WHY SHOULD I?

7.8K 424 1
                                    

Senyum penuh kemenangan keluar dari sudut bibirku ketika mendengar keputusan hakim bahwa klienku menang. Gugatan suaminya ditolak hakim ketika sebuah bukti visum yang diam-diam dilakukan oleh klienku untuk digunakan di suatu hari akhirnya berguna juga. Aku memberi salam kepada klienku setelah perdebatan panas hari ini.

Melenggang keluar dari pengadilan agama dengan santai, kasus yang selama ini tak ada pergerakan akhirnya selesai juga. Kulihat arloji, jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Perjalanan yang panjang hari ini. Kulihat seseorang berdiri di depan mobilku. Mas Tama? Kenapa dia kesini?

Aku bergegas menghampirinya. Dia menatapku sembari memasukkan tangan ke dalam saku.

"Ada apa, Mas?" tanyaku.

"Jemput lu lah, ngapain lagi."

"Kan aku bawa mobil, Mas."

Mas Tama mengangguk. "Iya tahu, mobil gue masuk bengkel, servis bulanan, bengkelnya deket sama pengadilan tempat lu sidang. Jadi ya sudah sekalian pulang bareng aja."

"Kok tahu aku di pengadilan sini, Mas?"

Lelaki di hadapanku ini tertawa. "Kita masih berteman di Zenly kalau lu lupa."

Aku hanya tertawa renyah. Lupa bahwa ada satu aplikasi itu.

"Ya sudah, Mas. Yuk," ajakku sembari memberi kunci mobilku padanya.

"Nggak langsung pulang ya tapi, makan dulu, ke restoran sushi gimana? Mau?" tawarnya.

"Boleh, yok."

Aku masuk ke dalam mobil, begitu juga dengannya. Menikmati jalanan yang cukup ramai karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Baru ingat juga tadi siang belum sempat makan, hanya makan cemilan untuk menahan lapar sementara.

"Gimana sidangnya?" tanyanya. Aku lupa sejak kapan, tapi yang pasti, Mas Tama mulai sering menanyakan tentang hari-hariku, seperti saat ini.

"Alhamdulillah menang, Mas. Bukti visum klienku ternyata menjadi tameng paling kuat dan kunci kemenangan sidang hari ini."

Aku menatap Mas Tama yang hanya mengangguk sambil fokus pada jalanan. Namun sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Mobil merapat pada halaman parkir restoran sushi yang cukup besar di kota kami.. Kami keluar dari mobil dan berjalan masuk. Aku memilih duduk di sebelah kaca sedangkan Mas Tama berjalan mengambil menu.

"Lu mau apa, Al?" Mas Tama mengangsurkan menu padaku.

Netraku langsung tertuju pada dua menu. Salmon Ikura atau sushi salmon dan Chuka Iidako atau sushi gurita.

"Mau dua?" tebak Mas Tama.

Aku menatapnya dan tertawa renyah. "Boleh?"

"Ya udah sana, nggak papa."

Aku meraih kertas menu dan menuliskan dua pesananku, lantas mengangsurkannya pada Mas Tama.

"Minumnya?"

"Samain kek Mas Tama aja."

Lelaki itu mengangguk, lantas memberikan kertas menu pada pegawai yang menghampiri kami.

"Lu laper apa gimana, Al?" tanyanya di sela-sela keheningan kami.

"Belum makan siang, Mas."

"Kenapa?"

"Kepikiran kerjaan tadi."

Aku terdiam dan melihat pelayan mengantar pesanan kami. Ternyata Mas Tama memesan menu yang sama.

"Mas Tama juga lapar?"

Lelaki itu tertawa. Lantas menggeleng. "Nemenin kamu biar nggak malu. Soalnya dulu biasanya suka malu kalau pesen banyak."

Aku tersenyum malu. Tapi setidaknya Mas Tama masih mengingat hal sekecil itu.

Kunikmati sushi sambil sesekali mencuri pandang ke arah Mas Tama yang seperti begitu tertekan, layaknya menahan beban berat di pundaknya.

"Mas?" panggilku. Lelaki itu menoleh. "Ada masalah?"

Ia tersenyum terpaksa. "Nanti gue ceritain di rumah aja, ya. Sekarang makan dulu. Abisin."

Aku mengangguk. Lantas kembali makan dengan hening. Sebenarnya ada masalah apa?

***

Kita keluar dari restoran saat jarum jam menunjukkan pukul lima sore, cukup lama juga menghabiskan waktu sembari mengobrol santai. Setidaknya menenangkan perasaan Mas Tama agar tidak terlalu kepikiran tentang masalahnya.

Kulihat ada kakek-kakek penjual jajanan pasar di depan restoran. Rasa iba melihatnya masih bekerja keras mencari nafkah di usianya yang sudah renta, namun dagangannya masih saja sepi. Aku berjalan cepat, mensejajarkan dengan Mas Tama.

"Mas, aku beli itu dulu ya, kasihan." Tunjukku pada gerobak kakek-kakek itu.

Mas Tama melihatnya, lantas mengangguk. "Oke, gue putar balik dulu ya, nanti gue tunggu di seberang jalan biar hemat waktu. Soalnya puter baliknya lumayan jauh."

Aku mengangguk. Lantas berlari kecil menghampiri kakek tersebut.

"Kek, mau lumpianya dong. Dua puluh ribu ya, kek."

Kakek terlihat senang saat kubeli dagangannya. Dengan cekatan memasukkan pesananku ke dalam kantong kresek. Kemudian mengangsurkannya kepadaku.

Aku berikan uang lima puluh ribu. Namun belum sempat aku berkata, sang kakek sudah berbicara, "Duh, nggak ada kembaliannya, neng."

Aku tersenyum. "Nggak usah kembalian, Kek. Semoga bisa sedikit membantu ya, Kek."

"Alhamdulillah, neng. Terima kasih."

Aku mengangguk, lantas berdiri di pinggir jalan tepat di sebelah zebra cross sembari menunggu Mas Tama berada di seberang sana, baru aku akan menyebrang.

Mas Tama membunyikan klakson, memberi tanda bahwa sudah saatnya aku menyusulnya. Menoleh ke kanan dan kiri lantas menyebrang. Baru saja hampir selesai menyebrang satu jalur, Mas Tama membuka jendela mobil dan berteriak, "Alyaa! Awass!"

Seketika aku melihat ke arah kanan. Sebuah mobil sedan putih melaju dengan sangat kencang yang membuatku tak sempat menepi. Aku merasakan tubuhku melayang. Tak peduli lagi dengan lumpia yang kubeli. Suara teriakan orang-orang terdengar dengan jelas. Suara Mas Tama lebih mendominasi orang-orang tersebut. Sakit yang kurasa saat tubuhku menghantam bagian atas mobil, berguling ke belakang dan tersungkur di aspal. Tak ada yang bisa kulihat lagi. Semuanya gelap. Tulangku rasanya patah. Mataku memejam, namun kesadaranku masih ada meskipun sedikit. Kurasakan seseorang memangku kepalaku. Tangannya memegang erat tanganku. Sepertinya ini Mas Tama.

"Al, bertahan ya. Tolong bertahan. Demi aku." Ku dengar dia berucap.

"Tolong telepon ambulance!" titahnya pada warga sekitar mungkin.

Lantas semuanya hening.

***

Jangan lupa tap love biar author lebih semangat ngelanjutin ceritanya, ya. Jangan jadi silent reader dan orang yang pelit tap love ya, hehe. Nggak susah soalnya kok tap love itu. See you.

Peluk hangat, Author yang masih kejebak friendzone.

Pengantin Pengganti [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang