17. Penuh Kecacatan

309 27 6
                                    


Daripada cahaya, tempat itu lebih dipenuhi oleh kegelapan dan musik bernada keras diiringi suara-suara tawa dari orang yang hilang kesadaran.

Selama nyaris empat belas tahun, bagi Dalvin, bar adalah rumah keduanya. Segelas cocktail yang berkadar alkohol tinggi seolah telah menjadi 'obat' dari semua luka-lukanya.

Dalvin duduk sendirian di minibar. Ia menyesap habis gelas ketujuh berisi vodka.

"Tambah lagi," ucap Dalvin dengan suara lunglai dan mata sayu.

Bartender yang telah bekerja selama puluhan tahun di bar itu mengambil gelas dari tangan Dalvin, tapi bukannya berbalik untuk mengambilkan segelas lagi, ia malah menatap Dalvin dengan tatapan tajam.

"Lo mau mati?" katanya sarkas. "Seminggu ini lo udah minum hampir selusin botol alkohol!"

Dalvin tak menjawab. Ia terkekeh-kekeh, lalu berniat ingin beranjak dari kursinya.

Bartender yang bernama Wylan itu mencegah tangan Dalvin.

"Gue udah kenal lo dari zaman anak lo umur empat tahun yang terus nangis-nangis di rumah karena bapaknya kabur-kaburan mulu ke bar. Sampai sekarang lo udah jadi dosen senior dan anak lo udah hampir dua puluh tahun, tapi tingkah lo masih gak karuan aja, Vin."

Dalvin terkekeh lagi. "Ingatan ... kuat ...."

Wylan mengguncangkan lengan Dalvin. "Bisa gak sih lo ceritain sedikiit aja soal masalah lo? Jangan jadi kayak gini!"

"Gak ada masalah," cicit Dalvin. Ia mengacungkan jari telunjuk dan berteriak. "SEMUA AMAN!"

Dalvin menepis tangan Wylan. Ia melengos pergi ke tengah-tengah bar dan cekikikan bersama orang-orang mabuk lainnya sembari menari.

Wylan yang melihat itu menghela napas panjang. Awalnya ia hendak menyusuli Dalvin, tapi gerakannya tertahan oleh pengunjung yang memesan.

Wylan tidak tahu bahwa Dalvin menari mengikuti irama, namun gerakannya begitu lunglai dan tak terkendali sehingga ia tak sengaja menubruk bahu salah satu pria yang sudah teramat mabuk. Singkatnya, pria itu marah dan tak terima.

Dalvin menanggapinya dengan cengiran lebar tanpa dosa dan di detik itu juga sebuah tinjuan keras melayang ke tulang pipinya. Saking kerasnya tinjuan itu, tubuh Dalvin oleng dan terjatuh. Ia langsung kehilangan kesadaran.

* * *

"Jadi udah dari kapan kamu suka sama Caca?"

Dev yang tengah mengunyah nasi nyaris menyemburkan isi mulutnya saat mendengar ujaran Anton alias ayah Caca.

"Ayah, apaan sih!" Caca yang duduk di samping Dev, berseru.

Anton terkekeh. "Yeh, nggak salah dong Ayah. Kan kamu tau sendiri, Ca, kalau Ayah suka to the point."

"Ya tapi jangan ngomongin sesuatu yang nggak bener gitu dong, Ayah!"

"Siapa bilang nggak bener?" Dev menyahut yang membuat Caca spontan melihat ke arahnya dengan ekspresi terkejut.

"Tuh kan, Ayah bilang juga apa," kekeh Anton. Ia menatap Dev. "Caca suka cerita tentang kamu loh ke Om. Katanya kamu cowok paling baik yang ada di sekolah."

Wajah Caca memerah. Dev senang melihat itu, makanya ia bertanya dengan senyuman seolah meledek Caca.

"Masa iya, Om? Terus Cerulean bilang apa lagi?"

"Katanya kamu ganteng." Ibunya Caca ikut menimbrung. "Terus kamu juga enggak suka ngegosip kayak temen-temen Caca yang lain."

"Temen-temen aku yang mana, Bu?" Caca menghela napas lalu melanjutkan melahap makanannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

3. Golden SonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang