THE CHANGE

9K 561 2
                                    

Menatap pantulan diriku di cermin, kemeja warna biru muda, rok panjang warna biru tua, kerudung biru tua dengan yang dililit di leher, serta jas biru tua yang sedang ku pegang. Jam menunjukkan pukul enam pagi ketika aku turun dari kamar, sekalian membawa tas kerja biar tidak bolak-balik ke atas.

Aku masih tetap membangunkan Mas Tama shubuh tadi, namun aku sudah bertekat untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapannya.

Kukeluarkan daging sisa beberapa malam lalu dari kulkas, mengendusnya, tak bau, lalu kucoba merasakan sedikit potongan daging dan masih enak. Kutuang margarin di teflon, lalu memanggangnya lagi agar lebih enak. Sembari kukeluarkan kentang dan mulai mengupas, mencuci, serta memotongnya sebagai teman makan pagi ini, karena tidak ada nasi.

Menata dua piring, meletakkan dua potong daging di sana, sekarang aku sedang menggoreng kentang, sembari mencincang bawang bombay untuk membuat saos. Saat kentang sudah matang, kutata dan kubagi pada dua piring. Menumis bawang bombay tadi, lalu kuberi sedikit air, kutuang saos barbeque dan saos cabe, lalu ku aduk, dan ku taburkan di atas potongan daging dan kentang.

"Sepertinya enak," ucap Mas Tama mengejutkanku. Karena terlalu asik memasak, aku sampai tidak sadar jika Mas Tama sudah duduk di meja makan.

Aku hanya tersenyum simpul sembari melihat jam, sudah setengah tujuh. Kulihat Mas Tama bangkit, kemudian mengambil barang masakan yang kotor di tanganku.

"Duduk aja, biar ini gue yang cuci," ujarnya.

Aku berjalan ke meja makan sembari membawa dua piring beserta pisau kecil dan garpu. Jujur, aku merasa sangat bingung dengan sikap Mas Tama pagi ini. Doa yang selalu kupanjatkan adalah supaya Mas Tama bisa menerimaku menjadi istrinya dengan baik. Apakah hari ini Mas Tama sudah bisa menerima keadaan itu? Kutatap punggung pria yang katanya suamiku itu, asik sekali dia mencuci, padahal dia sudah mengenakan kemeja, siap berangkat kerja. Bahkan aku baru sadar, kemeja yang kita pakai hari ini memiliki warna yang senada.

Lelaki itu telah selesai. Menurunkan lengan kemejanya dan duduk di hadapanku. Menatapku sebentar lalu beralih menuju sepiring dagingnya.

"Ini daging kemarin?" tanyanya. Aku menatapnya. Lalu hanya mengangguk.

"Emang masih enak?" tanyanya lagi.

Menghembuskan napas kasar, aku menjawabnya. "Kalau nggak suka, nggak perlu dimakan, ada roti tawar sama selai di kulkas. Mau bikin sendiri apa tak bikinin?"

Mas Tama menatapku. "Sepertinya ini enak sih, gue makan ini aja."

Perilaku ini memang seperti Mas Tama yang dulu saat masih menjadi sahabatku, tapi bukan seperti Mas Tama yang menjadi suamiku. Jujur, aku rindu perlakuan baiknya seperti ini, namun ini terlalu cepat untuk dia berubah, kan? Aku malah takut jika ada sesuatu yang dia sembunyikan. Entah kesalahan apa yang kali ini dia perbuat sampai dia harus susah-susah berbuat baik seperti ini?

Aku kembali makan. Berusaha tidak memperhatikan Mas Tama. Kulihat dari sekilas, lelaki yang kini makan di hadapanku sering menatapku. Entah apa maksudnya aku tak tahu. Setelah menghabiskan sarapanku lebih dulu darinya, aku segera mengambil gelas di pantri, menuang air dingin di kulkas, menenggaknya, dan segera mengambil jas serta tas kerjaku.

Nggak bisa diginiin aku, pasti bakalan cepat luluh kalau kayak gini caranya, batinku.

Aku melewati Mas Tama begitu saja. Kulihat dari ujung mataku, dia seperti menatapku bingung.

"Sudah mau berangkat?" tanyanya. Aku hanya mengangguk sembari memungut barangku di kursi ruang tamu.

"Lu nggak mau salim dulu sama suami?" tawarannya membuatku mematung beberapa detik. Tumben dia menawarkan diri untuk salim?

"Iya."

Berjalan menuju meja makan, dia masih belum menghabiskan makanannya. Meraih tangan yang dia angsurkan, padahal saat itu, aku salim saja dia terpaksa. Mas Tama mengelus puncak kepalaku pelan. Hatiku semakin tak karuan rasanya.

"Hati-hati. Lu balik jam berapa?" Ah, lelaki ini kenapa jadi banyak tanya sih. Aku kan jadi takut luluh sama sikapmu.

"Belum maghrib kuusakan dah balik," jawabku langsung keluar rumah, memakai sepatu hak hitamku sembari menenangkan hati yang berdegup kencang menerima sikap baiknya pagi ini.

"Jangan pulang terlalu malam," teriaknya. Aku bergeming. Tak menjawabnya.

"Jangan lupa mobil nanti parkir rumah aja, biar gue yang parkir di sana," ucapnya mengejutkanku. Terjingkat dari jongkokku. Untung saja tidak terjatuh.

Aku bangkit, menatapnya dengan ekspresi bingung. Lelaki itu telah berdiri di depanku.

"Kenapa lu?" tanyanya.

"Yang harusnya nanya kenapa tuh aku, Mas. Kamu kepentok apa? Atau habis bikin kesalahan apa? Kok tumben baik banget?" Aku menanyakan kebingunganku saat ini.

"Lhah, kan gue bilang mau mencoba menerima lu sebagai istri gue, ya harus dengan sikap yang baik dong. Kalau dengan sikapku selama ini, ya kapan gue bisa nerima lu, Al. Emang salah?" tanyanya balik.

Aku tersenyum. "Jangan dipaksa kalau memang kamu belum bisa nerima aku. Aku kerja dulu. Kamu hati-hati kerjanya. Assalamualaikum."

Tanpa mendengar jawabannya, aku segera berjalan cepat menuju taman kompleks. Tatapan matanya tak pernah bohong. Sinar matanya mengatakan dia terpaksa melakukan ini. Bukankah harusnya aku senang kalau dia berubah? Namun ternyata tidak. Yang kuinginkan hanyalah perubahan pada dirinya tanpa paksaan dan merasa bahwa dirinya tak bisa hidup tanpaku.

"Aku harus buat Mas Tama memerlukanku pada setiap kegiatannya di rumah," ucapku kekeuh sebelum masuk ke dalam mobil.

***

Yang lagi baca, nggak ada niatan buat tap vote gitu? 😭, Seneng sih ada yang baca, tapi kenapa pada silent reader sih 😭, lagi semangat ngelanjutin cerita ini lho, jangan lupa tap vote ya bestie 😘

Sekalian nih mau kenalin official account Instagram nya cerita ini, bisa di follow ya bestie @pengantin.pengganti_

pengganti_

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pengantin Pengganti [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang