23. ☕ Andanan Coffee ☕

400 65 48
                                    

Andanan Coffee? Nama coffee shop milik Bu Dini terus saja memenuhi pikiranku beberapa jam ini. Mengapa coffee shop-nya menggunakan kata andanan? Apakah Bu Dini adalah orang Lampung? Ataukah kata andanan itu diambil dari penggabungan dua nama, misalnya?

"Kenapa aku ... terlalu memikirkan nama coffee shop milik pacarnya Pak Andi itu, sih?" tanyaku pada diri sendiri. Aku seperti tak rela jika ada orang lain yang juga menggunakan kata andanan. Hmm, entahlah.

Sudahlah, biarkan saja. Orang lain juga punya hak menggunakan kata itu menjadi nama tempat usahanya, kan? Memangnya aku ini siapa sampai-sampai berani melarang orang lain menggunakan kata itu?

Kuembuskan napas kuat-kuat, lalu kuraih buku catatan yang sudah kusam dari rak buku. Kubuka lembaran demi lembarannya, hingga aku berhenti pada satu halaman. Tulisanku yang terakhir, yang kubuat sebelum berangkat ke Palembang.


Aku rindu menyeduh kopi.
Aku rindu mencium aroma kopi yang baru saja digiling.
Serindu itu aku sama kamu.

Rasa rindu tidak akan seratus persen hilang bila sudah ada sekat di antara itu, iya, kan? Kutemukan pula sebuah foto booth Rain Coffee yang lama. Kalau sekarang, kedai Rain Coffee sudah tidak seperti itu lagi bentuknya. Kabar yang kudengar, Bang Itzan berhasil mendapatkan pinjaman dana, lalu mendirikan usaha seperti impiannya selama ini. Ada penambahan alat meracik kopi yang modern, juga penyuplaian biji-biji kopi, selain biji kopi Liwa sendiri. Bahkan, aku pernah membaca status WhatsApp Bang Itzan, di mana tulisannya begini, 'Dapat kiriman kopi Kintamani'. Dengan foto botol kaca bertuliskan 'kopi Kintamani'.

"Ngah!" Itu suara Karey.

"Ya?" sahutku.

"Ada chat dari Bang Itzan. Dia tanya, kenapa WA-nya Ngah tidak aktif?"

"Oh, bentar-bentar!"

Aku meraih ponsel, mengaktifkan data seluler. Benar, ada tiga panggilan video dari Bang Itzan dan chat dari ... Nana? Aku sangat kaget. Isi pesannya: Nana menanyakan kabar dan mengundangku ke acara pernikahannya. Mungkin dia meminta nomorku pada Bang Itzan. Aku lega. Setidaknya Nana masih mengingatku. Tak lama kemudian, setelah aku membalas chat Nana, Bang Itzan kembali melakukan panggilan video. Sebenarnya aku kurang nyaman jika berbincang lewat video, tetapi mau bagaimana lagi.

Bang Itzan tersenyum di seberang sana. "Bagaimana kabarnya di Palembang? Baik-baik saja, kan?"

Aku mengangguk, lalu balik bertanya, "Abang sendiri?"

"Baik, sangat-sangat baik," jawab lelaki itu. Dia menoleh ke kanan sejenak, yang membuatku tersenyum lega."Ketemu Andaru di sana?"

Mulutku langsung mengatup, dudukku pun kaku. Kenapa Bang Itzan menyebut nama si berengsek itu?

"Bagaimana mau ketemu? Andaru ke mana, kamunya ke mana," lanjut Bang Itzan.

Apa Bang Itzan tak paham dengan raut wajahku yang sewot ini?

"Jangan cemberut begitu, entar hilang manisnya."

Eh, ternyata Bang Itzan paham.

"Di Rain Coffee kan banyak stok gula kalau kurang manis."

Bang Itzan malah tertawa.

***

Wah, itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Andanan Coffee di depan kami. Aku tak percaya ini. Coffee shop milik Bu Dini benar-benar seperti impianku. Kenapa bisa begitu, ya? Apakah aku dan Bu Dini satu pemikiran?

Andanan CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang