13. Tapi,

372 47 25
                                    

Dev sampai di sekolah Alex pada pukul lima sore, terpaut tiga jam setelah Xero menelponnya untuk menjemput Alex dan terpaut dua setengah jam setelah Lusa memarahi Dev saat ia sampai rumah.

Dev keluar dari mobil lamborghininya yang sengaja ia tempatkan di area yang cukup jauh dari sekolah Alex. Dari dulu memang seperti itu, Dev tidak suka kalau dirinya atau barang-barang kepunyaannya terlalu mencolok. Lelaki itu berjalan sembari membawa payung di genggaman.

Rintikan hujan masih berjatuhan dan saat pandangannya tertuju pada gerbang sekolah adiknya, Dev agak tersentak.

"Alek?" Anak lelaki itu menoleh. "Kenapa basah kuyup?"

Dev refleks mempercepat langkahnya dan berhenti di depan Alex. Ekspresi anak itu tampak suram.

"Lo habis hujan-hujanan?" tanya Dev.

"Terpaksa," ucap Alex. Ia menunduk dan saat itu Dev melihat kedua tangan Alex terkepal.

"Terpaksa? Siapa yang maksa lo buat hujan-hujanan?" Dev menembakkan serangan pertanyaan. "Terus pipi lo kenapa merah? Ada yang gangguin lo? Siapa?"

"Cerewet ah kaya Bang Dante!" sungut Alex. "Masa gitu aja gak peka sih?!"

Dev menaikkan sebelah alisnya.

"Alek abis main hujan-hujanan sama Zenith!"

"Zenith?"

"Cewek yang lagi Alek taksir."

"Oh, si cewek karate itu?"

"Iya!"

"Jadi maksud lo, pipi lo merah juga karena dia?"

"Banyak tanya banget sih, Bang," Alex mulai sebal.

"Ya siapa tau lo bohong."

Alex memicingkan mata sinis pada Dev. "Congormu itu loh, minta dikampleng! Lagian ini semua terjadi karena Bang Dep lama jemput Alek! Coba kalau Bang Dep jemput lebih awal, Alek gak mungkin kaya gini."

"Lo tinggal tolak si Zenith itu—"

"Gak bisa!" potong Alex. Wajahnya benar-benar memerah pertanda kesal. Dev bisa melihat dari sorot mata Alex bahwa dia memang serius marah padanya.

"Maaf ya. Gue yang salah karena terlambat jemput lo," ucap Dev, tulus. Dia yang sedari tadi telah memayungi adik lelakinya itu pun menggiring Alex agar melangkahkan kaki.

"Sebagai tanda permintaan maaf gue, gimana kalau kita beli makanan kesukaan lo? Gue yang traktir."

"Beneran?" Ekspresi kesal di wajah Alex perlahan memudar.

"Apa pun buat lo," angguk Dev.

Seulas senyum terbit di wajah Alex. Ia mengangguk-angguk setuju dan mempercepat langkahnya menuju mobil milik Dev. Melihat itu, Dev jadi agak lega karena mau bagaimana pun ini memang salahnya karena mengabaikan panggilan dari Lusa sebab sibuk membantu Caca dan ayahnya. Akibatnya, Alex jadi terlalu lama menunggu dalam keadaan basah kuyup begitu.

Dev tidak menyimpan curiga saat Alex berkata di dalam mobil.

"Bang, jangan bilang-bilang ke Bunda ya?"

Dev menaikkan sebelah alisnya.

"Soal Alek yang main hujan-hujanan sama Zenith," lanjut Alex.

"Kenapa?"

"Gapapa. Pokonya jangan bilang ke Bunda."

* * *

Hujan turun lagi pada malam hari. Lebih deras daripada sore tadi. Dev yang baru saja selesai makan malam melemparkan tubuhnya ke ranjang yang empuk. Sorot matanya menerawang ke langit-langit kamar, menatap seolah di atas sana ada kilasan balik tentang peristiwa sore tadi.

3. Golden SonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang