HAPPINES

8.2K 480 2
                                    

Hello, wellcome back
Maaf ya karena terlalu sibuk di tempat magang, mari kita lanjutkan cerita ini

***

Aku terbangun tengah malam karena tenggorokanku terasa begitu kering. Agak merasa terkejut karena Mas Tama tidur di sebelahku. Menepuk jidat pelan. Benar. Aku yang menyuruhnya tadi. Kuambil gelas di nakas dan meminumnya, kemudian menatap wajah lelah Mas Tama.

"Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah, Engkau cukup bagiku sebagai penolong atas suamiku, lembutkan hatinya padaku, palingkan hatinya padaku, tundukkan hatinya padaku, dan jadikan aku mencintainya sehingga dia datang padaku dengan tunduk tanpa menunda-nunda, sibukkanlah dia dengan mencintaiku, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aamiin Ya Rabbal Alamiin."

Kupanjatkan doa yang selama ini terlontar meski kita beda kamar, dan kali ini subjek doa ada di hadapan. Aku baru ingat, kenapa Mas Tama segampang itu aku suruh tidur di sebelahku? Kenapa dia tidak menolak?

Kurasakan tubuh lelaki itu bergerak, dan benar saja matanya terbuka.

"Eh, ada apa, Al? Kenapa nggak bangunin gue?" tanyanya dengan suara parau.

"Enggak, cuma haus aja kok." Aku kembali memposisikan diri untuk tidur.

"Oh, ya sudah, tidur ya, kalau ada apa-apa bangunin gue aja," ucapnya sembari menepuk pelan puncak kepalaku. Perlakuan itu sanggup membuatku membatu beberapa saat. Perlakuan singkat yang dapat meluluhlantakkan perasaan wanita manapun.

Aku hanya mengangguk, lantas mencoba untuk memejamkan mata.

"Mulai besok kita tidur sekamar aja di kamar gue. Lu nggak usah pindahan, biar gue yang pindahin barang-barang lu, dah tidur."

Bukannya tidur, rasanya kantukku menghilang begitu saja mendengar titahnya. Sedikit tersenyum karena dia sudah mulai membuka dinding pembatas ini, atau memang ini karena ucapan perdebatan kita tadi? Ah, sudahlah. Harusnya kan aku senang karena perubahan sikapnya ini, kan? Kenapa malah sekarang aku jadi bertanya-tanya.

Aku akhirnya memaksa mata untuk terpejam, memaksa diri ini menuju angan mimpi dan tidak memikirkan tentang kemungkinan yang ada, karena aku takut bahwa pada akhirnya aku yang akan terluka oleh kemungkinan-kemungkinan yang aku buat sendiri.

***

Jam menunjukkan pukul delapan pagi ketika aku bangun. Tak kudapati Mas Tama di kamar, pun dengan beberapa barang-barang ku yang sudah menghilang. Apakah semalam bukan mimpi?

Hampir terkejut ketika aku belum melaksanakan salat subuh, namun lebih terkejut lagi ketika kudapati darah di atas seprei, ah, tamu bulanan ini. Pantas saja Mas Tama nggak bangunin aku, mungkin dia sudah sadar atas darah menstruasi ini.

Aku bergerak cepat menuju toilet, membersihkan diri, lalu keluar dan ingin mencuci seprei dan bedcover. Namun kulihat Mas Tama sedang melepas seprei itu.

"Eh, Mas. Jangan."

Dia melirikku. "Apa? Nggak ah, lagi sakit juga, nggak usah dicuci sendiri. Mau gue bawa ke laundry aja. Udah sana istirahat dulu di ruang keluarga. Terima beres aja gue yang bersih-bersih."

Aku diam mematung. Menatapnya yang sedang fokus. Sebenarnya ikut memastikan, apa benar ini Mas Tama?

Dia menatapku lagi. "Astaga. Ngapain sih, Al. Sedang memastikan ini gue? Ini beneran gue, Al. Udah sana ah. Banyak debu, ntar kerjaan gue numpuk kalau lu jadi sesak napas gara-gara debu, Al."

Pengantin Pengganti [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang