Tiiiin! Suara klakson membangunkanku. Kulihat sorot lampu tepat di hadapanku. Tidak! Aku telah menyetir melewati garis marka jalurku. Buru-buru kukembalikan arah mobil ke jalurku.
"Astaghfirullah," ucapku dengan tubuh gemetar.
Maut hampir saja menjemputku. Untung aku bisa mendengar suara klakson dari mobil yang berpapasan denganku baru saja.
Kulafalkan kalimat takbir untuk menenangkan hatiku.
Namaku Nuri, aku seorang pemilik perusahaan distributor produk rumah tangga. Usiaku 33 tahun dan hari ini adalah hari ulang tajun pernikahanku yang ke empat belas.
Hari ini suamiku memintaku untuk merayakan anniversary di hotel A. Padahal tahun-tahun sebelumnya dia tidak pernah melakukannya. Dia hanya akan meminta kado mahal dariku.
Katanya hari ini spesial dia ingin berduaan tanpa anak kami Alika, jadi dia memutuskan untuk bertemu denganku di hotel. Namun istri mana yang di hari spesialnya tetap mendapatkan umpatan tolol?
Aku menarik napas panjang teringat kembali perkataannya sebelum aku ke sini.
"Lu tolol, kan lu CEO kenapa gak nyuruh orang buat beli? Kan gue udah nitip dari siang. Beliin gue kue yang lagi viral itu," bentak mas Diki melalui saluran telepon.
Tanpa ampun mas Diki mengumpatku karena masalah kue yang belum kubeli lantaran aku terlalu sibuk sampai lupa.
Aku membuka kaca mobil membiarkan angin laut menerpa wajahku. Mas Diki dimana hatimu? Padahal aku sudah melakukan semua untukmu, untuk keluarga kita tanpa sedikitpun aku menuntut apapun padamu. Harapanku hanya satu darimu, perhatian.
"Sudahlah lupakan semua," ucapku menenangkan hati.
Pemandangan malam ditempat ini sungguh luar biasa. Laut luas terlihat langsung di jalan ini. Namun kita harus benar-benar fokus karena jalan naik turun dan berkelok.
Saat melalui jalan menurun kurasakan laju mobil semakin kencang padahal aku tidak menekan gas terlalu dalam. Lalu kucoba mengurangi pijakan gasku. Semakin lama bukannya berkurang malah justru semakin cepat. Kuinjak rem, tapi tidak ada sedikitpun pengurangan kecepatan.
"Eh, kenapa nih?" Kuinjak beberapa kali namun nihil.
Aku mulai panik lantaran di depan sana ada turunan dengan tikungan tajam.
"Ya Allah tolong selamatkan aku," ucapku sambil terus menginjak rem.
Ketika sampai di tikungan, aku bisa mengontrol stir walaupun kecepatan masih tak berkurang.
Masih ada satu tikungan curam. Jantungku berdebar kencang ketika aku melewati tikungan ini.
"Alika-Alika, Mama sayang kamu nak," ucapku.
Mobil meluncur dengan cepat, buru-buru kuputar stir, tikungan pertama lolos namun ditikungan kedua aku tak sanggup lagi memutar balik stir mobil sehingga mobil melaju lurus menabrak tebing.
Bruuuk! Hantaman mobil ke tebing sangat keras. Air bag keluar tapi tubuhku tetap merasa nyeri ketika menabrak air bag tersebut pasti saking kerasnya mobil menghantam tebing. Setelah itu, mobil terpental masuk ke jurang. Hal terakhir yang kuingat adalah kepalaku menghantam keras atap mobil.
***
Aku terbangun karena sakit kepala yang luar biasa. Sakit ini pula yang membuat pandanganku terlihat buram untuk beberapa saat. Samar kulihat langit-langit bangunan bercat putih. Kudengar juga suara mesin pendeteksi detak jantung dan suara lalu lalang orang yang cukup jauh.
Aku ada di mana? Kucoba untuk menggerakan badan, tapi sedikitpun tak ada gerakan. Seolah kekuatanku hilang begitu saja.
Setelah gagal menggerakan badan, aku coba menggerakan bola mata ke kiri-kanan. Kulihat ada, Alika! Seruku tanpa suara. Ia sedang berada di samping ranjang tertunduk dengan suara isak tangis yang begitu pelan.
Ingin kupegang kepalanya sambil berucap 'Mama sudah bangun, Nak.' tapi lagi-lagj tidak ada tenaga atau suara yang keluar.
Aku menyerah mencoba memanggil Alika. Biar kutunggu saja anak ini mengangkat kepalanya.
Dalam penantian itu aku mencoba mengingat alasanku berada di sini. Oh, kecelakaan! Aku mengalami kecelakaan saat pergi menuju hotel. Rem, remnya blong?
Ya, aku kecelakaan karena rem mobil yang tidak berfungsi, tapi bagaimana mungkin rem mobilku blong? Pak Rudi kan selalu menyervisnya tiap bulan.
"Mama!" Aku cukup kaget ketika Alika berteriak gembira.
Alika kemudian memanggil perawat melalui tombol darurat, selanjutnya dokter dan seorang perawat datang untuk mengecek kondisiku.
"Ibu, apakah Anda mendengar saya?" tanya dokter.
Iya, Dok. Kalimat yang hanya bisa terucap dalam pikiranku.
"Jika iya tolong kedipkan mata Anda tiga kali," perintah Dokter.
Aku mengedipkan mataku sebanyak tiga kali sesuai perintah dokter.
"Tolong ikuti arah gerak tangan saya, Bu," pinta dokter lagi
Dokter itu mengangkat telunjuknya di depan wajahku, dengan perlahan telunjuk itu digerakannya ke kiri dan ke kanan. Sesuai instruksi akupun mengikuti gerakan tangan itu dengan bola mata.
"Saya akan memegang kaki Ibu. Kedipkan mata sebanyak tiga kali jika Ibu merasakan tangan saya ada di kaki, jika tidak kedipkan satu kali."
"Bagaimana, Bu? Apa Ibu merasakan tangan saya?"
Saya gak merasakan apapun, Dok.
"Silahkan untuk mengedipkan mata!"
Kemudian aku berkedip sekali.
Suasana ruangan itu begitu tegang menanti jumlah kedipan mataku.
"Saya sudah mendapatkan hasil observasi pasca siuman sementara," ucap dokter itu setelah melakukan rangkaian tes lainnya lagi.
"Dok, gimana Mama saya?" menyela ucapan dokter.
Terdengar suara orang berlari menuju ruangan ini.
"Dok bagaimana istri saya?" Mas Diki muncul dari pintu dengan terengah-engah.
Sepertinya dia datang berlari ke sini setelah mendapat kabar kalau aku sadar.
Tak lama setelah mas Diki masuk ruangan Lani datang berlari, napasnya ngos-ngosan saat sampai di depan pintu.
"Saya akan bacakan observasi pasca Ibu Nuri sadar. Diagnosa pascasadar sama dengan setelah kecelakaan.
Bahwa Ibu Nuri mengalami trauma kepala dan cedera tulang leher yang mengakibatkan lumpuh total dan tidak bisa berbicara. Hal baiknya pendengaran, penglihatan dan kesadaran bu Nuri semuanya normal."
Lumpuh total dan bisu, aku cacat?
"Dok, apa yang kamu katakan? Aku lumpuh total dan gak bisa bicara? Berarti aku cacat?
G-gak, gak mungkin! Ini bercandakan? Aku cuma lemas aja kalau udah makan pasti bisa lagi. Mas Diki-Mas Diki, Alika tolong Mama, Nak, Lani, please ini bohongkan?" aku meronta dalam batin.Alika tersungkur di kakiku, menangis sejadi-jadinya. Mas Diki mendekati ranjang kemudian mencium punggung tanganku sambil menangis.
"Sabar Nuri, kamu pasti kuat!" ucapnya sembari mengelus punggung tangan.
Lani terlihat syok mendengar diagnosa dari dokter.
"Bapak dan Adek harus kuat agar bisa terus mendampingi dan memberikan support untuk Ibu Nuri," dokter mencoba menenangkan mas Diki dan Alika.
Jangan gitu Dok. Katakan ini gak benar atau katakan ada cara untuk mengobatiku. Ayo dok berapapun akan saya bayar.
"Apa ada cara untuk menyembuhkan istri saya, dok?" tanya mas Diki akhirnya.
"Sangat sulit dilakukan karena yang rusak adalah tulang leher dan syaraf yang ada di kepala," jelas dokter.
Mendengar ucapan dokter rasanya hilang harapanku untuk hidup.
Oh Tuhan, apa harus kau selamatkan aku dalam keadaan seperti ini? Lebih baik aku mati saja saat kecelakaan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengubah Takdir
General FictionPasca kecelakaan tragis sebuah fakta perselingkuahan suami dan sekretarisku terungkap. Lebih mengenaskannya lagi dalam kondiri lumpuh dan bisu keduanya kembali mengakhiri hidupku. Namun, aku mendapatkan keajaiban di luar nalar, bukannya mati aku jus...