Anak Siapa?

789 70 2
                                    

"Alika, kamu kenapa?" Ucapku panik.
"Bi Nah! Bi!" Teriakku kencang.
Bi Nah setengah berlari menghampiri kami.
"Bi, Alika kenapa, Bi?" Air mata tak bisa kutahan lagi. Aku menangis sesegukan sambil mempertanyakan keadaan Alika.
"Tenang, Neng." Beruntung Bi Nah tidak ikutan panik.
Bi Nah membaringkan Alika di lantai dengan pahaku sebagai bantalan kemudian ia mengecek hidung Alika masih bernapas atau tidak.
"Kayaknye Alika pingsan," ucapnya.
"Bawa dulu dah ke kamar tamu." lanjut Bi Nah.
Kami membawa Alika ke kamar tamu karena kamar itu yang paling dekat dengan posisi kami sekarang.
Sembari menunggu perawat langganan kami datang ke rumah Bi Nah mencoba membangunkan Alika dengan minyak angin.
Alika akhirnya sadar namun kondisinya tidak baik-baik saja. Dia terlihat tak berdaya bahkan untuk membuka kedua matanya. Melihat kondisinya aku semakin merasa bersalah dan tangisanku semakin kencang.
"Neng, Mbak Riri udeh dateng," ucap Bi Nah entah sudah berapa lama dari Alika sadar.
Kuusap kedua mataku sebelum menyambut kedatangan mbak Riri, perawat langganan kami yang sering datang ke rumah.
"Tolong cek Alika, Mbak. Dia sudah sadar dari pingsan tetapi sangat lemas." Aku berkata sambil memegang kedua tangan mbak Riri.
Dia hanya mengangguk lalu setelahnya berjalan mengahampiri Alika.
Bi Nah mengelus punggungku mencoba menenangkanku.
"Alika kamu sudah makan?"
"Sudah Mbak," jawab Alika pelan.
"Tapi tak banyak, minumnya juga tak banyak," ucapku."Dia juga banyak menangis dua hari ini," tambahku lagi.
"Sepertinya Alika kelelahan, kurang minum dan makan. Sebaiknya di cek urin besok takutnya dia dehidrasi. Untuk malam ini di infus saja, ya. Besok langsung dibawa ke dokter." Perawat Riri kemudian memberikan infus untuk Alika agar dehidrasinya tidak semakin parah.
"Dicoba beri makan dan minum ya sedikit-sedikit malam ini. Supaya staminanya kembali lagi." Pesan mbak Riri sebelum pulang.
***
Aku menatap hiruk pikuk ibu kota dari sebuah jendela besar yang berada di lantai lima kamar rawat inap. Sudah satu malam kami berada di sini untuk memulihkan kondisi Alika yang didiagnosa mengalami dehidrasi dan kekurangan karbohidrat dalam urin.
Setelah berada di sini aku terus terpikir, apakah Alika yang terbaring di sini adalah konsekuensi dari mengubah takdir yang kulakukan? Tanganku gemetar membayangkan jika Alika yang harus menggantikanku mati atau koma. Jika ini konsekuensi yang harus kuterima maka aku lebih memilih jika takdirku tak berubah seperti saat itu.
Dreeet! Kutengok arah sumber suara itu. Ibrahim berdiri di depan pintu membawa dua gelas kopi hangat dari coffe shop.

Ibrahim menyimpan tas koper di meja sofa dan memberiku satu gelas kopi yang dibawanya tadi kemudian mengambil kursi plastik untuk duduk bergabung denganku.

"Bagaimana kabar Alika?" Tanya Ibrahim.
"Dokter bilang dehidrasinya sudah membaik tetapi entah kenapa dia masih seperti itu. Dia lebih banyak tidur sambil mengigau," terangku.
Ibrahim tak menanggapi kata-kataku, dia malah menyeruput kopinya.
Kami berdua kembali terdiam hanya sibuk dalam pikiran kami masing-masing.
"Apa ini kutukan untukku?" tanyaku tanpa menoleh ke arah Ibrahim.
Ibrahim menatapku seolah mencari petunjuk lain dari pertanyaanku.
"Aku telah mengubah takdirku yang harusnya kecelakaan, koma dan mati. Bisa jadi Alika yang jadi menanggung akibatnya." Aku memperjelas maksud pertanyaanku sebelumnya.
Terlihat Ibrahim menarik napas panjang. Entah karena dia terlalu lelah denganku atau entah karena dia masih tak percaya jika aku telah datang dari masa depan.
"Entahlah, semoga bukan itu alasan Alika belum pulih," jawabnya.
Aku terdiam dan mengingat lagi kejadian saat aku dibunuh oleh Lani. Tanganku gemetar dan bulu kuduk berdiri.
"Lanjutkan berkas pelaporan percobaan pembunuhan, perselingkuhan dan surat cerai. Berikan dulu pada mereka dan sampaikan pada mas Diki kalau anaknya sakit dan terus mengigau namanya." Mataku tiba-tiba perih, aku ingin menangis tapi tak mau dihadapan Ibrahim.
"Bisa kamu keluar? Aku ingin istirahat." ucapku.
"Jangan pernah menangis sendiri lagi." Ibrahim tiba-tiba mengenggam tanganku erat.
Aku terkejut sekaligus merasa aman. Tangannya yang kokoh membuatku merasa aku memiliki seseorang yang akan melindungiku.
Air mataku tiba-tiba mengalir, namun sekuat tenaga kuusahakan tak bersuara karena takut terdengar Alika.
Tangisan ini adalah sebuah tanda kekecewaan bahwa ayah yang kupikir mencintai anaknnya justru kabur begitu saja setelah didapati selingkuh oleh anaknya. Selama ini aku menjaga pernikahan ini karena aku sangat senang melihat mas Diki yang begitu menyayangi Alika dan Alika yang begitu perhatian pada mas Diki.
"Kasian sekali kamu, Alika," ucapku pelan dalam tangisan.
***
Matahari masih terlihat ketika Ibrahim sampai di depan rumah Lani. Terdengar suara televisi yang cukup keras dari dalam. Membuktikan jika ada orang di dalam.
Ibrahim mengetuk pintu itu. Cukup lama ia menunggu sampai tirai jendela sedikit terbuka. Matanya bertemu dengan mata si pengintip itu, Lani, dia buru-buru menutup kembali gorden itu.
"Bukalah, Lani! Ada sesuatu yang ingin disampaikan untuk menyelesaikan masalah kalian." Tak ada jawaban.
Tok-tok-tok!!! Suara pintu diketuk lebih keras oleh Ibrahim.
"Lani, jika kalian tak ingin membuka pintu akan kuucapkan di sini saja. Biar tetanggamu semua tahu." Setelah mendengar ancaman itu akhirnya pintu dibuka meskipun cukup lama.
"Ada apa?" Tanya Lani ketus.
"Apa harus di sini?" Tanya Ibrahim.
"Hmmh,"-menghela napas panjang-"masuklah!"
Selama mengenal Ibrahim tak pernah sekalipun Lani menunjukan ekspresi seperti ini. Biasanya dia akan bersikap sok manis di depan Ibrahim.
Ibrahim masuk ke dalam rumah. Lani buru-buru menutup pintu setelah Ibrahim masuk.
Ibrahim duduk di kursi ruang tamu tanpa dipersilahkan.
"Mana Diki?" tanya Ibrahim langsung.
"Tak tahu," jawab Lani singkat.
"Aku tahu dia ada di sini. Lebih baik dia keluar karena ini masalah kesehatan anaknya."
"Sudah kubilang dia tak ada di sini. Kenapa mas Ibrahim gak percaya sih? Video yang beredar hanya fitnah orang-orang yang tak menyukaiku, Mas." Lani berbicara dengan lembut lagi, dia sedang berusaha membela diri.
Ibrahim tak menanggapi penjelasan Lani. Ia justru sibuk membuka tasnya untuk mengeluarkan beberapa berkas.
"Surat perceraian, pelaporan perselingkuhan dan pencobaan pembunuhan. Kalian akan dilaporkan dengan tiga hal itu." Ucap Ibrahim sembari menata salinan tiga berkas pelaporan itu.
Lani tak dapat mengontrol ekspresinya untuk sesaat.
"Itu fitnah yang sangat keji, Mas. Perselingkuhan? Apalagi pembunuhan? Bagaimana ada tuduhan seperti itu padaku?" Lani pura-pura menangis.
"Perusakan rem mobil Nuri"-Ibrahim menatap lekat mata Lani-"Kamera dashbor mobil-mobil yang terparkir di sekitar mobil Nuri termasuk mobilku, merekam semua itu."
Lani benar-benar kehilangan mukanya sekarang. Dia bahkan tak sanggup menatap Ibrahim.
"Meskipun kalian menghilangkan memori kamera dashbor mobil Nuri tetepai di parkiran itu banyak mobil lainnya yang terpakir dan merekam semua aksi kalian. Kalian gak pernah berpikir hal itu?" Ibrahim jelas sedang meremehkan mereka.
Lani tak dapat berkata apapun lagi apalagi berpura-pura sok manis lagi.
"Katakan pada Diki Alika terkapar di rumah sakit. Dia terus mencarinya, setidaknya jika tak bisa menjadi suami yang baik dia harus jadi ayah yang baik." Perkataan Ibrahim tegas dan dingin.
"Beraninya kamu mengajariku, brengkek!" Tiba-tiba Diki muncul dari balik tembok yang mengarah ke dapur dan berusaha menyerang Ibrahim.
Ibrahim yang punya tubuh atletis cukup gesit untuk menepis dan menjatuhkan Diki.
Ibrahim mengunci tangan kanan Diki ke belakang dan menekannya ke lantai.
"Apa kau tahu tindakanmu barusan bisa dilaporkan sebagai upaya penyerangan?" tanya Ibrahim
"Aw! Aw!" Diki merintih kesakitan.
Ibrahim kemudian melepaskan Diki.
"Gue tahu lo selingkuh sama Nuri sejak dulu," ucap Diki seraya berdiri.
"Apa?"
"Dan gue akan cari bukti itu. Bisa jadi Alika juga anak lo berdua."

Mengubah TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang