Tak Berdaya

3.5K 177 4
                                        

Aku terpuruk melihat keadaanku. Rasanya tak ingin aku hidup di dunia ini.

"Tapi," ucap dokter memecah keheningan.
"Jangan sampi ibu, bapak dan adek kehilangan harapan. Saya akan konsultasikan dengan dokter-dokter di luar negeri. Bisa jadi sudah ada pengobatan terbaru untuk kasus bu Nuri," jelas dokter.

Apakah itu mungkin, dok?

"Betul apa kata dokter. Kita gak boleh hilang harapan apalagi kita down," Mas Diki berdiri tegak.

"Kalau kita down siapa yang akan menguatkan Mama, Alika," Mas Diki kemudian menghapus air matanya.

"Bangun Alika jangan menangis. Kamu harus kuat, Alika." Lani memeluk Alika dari belakang.

Tangis Alika tak bisa terhenti, bahkan jauh lebih kencang dari sebelumnya. Air mataku pun rembes di ujung kedua mataku.

"Ya Allah ini adalah cobaan terberat untukku," ucapku dalam hati.

Aku dan Alika tertidur setelah lelah menangis.

Aku terbangun oleh suara riuh aktivitas dokter visit. Beberapa dokter dan beberapa suster datang ke kamar rawat inapku. Mereka mengecek keadaanku. Aku tidak begitu mendengar percakapan mereka lantaran baru benar-benar sadar ketika mereka akan pergi. Namun yang kuketahui adalah ada penjadwalan tes MRI, CT-Scan, darah dan berbagai jenis tes lainnya.

"Aku akan mengantar Alika pulang ke rumah, Mas Diki," suara ibu mertuaku, bu Faridah.

"Iya, Bu." jawab mas Diki.

Sementara Alika sendiri sedang duduk dengan penampilan tidak karuan di sofa.

"Pulanglah, Nak. Mama akan baik-baik saja di sini. Istirahat yang cukup dan jangan terlalu bersedih," ucapku lirih dalam hati.

"Assalamualaikum," Ibrahim memberikan salam sembari masuk.

"Waalaikumusalam." Semua yang berada di ruangan mejawab, begitu juga dengan diriku meskipun hanya di dalam batin.

"Nak, Ibrahim?" tanya ibu mertua.

Ibrahim mencium tangan ibu mertua dan menajabat tangan mas Diki.

"Bawa tas begini baru datang atau mau pulang?" tanyanya kaku.

"Ibu sudah datang dari tadi, Nak, tapi sekarang mau pulang mengantar Alika. Nanti ada Diki yang menggantikan jaga Nuri, " jelas ibu Faridah.

"Oh, begitu. Alika, istirahatlah di rumah," ucap Ibrahim tanpa ekspresi.

Alika tak menjawab apapun karena ia kehilangan semangat.

"Maaf ya, Nak. Alika sejak tadi memang hanya diam karena sedih." terang mas Diki agar Ibrahim tak tersinggung.

"Gak apa-apa, Ki," jawab Ibrahim.

"Kami pamit dulu," ucap ibu Faridah.

"Silahkan, Bu."

"Ayo, Alika." Ibu mertua menggandeng tangan Alika dan mas Diki menenteng tas.

Alika bangkit dari sofa. Sebelum pulang dia mencium keningku tanpa berbicara apapun. Rasanya aku ingin menangis lagi, tapi kutahan sekuat tenaga.

"Aku antar dulu ibu dan Alika ke bawah," ucap mas Diki.

"Iya," Ibrahim menanggapi ucapan mas Diki tapi matanya menatapku tanpa berkedip.

Setelah semua orang pergi Ibrahim duduk di kursi yang ada di samping ranjang.

"Senang melihatmu membuka mata lagi, Nuri," ucap Ibrahim dengan ekspresi datar.

Sahabat kecilku ini memang orang yang tidak bisa menggambarkan perasaannya dengan mimik muka maupun kata-kata. Jika tidak mengenalnya orang pasti akan salah paham.

Mengubah TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang