"Sal, sebutkan dua kata yang sedang kamu pikirkan dan alasannya."
Nana Rohas, rekan kerjaku, pernah menanyakan hal itu padaku.
"Secangkir kopi," jawabku cepat sambil memperhatikan tetes demi tetes kopi yang jatuh dari filter Vietnam drip ke dalam gelas berisi susu kental manis.
"Alasannya simpel. Secangkir kopi itu menggambarkan aku yang jomlo." Aku menatap Nana, lalu balik bertanya, "Kalau kamu sendiri, apa dua kata yang sedang kamu pikirkan dan alasannya?"
Nana balas menatapku, tersenyum. "Seorang kekasih. Alasannya simpel juga. Seorang kekasih bisa menyuguhkan secangkir kopi untukku. Romantis, bukan?" Dia meraih secangkir kopi susu French fress dan menyesapnya. "Aku hanya butuh dua kata untuk mendapatkan empat kata sekaligus," lanjutnya setelah meletakkan cangkir kopi ke tempat semula.
Sembari memikirkan percakapan dengan Nana waktu itu, aku terus mengendarai motor menuju Rain Coffee, sebuah kedai kopi pinggir jalan yang menjadi tempatku bekerja selama lima bulan ini. Tempat itu berupa kedai kopi booth kontainer 4x2 meter persegi dengan bagian luar berwarna putih. Hanya terdapat lima meja yang dikelilingi empat kursi kayu dengan tenda payung sebagai peneduh di pelataran booth—yang tidak akan efektif bila hujan badai melanda Kota Liwa.
Aku membelokkan motor ke pelataran kedai ketika sebuah argumen melintas dalam benak. Bukan seorang kekasih saja yang bisa menyuguhkan secangkir kopi, secangkir kopi pun dapat menghadirkan seorang kekasih. Benar, kan? Semoga saja.
Di depan booth, sudah ada lima pengunjung: tiga lelaki dan dua perempuan. Saat pandanganku berpindah ke dalam booth, di balik meja panjang bagian depan, seorang perempuan yang menggelung rambutnya tampak duduk sambil memperhatikan ponsel. Perempuan itulah yang bernama Nana Rohas.
Bagiku, Nana memiliki fisik yang sempurna sebagai perempuan. Wajahnya tirus, bermata besar dengan alis melengkung yang indah, bibir penuh, dan berkulit kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Kurasa tidak perlu lagi menggunakan alat pelentik bulu mata.
Mau berdandan atau tidak; mau mengenakan gaun, kemeja, atau kaus kasual sekalipun, Nana tetap saja cantik. Mau dilihat dari kanan, kiri, belakang, apalagi dari depan, Nana benar-benar rupawan. Tidak seperti diriku, yang tidak menarik. Yah, begitulah kata mantan kekasihku. Ah, terlalu indah menyebut lelaki seperti itu dengan mantan kekasih. Lebih baik menyebutnya dengan "pengkhianat cinta" saja!
"Hei, kau pengkhianat cinta ...."
Baru saja turun dari motor, aku dibuat terkejut dengan lagu dari speaker dalam booth. Mengapa lagunya tepat sekali seperti yang sedang kupikirkan? Ah, ada-ada saja.
Kuhampiri booth dua lantai itu sambil memperhatikan tanaman hijau dalam pot yang berbaris rapi di kiri-kanannya. Saat berjalan masuk, Nana tersenyum padaku. Aduh, senyumnya itu manis sekali. Bagaikan krimer dan gula yang menyatu dalam kopi. Jangankan lelaki, aku sebagai perempuan pun tak jemu memandangnya.
Nana bekerja dari pukul 11.00–17.00 WIB, sedangkan aku dari pukul 17.00–22.00 WIB. Ada saatnya kami berganti sif jika ada urusan penting di luar kedai.
"Bukumu ketinggalan," kata Nana saat aku meletakkan helm di dekat kulkas.
"Buku apa?" tanyaku.
Ah ya, buku catatanku tertinggal malam tadi.
Nana merogoh buku bersampul hitam dari tas bahunya dan menyerahkan benda itu padaku sambil berucap, "Aku tidak bisa tidur setelah menghabiskan secangkir kopi dan memikirkan kamu. Ehm, ehm, siapa tuh? Pacar, ya?"
Aku hanya tersenyum lalu memasukkan buku ke tas selempang. Buku ini kubeli secara online lima bulan yang lalu dengan memesan kata andanan¹ di kovernya. Berisi tulisan random milikku: mengenai apa yang kulihat, apa yang kudengar, apa yang kurasakan, dan apa yang kupikirkan di kedai kopi. Bahkan, beberapa katanya tentang pemilik Rain Coffee ini, Itzan Pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andanan Coffee
Romance🏅Reading list WattpadRomanceID bulan Juni 2023 kategori Dangerous Love 🏅Pemenang Kategori Best Branding top 15 Author Got Talent (AGT) 2022 Aku jomlo dan suka kopi. Semoga secangkir kopi bisa menghadirkan seorang kekasih untukku. Tapi, bukan lelak...