Jika pak Rudi mengatakan handphone ku tak ada di mobil lalu di mana aku meninggalkannya? Apa mungkin di rumah? Gak mungkin handphone itu tertinggal di rumah karena tadi aku sempat berkirim pesan dengan pak Arma di dalam mobil dan jikapun jatuh saat aku berjalan ke kantor harusnya aku menyadari suaranya jatuh. Apa aku di copet di dalam lift?
Tok-tok-tok. Suara pintu yang diketuk membuatku sedikit terkejut. Dari pintu kaca yang transparan kulihat Dina kepala divisi tim marketing berdiri.
"Ya, masuk!" Ucapku lantang.
Dina masuk ruangan dengan membawa setumpuk map.
"Ini Bu, laporan yang Ibu minta semalam." Dina menyimpan beberapa map plastik berwarna-warni di atas meja.
"Terima kasih, Dina. Oh iya Dina. Hari ini Putri datang siang bisa gak kalau Riska bekerja di meja sekretaris sebelum Putri datang. Handphone saya hilang saya takut ada orang mencari saya ke telepon kantor karena saya tidak bisa dihubungi." Pintaku.
"Bisa, Bu."
Aku mengangguk mendengar jawaban Dina dan Dina pun segera keluar ruangan.
Kulihat tumpukan berkas di atas meja. Laporan tentang perusahaan selama satu minggu terakhir yang tak tersentuh olehku sejak munculnya masalah video viral.
"Hari ini akan sangat sibuk," ucapku sambil mulai membuka satu map berwarna kuning.
Tak terasa waktu sudah menunjukan jam 17.00 dan pekerjaanku sudah selesai juga. Kusandarkan tumbuh ke kuris sambil meneguk minuman boba yang tadi kami pesan.
Telepon dari meja sekretaris menyala. Kuangkat telepon itu.
"Sore, Bu. Ada telepon dari pak Ibrahim," ucap Putri.
"Sambungkan!" jawabku cepat.
"Dimana kamu? Aku sudah di hotel Lxxx," tanya Ibrahim tanpa basa-basi.
"Oh, ya ampun aku terlalu sibuk kerja sampai-sampai lupa janji denganmu," kulihat jam sudah melewati waktu janjian kami dan sudah bisa kutebak Ibrahim pasti sangat kesal."Aku ke sana sekarang," kututup telepon tanpa mengunggu jawaban dari Ibrahim.
Jarak hotel Lxxx dari kantor sebenarnya hanya membutuhkan waktu 15 menit saja tetapi karena ini jam pulang kantor kami baru sampai 45 menit kemudian.
Kupastikan lagi nomor kamar yang Ibrahim tulis di kartu ucapan.
"Nomor 7xxx," gumamku sambil membaca kartu ucapan.
"Iya, Bu?" Tanya pak Rudi.
"Oh," aku sedikit terkejut karena pak Rudi mengira aku berbicara dengannya."7xxx saya bilang. Saya sedang mengingat nomor kamar yang mau saya datangi bukan bicara dengan bapak," tuturku.
"Saya pikir ngajak ngomong saya tadi, Bu. Sudah sampai," ucap pak Rudi ketika kami berhenti di depan pintu masuk hotel.
Aku kemudian turun dan menuju kamar yang dijanjikan.
***
Selepas kepergian Nuri pak Rudi bertanya pada satpam yang berjaga di lobi apakah boleh dia memarkirkan di halaman hotel.
"Boleh Pak kalau tak menginap," jawab satpam itu.
Hati pak Rudi senang mendengarnya karena dia tak perlu merasa seram dan sumpek di bestmen. Saat hendak memarkirkan mobil pak Rudi melihat sosok yang ia kenali sedang berbincang dengan perempuan yang tadi pagi menabrak Nuri di depan lift.
"Itukan Lani? Sama siapa dia?" Pak Rudi tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa berusaha mencari tahu jawaban tentang Lani.
Sementara itu, Lani nampak tersenyum bangga kepada perempuan yang berada di hadapannya.
"Kamu sukses menangkap kedua ikan itu masuk dalam jebakan, Diani," ucap Lani pada sahabat karibnya itu.
"Aku hanya mengikuti rencanamu. Aku terpaksa melakukan ini karena janjimu yang akan membantuku keluar dari tempat karaoke," berbeda dengan Lani, wajah Diani justru terlihat tidak nyaman.
"Tunggu beberapa saat sebelum kamu masuk dan menggerebek kedua orang itu. Aku ingin kamu menangkap mereka ketika mereka sedang melakukan hal itu," ucap Lani.
Diani tak memberikan respon apapun.
"Oh iya jangan lupa kembalikan ini kepada orang yang punya. Kembalikan diam-diam seolah handphone ini tak pernah hilang." Lani tersenyum penuh rencana.
***
Sementara itu di lantai 7 hotel Lxxx.
Aku sudah sampai di depan pintu kamar 7xxx. Kuketuk pintu itu. Tak ada jawaban. Lalu kutekan bell. Setelah tiga kali bell di tekan suara kunci pintu kamar terdengar dibuka. Muncul sosok pria yang kukenal, Ibrahim.
"Nuri, tolong," ucap Ibrahim seperti orang yang kesakitan.
"Kamu kenapa?" Tanyaku yang menyadari kondisi Ibrahim berbeda dari biasnya.
Tubuh Ibrahim hampir jatuh jika tak kupegangi. Basah, seluruh tubuhnya basah. Kupikir itu darah tetapi itu ternyata keringat. Syukurlah dia tidak menjadi korban penusukan atau hal buruk lainnya.
"Ayo masuk dulu." Tubuh kecil ini setengah mati berusaha membopong tubuh besar Ibrahim.
Kugeletakan tubuh Ibrahim di kasur.
"Panas," ucap Ibrahim lemah.
Aku menarik remote AC yang berada di nakas. Tertulis 14°c, ini suhu terendah dan ruangan inipun sangat dingin menurutku.
"Apa maksudmu haus?" tanyaku memastikan maksud kata 'panas' yang dikeluhkan Ibrahim.
"Tubuhku kepanasan seperti akan ada yang meledak," ucap Ibrahim lirih.
"Ayo buka jasmu dulu!" Kubantu Ibrahim untuk melepas pakaian atasnya.
"Kamu kenapa bisa kaya gini?" Tanyaku sembari melepas jas dan kemeja Ibrahim.
"Sepuluh menit yang lalu tidak kenapa-napa tetapi setelah aku minum sajian yang kamu sediakan tiba-tiba tubuhku jadi aneh." Ibrahim menjelaskan dengan suara yang serak.
Aku melihat ke arah meja yang di tatap Ibrahim. Di sana tersaji beberapa jenis makanan berat, kue-kue dan minuman dingin.
"Aku tidak pernah menyiapkan makanan atau minuman untukmu di sini," ucapku menepis tuduhan Ibrahim.
Ibrahim terlihat terkejut mendengar jawabanku.
"Lalu siapa yang menyuruh bell boy mengantar makanan ke kamar ini?"
"Jelas bukan aku karena aku saja baru pertama kali datang ke hotel ini,"
"Apa maksudmu, Nuri? Bukankah kamu yang memesan kamar ini?" Ibrahim susah payah menahan rasa sakit.
"Apa? Aku datang ke sini karena undanganmu," aku merogoh kartu ucapan yang berada di dalam tas.
Kutunjukan itu pada Ibrahim.
"Aku tak tahu apapun tentang kartu itu. Aku justru mendapat pesan chat darimu untuk datang ke sini segera karena kamu bilang ada hal penting yang tak bisa dibahas di kantor."
"Handphone ku sejak pagi menghilang." Aku dan Ibrahim bergeming. Kami sama-sama sadar bahwa pertemuan ini pasti jebakan.
Aku berjalan ke arah meja yang berisi makanan.
"Bisa jadi makanan dan minuman ini diberikan obat. Kalau perkiraanku tidak salah pasti ini adalah ulah Lani dan Mas Diki," ucapku sambil menoleh lagi ke arah Ibrahim lagi.
Bruk! Aku menabrak dada tanpa busana Ibrahim. Kulihat wajah Ibrahim merah.
"Maaf Nuri aku tak tahan lagi,"
"Apa maksudmu?"
"Tolong hilangkan rasa sakit di tubuhku ini, Nuri, tolong." Ibrahim tiba-tiba memelukku erat.
Untuk sesaat aku hampir membalas pelukan Ibrahim yang penuh gairah itu namun kesadaranku kembali sebelum hal itu terjadi. Ini semua tidak benar. Ini jebakan.
"Sadarlah, Ibrahim! Kita gak boleh masuk dalam jebakan." Aku meronta-ronta.
Bukannya terlepas justru dengan mudahnya Ibrahim memindahkanku ke kasur bahkan menindih tubuhku.
"Ibrahim! Sadar!" Aku berteriak dan terus meronta.
Tok-tok-tok! Ketukan pintu yang cepat dan tak biasa sepertinya cukup membuat kesadaran Ibrahim kembali. Dia melepaskan tubuhku dan meringkuk di lantai.
Syukurlah hal buruk tidak terjadi tetapi kini ada masalah lain yang harus segera kuatasi.
Aku berjalan pelan ke arah pintu dengan. Dekup jantungku berdetak sangat cepat. Apa yang harus kulakukan jika itu Lani atau mas Diki?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengubah Takdir
Ficción GeneralPasca kecelakaan tragis sebuah fakta perselingkuahan suami dan sekretarisku terungkap. Lebih mengenaskannya lagi dalam kondiri lumpuh dan bisu keduanya kembali mengakhiri hidupku. Namun, aku mendapatkan keajaiban di luar nalar, bukannya mati aku jus...