Hasil Tes DNA

1K 65 2
                                    

Perasaanku semakin mengeras setelah mendengar tuduhan-tuduhan yang disampaikan mas Diki serta mengetahui perasaan mas Diki selama menikah denganku. Sudah tidak ada lagi ruang untuk menangis. Sudah tidak ada lagi ruang untuk kecewa, yang kurasakan adalah ambisi untuk membuat dia hancur sehancur-hancurnya.

"Bagaimana sodara Nuri apakah ada yang disampaikan atau dibantah?" tanya hakim kepadaku setelah selesai bertanya pada mas Diki.

"Ya, Yang Mulia, tuduhan perselingkuhan saya dengan pengacara saya serta Alika bukan anak mas Diki adalah bohong. Mas Diki berselingkuh karena keegoisan dia sendiri dan untuk lolos dari hukuman perselingkuhan, dia sengaja menuduhkan fitnah yang sangat keji itu pada saya." Tuturku.

"Apa ada bukti?" tanya Hakim.
Aku menatap mas Diki penuh kebencian.

"Ada, Yang Mulia," ucapku tegas tanpa menolehkan pandangan dari mas Diki.
Ibrahim kemudian berdiri membawa beberapa kertas yang dan diberikan ke Hakim dan kebeberapa orang lainnya.

"Tes DNA?" Tanya Hakim.
"Iya, Yang Mulia." Aku mengangguk sebagai penegasan.
"Sebelumnya sodara tidak memasukan bukti ini di berkas?"
"Hasil tesnya keluar hari ini, Yang Mulia," jawab Ibrahim.

"Saya juga ingin memberi kejutan pada suami saya. Jika hal yang dia lakukan bisa juga kami lakukan bahkan lebih baik." Aku melirik mas Diki.

Kulihat dia terkejut, sepertinya dia tak mengira bahwa aku bisa melakukan tes DNA dirinya dan Alika.

Kejadian mas Diki dan Lani yang mencuri rambut Alika membuat kami semakin waspada. Ibrahim khawatir jika Diki bertindak bodoh membawa omong kosongnya ke pengadilan. Dia memintaku mengambil sikat gigi dan mencari rambut mas Diki di sisir rambut yang biasa mas Diki pakai di rumah. Sebagai penguat Ibrahim juga menyuruhku untuk mengecek DNA dirinya dan Alika.

Hakim belum melanjutkan pertanyaan lagi karena sibuk membaca hasil tes DNA.

"Di sini ada laporan tes DNA antara Alika dan Diki serta tes DNA antara Alika dan Ibrahim. Hasil tes pertama menunjukan jika Alika dan Diki 99,99% memiliki kesamaan DNA sedangkan tes DNA kedua antara Ibrahim dan Alika menunjukan 0% kesamaan DNA. Kedua tes tersebut dilakukan di dua rumah sakit berbeda dengan hasil yang sama." Baca sang Hakim.

Tentu saja tes DNA yang kami lakukan lebih akurat dan meyakinkan.
Angin kemenang sudah berhembus kepada kami. Semakin lama hakim bertanya semakin terlihat jelas kebohongan yang disampaikan mas Diki dan juga masalah nafkah akhirnya terbuka di sidang ini.

Akhirnya di sidang kedua perceraian ini kemenangan jatuh kepadaku. Tidak ada harta gono-gini semua harta dan aset yang memang milikku tidak dibagi dua, hak asuh anak jatuh padaku dan mas Diki wajib membiayai Alika.

"Terima kasih, Ibrahim," ucapku pada Ibrahim ketika persidangan selesai.
"Kamu sudah mengucapkan itu tadi di dalam," jawab Ibrahim memecah ketegangan.
"Puas kamu menghancurkan hidupku, Nuri?" Tiba-tiba mas Diki mendatangi kami.

"Bukan aku yang menghancurkan hidupmu tetapi kamu sendiri, Mas,"
"Aku memang menghancurkan hidupku sejak aku menikahi wanita sepertimu. Kau juga Ibrahim! Kau membuatku muak sejak dulu. Aku pasti akan buktikan kalian sudah pacaran sejak dulu,"

"Mas, kamu jangan banyak omong. Khawatirkan saja dirimu. Persidanganmu yang lain menanti dan kamu akan membusuk bersama pelacurmu." Setelah puas mengatakan itu aku pergi meninggalkan mas Diki.

Seluruh tangan dan kakiku sebenarnya bergetar saat mengucapkan perkataan itu di depan mas Diki namun aku berusaha menutupinya. Sekarang aku tak mau terlihat lemah. Aku sudah bertekad pada diriku untuk tidak pernah menangis lagi sampai mati.

***
Setelah persidangan perceraian tempo hari berkas gugatan perselingkuhan dan pembunuhan segera diproses. Kudengar polisi sudah memanggil mas Diki dan Lani untuk di investigasi.

Bagaimana hasil dan kelanjutkannya akupun belum mendapatkan kabar apapun dari Ibrahim. Mungkin pulang kerja nanti aku akan mampir ke kantor Ibrahim untuk bertanya.

Dering panggilan masuk ke handphoneku. Kulihat nama Alika muncul dilayar.
"Hallo Alika," tanyaku.
"Hallo, Ma. Ma aku kan ulang tahun akhir pekan boleh gak kita liburan ke Lombok?" tanya Alika.
"Nanti pas liburan sekolah?"
"Bukan, berangkat besok atau lusa aja."
"Hah lusa? Tapi kan kamu belum libur sekolah."

"Gak apa-apa ada harpitnas (hari jepit nasional). Jadi Kamis kan libur, Jumat cuma ada acara seminar gak jelas gitu. Jadi berangkat Rabu malam pulang Senin. Cukup kok."
"Aduh kamu ini gimana sih?"
"Ayolah, Ma, Alika mohon, Minggu kan Alika ulang tahun. Alika pengen ulang tahun di Lombok."

Aku terdiam. Mungkin liburan kali ini bisa jadi penambah kekuatan bagi aku dan Alika yang sedang mengadapi masa sulit ini. Terlebih ini juga ulang tahun Alika, masa aku pelit banget gak ngizinin dia bolos satu dua hari aja.

"Kamu udah ada tempat yang mau dijadiin tempat nginep?"

"Haaah, boleh, Ma?"
"Iya, boleh."
"Hore! Makasih banyak Mama. Yes-yes-yes. Link hotelnya aku kirim, ya?"

"Udah pasti itu tempat yang kamu mau? Jangan sampe nanti udah dipesen kamu berubah pikiran soalnya mau Mama pesenin tiket dan hotelnya sekarang."

"Aman gak berubah pikiran kok. Makasih banget, Ma."

"Ya sudah Mama mau kerja lagi biar bisa bolos kerja seminggu,"
"Hehehe.. sampai ketemu di rumah, Ma." Alika mematikan telepon.

Alika selalu tampak ceria di depanku tetapi aku tahu perasaannya pasti tidak baik-baik saja. Dia tak hanya kehilangan sosok ayah tetapi juga harus mengikhlaskan ayahnya di proses secara hukum yang bisa kulakukan sekarang hanya membuat Alika bahagia dengan cara menuruti keinginannya.

Setelah merapikan berkas, menitipkan  pesan untuk keberlangsungan kantor selama aku pergi dan memesan tiket hotel serta pesawat aku bermaksud pergi ke kantor Ibrahim.

"Saya pamit Rizka, kabari saya kalau ada apa-apa," ucapku pada Rizka yang sekarang menjadi sekretaris pribadiku.

"Baik, Bu," ucapnya sambil tersenyum.

Saat sedang menunggu lift terbuka ada panggilan masuk dari Ibrahim. Mungkin dia meneleponku setelah membaca pesanku.

"Aku sekarang di jalan depan kantor," ucap Ibrahim tanpa basa-basi.
"Udah pulang?" Tanyaku.
"Tidak, menuju kantor."
"Ya sudah, aku tunggu di ruangan kamu aja,"
"Gak usah, aku gak ke ruangan. Aku cuma mau ke basement ganti mobil aja."
"Ganti mobil?"
"Iya, ini aku bareng Noah tadi ada kerjaan bareng dia."

Pintu lift terbuka aku masuk sambil terus menelepon Ibrahim. Aku menekan tombol basement karena Ibrahim bilang akan ke basement.

"Ada hal penting yang terjadi..." Sebelum Ibrahim selesai melanjutkan kalimatnya suaranya menghilang lantaran pinti lift tertutup.

"Tadi bilang apa? Aku gak dengar soalnya tadi naik lift." Tanyaku kembali setelah sampai di besement.

Bersamaan dengan pertanyaanku mobil yang di tumpangi Ibrahim sampai juga ke besement.

"Hei aku dekat pintu menuju lift," ucapku masih berbicara lewat pesawat telepon.

"Lani kabur saat akan di investigasi," ucap Ibrahim.

Hal yang dikatakan Ibrahim membuatku terkejut sampai-sampai aku terdiam di tempatku berdiri.

Ibrahim keluar dari mobil dan berjalan mendekatiku namun entah kenapa tiba-tiba dia berlari dengan wajah ketakutan. Sebuah ekspresi yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Di detik kemudian Ibrahim menarik tanganku hingga tubuhku menabrak tubuh Ibrahim. Lalu tubuh kami berputar 180 derajat sehingga aku bisa melihat apa yang ada dibelakangku. Dibarengi adegan itu kudengar Ibrahim mengerang.

Lani dengan wajah yang sangat menyeramkan berdiri dibelakang Ibrahim. Setelah itu kudengar Ibrahim mengerang lebih kencang untuk yang kedua kalinya dibarengi suara sayatan yang sadis. Ibrahim melepaskan pelukanku dan berbalik ke arah Lani. Pinggangnya berlumur darah dan seketika dia ambruk.

Tubuhku merinding menyadari situasi yang terjadi bahwa Ibrahim telah ditusuk oleh Lani. Pisau ditangan kanan Lani yang berlumur darah membuat teriakanku tercekat ditenggorokan.

"Wanita kurang ajar! Lo udah ngehancurin hal yang selama ini gue capai," Lani mengayunkan pisau kepadaku.

Mengubah TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang