09. ☕ Dari Mata Turun ke Secangkir Kopi ☕

369 76 23
                                    

Menanti seseorang itu memang harus bersabar. Ibarat seni membuat kopi Vietnam dengan dripper. Kopi yang ingin dinikmati harus ditunggu, tetes demi tetesnya. Asalkan tak terlalu lama. Air kopi pun tak akan terasa nikmat lagi bila sudah dingin, bukan?

Sedari tiga jam yang lalu, aku menunggu jikalau Raina menampakkan batang hidungnya di kedai. Padahal di depan booth, ada Andaru dan teman-temannya.

Tanpa kusadari pulpen di tangan telah berpindah ke mulut dan aku menggigitnya. Kejadian di puncak gunung, antara Raina, Andaru, dan Bahi, hingga Raina yang menutup pintu mobil Bang Itzan dengan cukup keras tadi siang, melintas lagi di pikiranku. Tiba-tiba aku tak berminat menulis. Kututup buku catatan, kutaruh pulpen di atasnya, lalu berpaling ke arah Andaru dan teman-temannya di meja sana.

Sembari mendengar playlist dari speaker, kuraih ponsel dan update status WhatsApp. Aku mengunggah foto diriku ketika baru tiba di puncak Gunung Pesagi kemarin. Tak lama kemudian, sebuah chat masuk. Kontak tanpa nama.

08xxxxxxxxxx

Foto prewedding-nya nanti kukirimkan. So, sabar.

Aciel.

Ingin rasanya kubalas pesan itu dengan kalimat "Tidak perlu! Hapus saja fotonya!". Kukembalikan ponsel ke tempat semula, di atas meja. Namun, dering chat terdengar kembali. Dengan terpaksa aku meraih benda canggih itu lagi. Kali ini muncul nomor atas nama Shofwanul.

Shofwanul

Maaf, Aciel minta nomor WA kamu.

Sal, boleh koneksi bluetooth ponselku ke speaker?

Anda

Boleh.

Walaupun jengkel, aku tetap memutuskan koneksi bluetooth ponselku dari speaker. Lagu "Kumbang Hati" pun berakhir.

Baru saja pandanganku teralihkan ke depan Rain Coffee, sebuah mobil sedan berhenti di sana. Seorang perempuan berambut sebahu turun dari dalamnya dan berjalan menuju booth. Sepertinya aku mengenali perempuan itu. Dia memperhatikan papan menu sejenak, lalu mendekatiku. Siapa, ya?

"Pesan kopi susu satu, ya," kata perempuan di depanku. Riasan makeup di wajahnya begitu pas.

"Sebentar," kataku. Aku lalu berbalik badan, hendak meraih french press di rak paling atas.

"Sallu, kan?" Perempuan di depanku ternyata masih berdiri di tempatnya.

Aku kembali menghadap ke arahnya. "Iya," jawabku sambil mengernyit dan mulai mengingat lagi. Di mana aku pernah bertemu dengan perempuan yang cantik ini?

"Aku Riska. Kita pernah satu kelas waktu di SMP," ceritanya.

Aku baru mengingatnya! Terakhir kali aku melihatnya, wajah Riska masih bulat dan bertubuh gempal. Ah, sangat berbeda dari yang kulihat sekarang. Ini sih bak bidadari turun ke bumi.

"Ya ampun, kamu?" Mataku membesar. "Maaf, ya. Kamu benar-benar membuatku pangling."

Apa wajahku masih sama seperti terakhir kali dia melihatku? Ya, kurasa begitu.

Riska tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku tunggu kopinya, ya."

Aku mengangguk. Begitu Riska duduk di sebuah meja, di sebelah Andaru dan teman-temannya, segera kubuat secangkir kopi susu french press. Lalu, kubawa dengan nampan ke meja itu.

Ketika menyuguhkan secangkir kopi susu, Riska bertanya padaku, "Udah lama kerja di sini, Sal?"

"Sudah lima bulan," jawabku. "Seingatku, kamu dulu kuliahnya di Jakarta."

Andanan CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang