"Kamu tidak bisa lewat ke sini." Seorang pria jangkung menghentikan langkahku.
Tentu saja aku berhenti karena pria itu tiba-tiba ada dihadapanku. Kulihat sekeliling adalah ruang tak berujung yang berwarna putih. Meskipun, tempat ini asing tapi sedikitpun tak ada niatan untuk bertanya 'ini di mana?'.
"Iya, Nak, ini belum waktunya kamu ke sana." Seorang wanita yang hangat sikapnya turut berbicara.
Aku heran kenapa wanita ini tiba-tiba ada di sini padahal tadi dia tak ada.
"Lalu aku harus kemana?" tanyaku dengan tatapan bingung.
"Ayo ikuti kami." Wanita itu memberikan tangannya untuk kugenggam.
Aku menurut, mengikuti kemana tangan wanita itu pergi. Pria jangkung tadi pun turut berjalan bersama kami.
Setelah menggenggam tangan wanita itu aku baru sadar bahwa tubuhku adalah tubuh saat aku berusia tiga tahun.
"Nuri?" panggil pria jangukung itu.
"Apa kamu ingin lolipop?," lanjut pria itu sambil memberikan sebuah permen.
Aku menerima lolipop yang sudah terbuka bungkusnya itu dan tanpa malu memasukannya ke dalam mulut.
"Apakah kamu ayahku?" aku bertanya dengan polos.
Pria itu mengangguk sekali. Aku bergantian menatap wanita yang menggenggam tanganku.
"Kalau begitu apakah kamu ibuku?" aku hanya asal menebak.
"Apa kamu ingat kami adalah orang tuamu?" Tanya wanita itu.
Aku menggeleng.
"Sayang sekali. Meskipun tak ingat, tapi tebakanmu benar," jawabnya dengan senyuman.
"Oh," responku masih tetap mengemut permen.
"Bagaiman aku tahu kalau kalian tidak berbohong?" entah kenapa aku tidak terlalu peduli jika mereka memang orang tuaku atau bukan.
Wanita dan pria itu tertawa hangat.
"Kamu memang anak yang cerdas, Nuri." Wanita itu melepas tanganku, kemudian dia berjongkok di hadapanku diikuti pria jangkung juga.
"Kami tidak bisa mengantarmu lebih jauh lagi. Di sana adalah jalan keluar yang harus kamu lalui sendiri,"pria yang mengaku ayahku ini menunjuk sebuah titik hitam.
"Berjanjilah pada kami, setelah melewati itu kamu akan menjalani hidup bahagia dan melakukan semua keinginanmu yang tak pernah kamu lakukan sebelumnya." Wanita yang mengaku ibuku ini penyatukan kening kami berdua.
"Bolehkan aku memegang wajah kalian?" tanyaku tiba-tiba.
"Tentu saja," mereka menjawab berbarengan.
Aku menyentuh pipi mereka berdua. Entah kenapa air mataku rembes. Kedua orang yang mengaku adalah orang tuaku melekatkan wajah mereka di pipiku. Aku meraskan tetesan air mata mereka yang hangat di pipiku.
"Setelah aku melewati titik itu, aku berharap tidak melupakan wajah kalian berdua," ucapku sebelum aku terbangun karena suara alarm yang nyaring.
"Hah!!!" Suara napas yang memburu.
Kupandangi sekelilingku, kamar yang sudah sepuluh tahun kutempati, di sampingku ada mas Diki tertidur pulas.
"Mimpi mengerikan apa ini?" tanyaku masih dalam keadaan berbaring.
Aku merasakan pipiku basah dan hangat oleh air mata. Sebegitu mengerikan dan menyedihkannya mimpi itu hingga aku menangis dalam tidur.
"Cap-cap-cap." Suara mengecap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengubah Takdir
General FictionPasca kecelakaan tragis sebuah fakta perselingkuahan suami dan sekretarisku terungkap. Lebih mengenaskannya lagi dalam kondiri lumpuh dan bisu keduanya kembali mengakhiri hidupku. Namun, aku mendapatkan keajaiban di luar nalar, bukannya mati aku jus...