itu. Aku tak mempermasalahkan hal itu, karena dengan diberi kemajuan atas sikap Mas Tama, kurasa sudah cukup baik bagiku. Bahkan aku saja masih tidur memakai jilbab jika bersama dengannya.
Aku menatap ke sebelah kanan. Mas Tama sudah tertidur. Esok cutiku juga sudah habis, aku harus kembali bekerja karena akan langsung dihadapkan dengan persidangan klienku. Kasihan timku yang sudah lembur beberapa hari sedangkan aku sering sekali istirahat di rumah. Setelah membacakan doa untuk Mas Tama, aku mulai memejamkan mata, namun dapat kurasakan kasur bergerak. Sepertinya Mas Tama pindah menghadap ke arahku.
Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan mengusap pipiku. Aku masih mencoba untuk memejamkan mata dan bertindak seolah-olah aku benar-benar tertidur.
"Al, maaf, aku masih berusaha untuk menerimamu sebagai istriku. Maaf kalau selama ini aku terlalu jahat sama kamu. Apalagi dengan panggilan gue-lu yang sebenarnya sakit didengar olehmu, kan? Al, percayalah. Aku sudah berusaha mengakhiri hubunganku dengan Hanna, tapi wanita itu yang seperti tidak ingin melepaskan ku. Al, mungkin baru cara ini yang bisa aku lakuin. Aku harap kamu masih mau menungguku lebih lama lagi, ya? Jika seandainya kamu lelah dan ingin berhenti, maka izinkanlah aku yang akan berjuang mengembalikan rasa percaya mu lagi. Good night, Al. Sweet dream."
Aku mematung dalam diam. Mas, semoga Allah benar-benar mempermudah niat kamu, ya. Aku pasti akan selalu menunggumu, Mas.
***
Azan subuh berkumandang tatkala aku bangun. Sepertinya Mas Tama sudah bangun. Kudengar suara pintu toilet terbuka dan menampakkan lelaki itu selesai mengambil air wudhu.
"Eh, Al. Baru aja gue mau bangunin. Jamaah aja yuk, gue tunggu."
Aku mengangguk, lantas berjalan menuju kamar mandi dengan senyum tipis. Alhamdulillah, setidaknya selama tiga bulan ini, Mas Tama sudah terbiasa aku bangunkan saat subuh dan kini dia sudah bisa bangun sendiri.
Kami melaksanakan salat subuh berjamaah. Aku mencium tangannya takzim ketika selesai berdoa. Hal sederhana yang paling aku impikan adalah saat ini. Meski aku belum melihat jari manisnya memakai cincin pernikahan kami, tapi setidaknya semua ini sudah cukup untuk membahagiakan hatiku yang sempat ragu ingin mengakhiri semua ini.
"Gue masakin ya, Al," tawarnya ketika aku sedang melipat sajadah.
Aku menatapnya. "Heh, enggak ya. Nanti ujungnya kek waktu itu."
"Enggak deh, Al. Gue janji." Mas Tama duduk di pinggiran kasur. "Gue udah belajar kok."
"Belajar darimana, Mas? Perasaan kerja mulu nggak pernah belajar masak."
"Dari YouTube, Al."
Aku terdiam. Menarik napas pelan. "Mas, belajar teori doang tanpa eksekusi praktik juga belum bisa disebut belajar secara sempurna, Mas."
"Hmm, iya deh," ujarnya mengalah sembari merebahkan diri di atas kasur.
"Ya lagian tinggal duduk nikmati makanan doang aja lho padahal," ucapku berjalan ke arah kamar mandi untuk berganti kerudung, karena aku masih memakai mukena. Pria itu menatapku ketika aku keluar dari kamar mandi.
"Kenapa masih pakai jilbab di depan gue?" tanyanya.
Aku tersenyum simpul. "Masih belum siap aja bawaannya. Takutnya pas udah buka jilbab malah sama aja kamu milih Hanna, jadi mending dibuka kalau masing-masing dari kita sudah siap."
Dia tertawa. "Ah, oke deh." Mas Tama diam beberapa saat. "Tapi, bukankah gue sudah nggak kelihatan menghubungi Hanna lagi kan?"
"Setahuku sih tidak, tapi nggak tahu kalau di belakangku." Aku tersenyum menatapnya. "Sudah, ah. Pagi-pagi nggak perlu bahas yang membuat emosi terkuras. Aku mau masak dulu. Kalau mau bantu, tolong siram taman di depan ya, Mas. Kayaknya pada kering."
Lelaki itu mengangguk. Ia segera berdiri dan menghilang di balik pintu. Aku juga segera turun ke bawah. Sepertinya aku ingin memasak nasi goreng saja, karena masih butuh waktu buat persiapan berkas sidang hari ini juga.
Saat sedang asik memasak, aku mendengar suara wanita di depan rumah. Takut jika terjadi apa-apa dengan tetangga, aku segera menyelesaikan masakan pagi itu, mematikan kompor, dan lantas keluar. Padahal belum sempat memindahkan nasi ke piring kami.
Segera keluar rumah dan mendapati Hanna di depan rumah sedang marah kepada Mas Tama. Namun, Mas Tama hanya diam dan masih fokus menyiram tanaman. Emosi Hanna saat melihatku semakin meluap hingga membuat Mas Tama terkejut melihatku.
"Sayang? Ngapain keluar?"
Sejujurnya aku tahu, ini kalimat yang akan digunakan untuk mengelabuhi Hanna dan membuat seakan-akan hubungan kami baik-baik saja.
"Nggak papa, soalnya dengar ribut-ribut."
"Dasar wanita biadab! Pelakor! Merebut calon suami orang! Sekarang sudah bener suaminya mau ninggalin lu dan milih gue, malah lu jampi-jampi biar nggak ninggalin lu. Bangsat!" Emosi Hanna ketika melihatku. Ah, mungkin dia juga sudah mengirimiku pesan seperti itu, hanya saja nomornya sudah lama aku blokir, aku juga sudah lama nggak buka Instagram. Untung saja tetangga perumahan adalah orang yang bodoamat dengan urusan rumah tangga orang lain, bukan seperti tetangga di desa orang tuaku.
"Bisa diam nggak sih lu, Han. Nggak usah jadi orang playing victim bisa, kan? Lu yang ninggalin gue nggak mau nikah, malah sok nyalahin Alya. Kalau saja nggak ada Alya pun, gue malu pernikahan gue nggak jadi. Lebih baik nikah sama orang lain daripada nikah sama orang yang nggak mau diajak nikah." Terkejut aku mendengar jawaban dari Mas Tama. Aku diam-diam menelepon satpam komplek untuk menjemput paksa Hanna. Sangat mengganggu pagi hari kami.
Satpam pun datang menarik paksa Hanna yang masih meronta tatkala ditarik pergi. Seorang satpam yang lain mendekati Mas Tama.
"Terima kasih pak atas laporannya."
Mas Tama mengangguk. "Tolong jangan izinkan wanita itu datang ya, Pak. Apalagi ke rumah kami."
"Baik, Pak. Akan kami tindak lanjuti."
Setelah keadaan tenang. Mas Tama mematikan keran air dan menarik tanganku masuk.
"Udah, yok makan. Gue anterin kerja aja, ya. Takut kalau Hanna sampai nyelakain lu."
"Enggak perlu, Mas. Semoga aku nggak papa, kan kamu juga kerja. Kantor kita juga nggak sejalan. Lagian hari ini aku ada pendampingan sidang klien."
Akhirnya Mas Tama setuju dengan ucapanku. Kami menyelesaikan sarapan dengan hening, karena masing-masing dari kami saling larut dalam pikiran. Entah, apa yang membuat Hanna kembali lagi dan merusak suasana. Atau apa yang sudah Mas Tama katakan pada wanita itu sehingga ia terlihat begitu marah?
***
Jangan lupa tap love biar author lebih semangat ngelanjutin ceritanya, ya. Jangan jadi silent reader dan orang yang pelit tap love ya, hehe. Nggak susah soalnya kok tap love itu. See you.
Peluk hangat, Author yang masih kejebak friendzone.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti [TAMAT]
Roman d'amourAku tak pernah menyangka dalam hidupku bisa menikah dengan dia, orang yang ku suka sejak lama, meskipun aku hanya sebagai pengganti pacarnya yang pergi di hari akadnya