Aku kembali ke Jakarta. Mengemudikan mobil dengan santai menuju ke rumah sakit tempat biasa aku melakukan kontrol. Bahkan sampai perawatnya hafal dengan diriku.
"Mbak Alya, sudah ditunggu Pak Aldi di ruangannya," sapa ramah perawat tatkala aku datang.
Aku mengangguk, lantas segera berjalan ke lantai lima, ruang Aldi. Aldi adalah dokter muda di rumah sakit ini, rumah sakit milik orang tua nya. Aku mengenalnya ketika aku mulai rutin melakukan cek kesehatan disini sejak setahun lalu. Dia juga datang ke pernikahan ku kemarin meski aku mengundangnya secara dadakan.
Kubuka pintu ruangannya. "Selamat siang, Pak dokter muda," kelakarku.
Aldi melihatku. "Selamat siang pengantin baru."
Aku tertawa, lalu duduk di depannya. Terlihat dia yang mulai menyampingkan beberapa pekerjaannya.
"Ada apa nih? Apa yang membuat pengantin muda ini datang? Kalau mau minta program kehamilan jangan ke gue ya Al. Gue kan dokter organ dalam." Aldi tertawa renyah.
Aku membalas tawanya.
"Boleh minta obat biar asma gue nggak kambuh, Al?"
Aldi memicingkan matanya. "Kenapa? Asma lu harusnya nggak terlalu butuhin batuan obat, kan? Inhaler aja udah cukup harusnya, kan?"
Aku mengeluarkan napas kasar. "Dua hari ini kambuh terus, Al."
"Coba jelasin ke gue." Aldi meletakkan kedua tangannya bersedekap di atas meja.
"Dua malam lalu, gue nangis sampai sesak nafas dan pingsan. Kemarin gue pindahan rumah angkat berat dan sesak banget rasanya." Aku menatap netra lelaki yang dua tahun lebih tua dariku.
"Tunggu, suami lu?" tanya Aldi yang terlihat bingung.
Aku menggeleng. "Dia nggak tahu hal ini, Al."
"Lu nggak cerita?"
"Andaikan lu tahu apa yang gue rasain sekarang, apa yang terjadi sama gue, Al. Dan alasan yang sebenarnya gue sakit asma juga." Aku menunduk dalam diam, dan akhirnya merasakan tanganku di atas meja ada yang memegang.
"Cerita, Al. Gue sudah selesai praktek juga, habis ini juga balik, gue dengerin cerita lu."
Lantas, semuanya mengalir begitu saja. Hal yang seharusnya tak kuceritakan pada Aldi, akhirnya dia juga mengetahui. Karena aku menganggap Aldi berhak tahu karena dia dokterku, dan dia jadi tahu bagaimana yang akan dia lakukan untuk penyakit ku ini.
"Jangan bilang siapa-siapa ya, Al. Tentang pernikahan ku ini." Aku memohon pada Aldi sembari menyudahi kisahku.
"Iya, Alya. Ya sudah, gue bikinin resep obat, ya. Ntar lu tebus aja di apotek terdekat. Kalau lu butuh apa-apa, baik itu tentang penyakit lu, atau tentang yang lainnya, gue siap bantu lu, Alya." Aldi mencoretkan resep pada selembar kertas dan kemudian memberikannya padaku.
"Terima kasih banyak, Aldi."
"Anytime, Alya. Dan satu lagi, perasaan gue masih sama seperti sebelumnya kalau lu lagi capek sama suami lu." Aldi berujar tiba-tiba.
Aku terkejut. "Al, sekarang posisinya berbeda, gue udah nikah sekarang."
"Tapi nggak bahagia, kan?"
"Aldi?"
"Ck, iya Alya. Cuma nama panggilan kita saja yang cocok, tapi kita tidak bisa bersatu. Ingat! Kalau ada apa-apa hubungi gue, gue siap jadi rumah saat rumah lu nggak pernah nganggap lu." Aldi menatapku tajam.
"Iya, Al. Gue balik dulu, ya."
"Iya, hati-hati."
Aldi, lelaki itu memang sempat menyatakan perasaannya kepadaku dua minggu sebelum aku menikah dengan Mas Tama. Namun, aku menolaknya karena memang aku tak ada perasaan apapun dengannya. Dia menjawab bahwa bersedia menunggu, tapi aku yang akhirnya tidak mengizinkannya menunggu malah menikah dengan orang lain.
Mobil yang kukendarai pun akhirnya merapat pada salah satu swalayan besar di dekat rumah. Setelah memakirkan mobil, aku mengambil troli dan segera masuk. Belanja seperlunya saja. Bahan makanan seperti sayuran, buah-buahan, bumbu dapur, mie instan, stock jajanan juga, tepung, dan lain-lain. Saat sedang antre di kasir, ponselku berdering, ada notifikasi pesan masuk.
Dia memang dingin, tapi setidaknya masih ada sedikit perhatian yang tertoreh untukku.
Selesai berbelanja, aku mampir sebentar ke apotek untuk menebus obat, dan segera pulang ke rumah. Namun tidak benar-benar ke rumah, aku menuju ke taman kompleks yang tak jauh dari rumah untuk memarkirkan mobil. Ya, kalian tahu kan karena carport rumah hanya cukup untuk satu mobil.
Berjalan menuju rumah dengan menenteng tiga tas belanja besar yang bisa dikatakan lumayan berat. Menyapa para tetangga yang sedang duduk santai menikmati suasana sore hari. Ku dapati gerbang rumah terbuka dan suara mobil dari Mas Tama. Lelaki yang hampir masuk ke dalam mobil itu mengurungkan niatnya tatkala melihatku. Lalu segera mematikan mesin mobil.
"Kalau masuk, tutup gerbangnya." Mas Tama memberikan perintah.
"Iya, Mas." Dengan susah payah aku menutup pagar rumah karena tanganku penuh.
"Bukannya Mas Tama mau pergi?" tanyaku ketika sudah di dalam rumah sembari meletakkan belanjaan di meja dapur, sedangkan Mas Tama terlihat rehat di ruang tamu.
"Mau jemput istri yang dikasih izin keluar jadi seenaknya." Mas Tama mulai menyedot rokok elektrik nya. Wangi asapnya sampai ke arah dapur tempatku berdiri.
"Maaf, Mas. Tadi pagi ambil mobil dulu, terus keasikan ketemu Delia sama Helena."
"Ya." Asap rokok elektrik mulai terkepul lagi.
Aku batuk ringan, setelah selesai menatap belanjaan pada tempatnya, sembari menutup hidung, aku menghampiri Mas Tama, memegang bahunya.
"Mas."
Mas Tama yang terkejut membuang tanganku. "Apa pegang-pegang?"
"Bisa nggak Mas kalau berhenti ngerokok meski itu rokok elektrik, aku sudah pernah kasih nasehat dulu, kan?"
Dia menatapku dingin, lalu berdiri. "Siapa lu? Lu cuma istri pengganti, jadi nggak ada hak buat ngatur gue, paham?"
Mas Tama meninggalkanku, naik menuju kamar dan membanting pintunya keras.
Setelah memastikan Mas Tama masuk, aku segera ke dapur mengambil inhaler di dalam tasku, dan mulai menghirup nya pelan.
"Mas Tama, dulu memang aku pernah melarangmu karena takut kesehatanmu turun, tapi sekarang, kesehatan ku yang sudah turun," ujarku pelan sembari berjalan menujur kamar untuk bersih-bersih badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti [TAMAT]
RomansaAku tak pernah menyangka dalam hidupku bisa menikah dengan dia, orang yang ku suka sejak lama, meskipun aku hanya sebagai pengganti pacarnya yang pergi di hari akadnya