Aku melihat mereka berpelukan lama di depan gerbang rumah. Hingga sepasang mata tajam milik Mas Tama menatap diriku, lantas ku lihat mereka masuk ke dalam gerbang, sepertinya duduk di teras rumah. Aku berjalan menuju kursi yang berada di balkon. Untungnya balkon ini gelap, sedikit menutupi kehadiran diriku yang menggunakan gamis dan kerudung hitam.
Tangisanku mulai turun tatkala mendengar mereka mulai bercengkrama dan saling menjelaskan tentang kesalahan mereka, pun tentang rencana mereka. Aku mendengar semua, juga ponselku yang turut merekam suara mereka. Semoga nanti terdengar. Tangisanku semakin deras ketika kudengar Mas Tama berjanji akan menikahinya dan Hanna bersedia untuk menjadi istri kedua.
Mas? Bagaimana dengan janjimu pada Ayah dan Bunda tadi? Sampai jam menunjukkan pukul sebelas malam, akhirnya Hanna pulang. Wanita seperti apakah yang bermain ke rumah lelaki beristri sampai selarut itu? Ku dengar suara langkah kaki naik dan mendekat ke arah balkon. Lelaki itu berdiri di pintu balkon. Aku memalingkan wajah, mengusap kasar air mataku.
"Sopankah lu kalau dengerin pembicaraan orang lain?" tanya Mas Tama menusuk.
Aku terdiam. Menatap bintang di langit yang saat ini bertebaran, seakan sedang memberi hiburan pada diriku yang sedang dirundung kesedihan.
"Kalau ditanya itu dijawab, Al!" bentak Mas Tama. Lelaki itu sudah berdiri di depanku.
Aku bangkit. Rasanya dadaku sesak sekali, ingin segera kembali ke kamar dan meminum obat. Aku melewati Mas Tama begitu saja. Mas Tama menarik tanganku, namun aku menghempaskannya.
"Lepas, Mas," ujarku lemah, nafasku sudah setengah-setengah. Tanganku kembali dipegangnya secara erat.
"Jawab dulu pertanyaan gue! Sopankah!" bentaknya lagi di depanku.
"Mas, biarkan aku ke kamar dulu," pintaku berusaha berbicara karena nafasku benar-benar tak kuat, apalagi dengan semerbak bau rokok dari badan Mas Tama.
"Jawab dulu, Alya Ummu Habibah!" Suaranya semakin meninggi. Tapi jujur itu yang terakhir kali kudengar. Aku siap dengan segala kemungkinan badanku sakit yang menatap lantai. Tapi, dalam keadaan pingsan, aku masih bisa merasakan, bahwa tubuhku ditahan olehnya.
***
Cahaya mentari pagi menerpa wajahku. Berusaha membuka mata dan mengenali ruangan tempatku berada. Rumah sakit? Ruang VVIP?
Setengah terkejut mengetahui aku berada di rumah sakit, pasti Mas Tama sudah mengetahui kelemahan penyakitku ini. Aku tersenyum kecut, memegangi dadaku yang masih terasa sakit.
Kulihat seseorang masuk ke dalam ruang, dia adalah Aldi.
"Lu nggak papa, Al?" tanyanya ketika melihatku yang sudah siuman.
Aku menggeleng. "Masih sedikit sakit."
Dia mengangsurkan sebuah inhaler yang baru saja dibukanya. "Nih."
Menghirup inhaler tersebut benar-benar sedikit meredakan sakit di dadaku. "Kok gue bisa ada di sini?"
Aldi menghembuskan napas berat. "Suami lu yang bawa lu kesini tengah malam. Habis ngapain lu sampe bisa pingsan gitu? Mana mata lu basah lagi. Pas gue senterin, merah deh."
Aku tersenyum kecut. "Wanita itu kembali, Al. Bahkan pernikahan kami baru aja menginjak hari keempat. Seminggu belum genap."
"Tapi semalam dia kelihatan panik, Al. Dia masih punya rasa simpati untuk lu, karena dia dulu juga sahabat lu, kan? Hanya saja dia butuh waktu untuk bisa nerima lu, Al. Sorot matanya semalam menandakan bahwa dia benar-benar khawatir." Aldi menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangku.
"Khawatir, kan? Bukan cinta," ucapku pasrah sembari menatap air infus yang menetes sedikit demi sedikit.
"Al, perlahan. Usia pernikahan lu masih sangat muda. Kasih dia waktu, ya." Aldi menatapku simpati. "Dia semalam mencercaku dengan banyak pertanyaan tentang penyakit lu, terlebih sejak kapan penyakit lu muncul dan apa faktornya. Dia juga terkejut karena beberapa suster kenal dengan lu dan langsung panggil gue untuk nanganin lu. Al, khawatir adalah titik awal rasa cinta itu datang. Apalagi kalian sepasang sahabat, bukan? Itu lebih cepat menimbulkan rasa daripada pernikahan karena perjodohan yang tidak saling mengenal."
Aku menatap Aldi tak percaya. "Tapi, Aldi, semalam, gue denger mereka merencanakan sesuatu. Tama akan bersikap baik ke gue layaknya suami, menggauli gue, gue hamil, lahir anak, baru dia talak gue, dan bikin skenario bahwa gue kena baby blues. Sejahat itu, Aldi."
Aldi memicingkan matanya. "Dia tau lu nguping pembicaraan mereka?"
Aku mengangguk.
"Mungkin apa yang dia katakan hanya untuk memanasimu, karena dia tau lu dengerin mereka. Sekarang gini, kalau dia mau cerai dari lu, harusnya dia bisa biarin lu pingsan kedinginan di balkon, kan?" Pertanyaan Aldi mampu membuatku berpikir.
"Al, jalanin pernikahan lu sebaik-baiknya, meski gue cinta sama lu, gue juga nggak pengen pernikahan lu semenyedihkan ini, Alya. Baik-baiklah sama dia, tetaplah melakukan kewajibanmu sebagai istri, dan cobalah bersikap bodoamat ketika wanita itu datang atau ketika kau melihatnya bersama wanita itu. Buat Tama menjadi bertanya-tanya tentang sikapmu, semakin dia penasaran denganmu, maka semakin dia akan menghabiskan waktunya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan nya pada dirimu, Alya."
Aku terdiam. Memikirkan nasihat dari Aldi. Sampai Aldi melanjutkan ucapannya. "Semalam, Tama rela nungguin lu, nggak tidur, memegang erat tangan lu sambil sesekali elus kepala lu. Dia baru pergi shubuh tadi. Mungkin kerja."
Aku hanya terdiam, sampai beberapa kali ku rasakan ponselku bergetar terus menerus. Sebuah telpon dari Delia.
"Al, buka instagram sekarang, lihat apa yang gue sama Helena tag, cepet!"
Dan telepon itu langsung terputus. Aku segera membuka aplikasi tersebut dan melihat apa yang Delia maksud. Terkejut ketika sebuah postingan itu muncul secara mandiri.
Aku membanting ponsel sekenanya, membuat Aldi terkejut dan memungut ponselku di ujung tempat tidur.
"Untung nggak jatuh ke bawah, Al. Mahal nih hp lu, boba soalnya." Aldi berusaha menghiburku meski ia belum tahu apa yang terjadi. Aku menangis. Membuat lelaki itu melihat ke arah layar ponsel ku yang masih menyala.
"Bajingan lu, Tam! Semalam lu janji apa ke gue!"
Aldi bangkit dan meninggalkan ku sendirian menangis di kamar ini. Hubungan apa ini, Ya Allah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti [TAMAT]
RomansaAku tak pernah menyangka dalam hidupku bisa menikah dengan dia, orang yang ku suka sejak lama, meskipun aku hanya sebagai pengganti pacarnya yang pergi di hari akadnya