20. ☕ Di Balik Segelas Kopi dan Buku Catatan ☕

338 63 21
                                    

Argh!

Ingin sekali rasanya aku melempar apa pun yang ada di sekitarku. Namun, kedua tungkaiku tetap berdiri di tempat. Hanya kedua mata yang menumpahkan buliran beningnya. Aku bersandar pada tembok, lalu terduduk di sudut kamar. Sendirian dalam segala rasa yang datang menghampiriku. Marah, sedih, kecewa, kesal, benci, dan ... cinta. Ya, aku merasa tubuhku remuk redam sebab semua rasa itu.

Kenapa ini harus terjadi padaku? Kenapa? Siapa yang bisa memberikan jawaban padaku saat ini? Aku benci Andaru! Aku benci! Dia sama saja dengan Andaru Karmawan yang menjadikan aku sebagai objek taruhan! Ah, mengapa aku harus mengenal lelaki seberengsek Andaru Deem itu? Mengapa? Bukan hanya itu, dia juga merenggut "gula" di bibirku dan merenggut semua "gula" milik perempuan lain! Berengsek! Andaru berengsek! Hubunganku dan Nana jadi begini pun gara-gara si berengsek itu!

Aku memeluk kedua lutut yang dingin, menangis sesenggukan di sini. Video di YouTube itu terulang lagi dalam benak, pun kata-katanya. 'Aku sudah memberikan segalanya pada Andaru. Segalanya.' Secinta itukah perempuan itu pada Andaru hingga memberikan segala yang dia punya? Aku tak percaya ini, tetapi itulah yang terjadi, kan?

"Emak, Emak, Sallu rindu Emak ...." Ternyata hanya sosok Emak yang kubutuhkan sekarang. Biasanya Emak yang memelukku di saat aku rapuh. Sekarang hanya angin malam yang bersedia melakukannya.

***

Aku beralasan pada Bang Itzan kalau aku sakit. Jadi, aku tak ke kedai pada esok harinya. Sungguh, aku tak bohong, aku memang sakit. Sakit hati tepatnya. Mataku pun bengkak dengan lingkaran hitam.

Aku butuh satu hari saja hingga bengkak di mata tak tampak lagi. Walau sakit pada hati tak semudah itu dihilangkan. Pesan Bang Itzan yang menanyakan apakah aku sudah ke dokter atau belum? Mau diantarkan ke dokter atau tidak? Sudah minum obat atau belum? Apa yang kulakukan di rumah sendirian? Membuatku akhirnya terpaksa ke Rain Coffee esok sorenya.

Meracik secangkir kopi tanpa senyuman hasilnya memang terasa hambar. Aku mencobanya, dan yah, rasanya tak senikmat ketika meracik kopi dengan hati bahagia. Entah bagaimana pendapat pengunjung tentang kopi yang kusuguhkan. Aku bersyukur, dari empat pengunjung yang datang sore ini, tak ada satu pun yang berkomentar buruk. Yah, mungkin mereka tak mau mengatakannya.

Alisku berkerut ketika sebuah benda pipih kutemukan di laci meja. Kuraih benda itu dan yakin bahwa ponsel ini milik Ghea saat melihat foto Geffie sebagai wallpaper layar kunci. Lantas aku pun menuju rumah Ghea setelah pengunjung terakhir pulang. Pasti dia sedang mencari-cari ponselnya. Mengapa benda ini ada di booth? Apakah tadi Ghea ke booth dan lupa mengambilnya?

Ketika melewati jalan bebatuan menurun, langkahku terhenti lantaran melihat sebuah mobil silver di garasi rumah Bang Itzan. Tepatnya di sebelah mobil pikap yang biasa berada di sana. Aku mengenal mobil dengan bodi tangguh dan gahar itu, bannya yang besar lagi tebal, serta plat nomor Kota Palembang. Mobil Andaru?

Dengan banyaknya pertanyaan dalam kepalaku serta segala rasa yang kembali menghampiri, aku tetap mengayunkan langkah pelan menuju rumah Ghea di sebelahnya.

"Di mana kamu temukan ponselnya?" tanya Ghea ketika benda yang kutemukan sudah berada di tangannya.

"Dalam laci meja di booth," jawabku.

Ghea mendengkus pelan. "Ini pasti ulah Geffie," tuduhnya.

Alisku berkerut lagi. "Ulah Geffie?" Lah, kenapa malah menyalahkan gadis berusia empat tahun yang imut itu? Aku tak paham.

"Iya, beberapa minggu ini anakku sering menyembunyikan benda-benda yang dilihatnya. Waktu itu kunci motor ayahnya juga dia sembunyikan dalam lemari."

Aku tersenyum. "Namanya juga anak kecil, dia kan sedang aktif-aktifnya." Aku lalu teringat sesuatu.

Andanan CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang