Aku bangun, mengerjapkan mata ketika cahaya mentari menerpa wajahku. Tunggu, ini sudah pagi? Aku segera duduk. Sedikit terkejut karena aku masih mengenakan pakaian semalam dan tidur di ranjang! Setelah tersadar jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, aku segera bergegas menuju kamar mandi untuk melaksanakan salat shubuh yang aku qodho karena terlambat.
Setelah selesai salat, aku mengedarkan pandangan, tak kujumpai kelebat tubuh Mas Tama. Bukankah harusnya ia sedang bersiap menuju kantor? Lalu? Semalam dia tidur dimana kalau ranjang kupakai?
Aku bangkit, membereskan mukena dan sajadah, lantas kudapati sebuah catatan di nakas. Tulisan khas Mas Tama.
Sedikit senyum tersungging. Ia masih menjadi sosok perhatian seperti dulu. Karena aku percaya, kebiasaan baiknya selama sepuluh tahun ini apa bisa semudah itu hilang begitu saja, kan?
Sedikit senyum tersungging. Ia masih menjadi sosok perhatian seperti dulu. Karena aku percaya, kebiasaan baiknya selama sepuluh tahun ini apa bisa semudah itu hilang begitu saja, kan?
Sesak di dada masih sedikit terasa. Aku segera meraih tas yang belum sempat aku bongkar isinya, merogoh ke dalam mencari inhaler. Lalu menghirupnya perlahan.
Ya, aku mengidap asma persisten ringan. Apakah Tama tahu? Tidak! Aku mengidap asma juga baru-baru ini setelah Tama mengenalkan Hanna sebagai pacarnya kepadaku.
Saat itu, aku sadar bahwa pelarianku salah. Kebetulan aku sedang menghadapi kasus rumit saat Mas Tama mengenalkan Hanna padaku. Lelah mengawal kasus tidak cukup untukku melupakannya. Masa istirahat kugunakan untuk trip keliling Indonesia, khususnya daerah timur Indonesia. Menikmati alamnya, namun tidak kulinernya. Ketika kembali ke hotel rasanya semua kesenangan hanya sementara. Nafsu makan pun hilang. Makan juga cuma mie intant. Dan akhirnya asam lambung sejak SMP pun kambuh. Asam lambung terparah selama hidupku. Membuatku dilarikan oleh karyawan hotel ke rumah sakit terdekat dan menginap beberapa hari di rumah sakit karena dadaku juga terasa sesak. Hingga dokter pun memvonisku bahwa aku terkena asma stadium persisten ringan.
Aku menertawakan diriku. Kenapa bisa aku segila itu dulu. Mas Tama ternyata sudah menyakitiku sejak dulu. Eh, bukan! Lebih tepatnya aku yang tersakiti oleh harapanku sendiri.
Setelah sedikit tenang dan lega. Aku bangkit. Mulai membereskan barang sesuai apa yang diperintahkan oleh suami. Barangku tidak banyak karena memang belum aku bongkar, hanya sedikit merapikan saja. Bahkan aku baru sadar bahwa Mas Tama sudah merapikan beberapa barangnya, pun dengan beberapa barang yang ternyata sudah tidak ada, mungkin sudah di pindahi dia pagi tadi.
Aku menoleh ke pintu saat ku dengar suara pintu terbuka. Terlihat Bunda di sana dengan membawa sebaskom air.
"Eh, kamu sudah bangun? Sudah baikan?" tanya Bunda.
Aku bangkit. "Baikan? Maksud Bunda?"
Bunda meletakkan baskom di nakas, lalu menghampiri. "Kata Tama tadi kamu sakit, jadi masih tidur." Bunda meletakkan tangannya di jidat ku.
"Ah, enggak Bund. Cuma sedikit nggak enak badan saja. Capek, Bund. Soalnya tiba-tiba nikah, agak kaget," jawabku sembari terkekeh. Ternyata Mas Tama membuat alasan seperti itu yang sebenarnya itu benar.
"Ah, syukurlah. Maafin Ayah Bunda ya, nak. Maaf karena kami sudah memaksamu menikah dengan Tama. Maafin Tama juga kalau dia sudah dzolim kepadamu." Bunda mengelus kepalaku.
"Baik, Bunda. Tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dimaafkan karena tidak ada yang salah kok." Aku tersenyum takzim.
"Kalian jadi pindah sore ini?"
Aku mengangguk.
"Beneran nggak apa-apa?" tanya Bunda khawatir. Lebih mengkhawatirkan diriku daripada anaknya sendiri.
"Nggak apa-apa, Bund. Aman kok. Mas Tama nggak akan ngapa-ngapain ke aku juga, Bund. Kan aku pengacara, hehe," ujarku.
Bunda menghembuskan napasnya. "Oke kalau begitu. Turun ya, Al. Sarapan dulu. Sudah Bunda siapkan bubur ayam."
"Wah terima kasih Bunda. Alya mandi dulu, ya."
Bunda mengangguk. Lalu meninggalkanku sendirian di kamar.
***
Aku sedang membaca ulang novel yang pernah kuterbitkan dulu saat Mas Tama pulang dari bekerja. Meninggalkan novel di atas sofa, aku bangkit dan mengulurkan tangan padanya.
"Mau apa?" tanyanya dingin.
"Salim," ujarku.
"Nggak usah. Sudah sana mandi, kita langsung pergi." Mas Tama pergi begitu saja meninggalkan tanganku yang masih mengambang di udara. Aku tersenyum kecut. Dulu, bahkan tanpa ku minta, tangan kita sering bersentuhan karena lelucon-lelucon indah.
Aku melangkah malas menuju kamar mandi. Mengguyur badan dengan dinginnya air sore ini karena hujan. Memilih untuk tidak menggunakan air hangat. Bahkan, dinginnya air saja masih kalah dengan dinginnya sikapnya padaku.
Kulihat dia sudah siap saat aku keluar kamar mandi.
"Lu siap-siap. Gue tunggu di bawah," ucapnya tanpa mendengar jawabanku.
Aku hanya menatap kepergiannya tanpa sepatah kata. Lantas segera memoles wajah tipis, merapikan jilbab, menyemprot beberapa parfum, lalu memasukkannya ke dalam tas, dan segera bangkit menyusulnya di bawah.
Mas Tama terlihat membiarkanku kesusahan membawa beberapa tas yang berat turun dari tangga. Karena kebetulan tak ada Ayah dan Bunda disana. Aku hanya tersenyum kecut saat sampai bawah dengan nafas ngos-ngosan dan susah payah menahan asmaku agar tidak kambuh di depannya.
Setelah pamit dengan keluarga, kini aku dan Mas Tama berada di mobil. Menuju ke rumahnya di kawasan perumahan elit yang tak jauh dari rumah orang tuanya.
Memasuki rumah tipe 70 dengan dua lantai. Rumah minimalis dengan model yang cukup cantik. Memiliki balkon simpel dan carport yang hanya cukup untuk sebuah mobil. Dilengkapi juga dengan taman yang tidak begitu luas. Memang rumah ini tidak sebesar rumah orang tua Mas Tama, namun cukup asri dan indah jika dikelola dengan baik.
Aku mengikuti Mas Tama masuk ke dalam rumah. Ia naik ke lantai dua dengan cepat tanpa memikirkan aku yang membawa barang berat. Mas Tama menunggu tak sabar di depan dua kamar.
"Ini kamarku!" Tunjuknya pada sebuah kamar yang tertutup di sebelah tangga. "Dan itu kamarmu!" Mas Tama kembali menunjuk pada kamar yang berada di ujung lorong, tepat di sebelah kamarnya.
Aku mengangguk. Kamar kami sama-sama tidak memiliki balkon. Balkon yang kulihat tadi ternyata adalah balkon yang terhubung dengan ruang keluarga di lantai dua. Aku menata beberapa pakaian dan barangku. Sampai dadaku terasa agak sesak dan segera menghirup inhalerku.
"Kalau begini caranya bisa asma terus aku, apa aku minta obat saja ke dokter? Ah, iya. Besok setelah ketemu sahabatku, lebih baik aku langsung ke rumah sakit," ujarku pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti [TAMAT]
RomanceAku tak pernah menyangka dalam hidupku bisa menikah dengan dia, orang yang ku suka sejak lama, meskipun aku hanya sebagai pengganti pacarnya yang pergi di hari akadnya