Kami melewati jalan setapak di mana aku dan Raina berjalan beriringan. Di depanku ada Andaru dan Caka, sedangkan di belakang ada Aciel, Bahi, dan Shofwanul.
Kulihat Shofwanul masih saja fokus pada kamera di tangannya sejak berangkat tadi. Tampaknya lelaki yang suka mengenakan topi bisbol dan jaket jins itu tak ingin melewatkan satu hal pun dari perjalanan ini. Dia sudah seperti seorang fotografer profesional saja.
Udara yang dingin menusuk ke kulit. Ya, lebih dingin dari Kota Liwa. Perkebunan kopi berbaris di sepanjang jalan setapak yang kami lewati dengan latar belakang Gunung Pesagi di kejauhan. Kami pun melihat beberapa pondok dan orang-orang yang sedang memungut buah kopi sambil membawa keranjang dari anyaman bambu.
Caka—yang berjalan beriringan dengan Andaru—tiba-tiba berhenti melangkah. Dia bicara pada seorang pemilik kebun, lalu memetik sekitar tiga atau empat buah kopi. Setelah itu, dia kembali bergabung sembari bertanya, "Ada yang bisa buat kata-kata random tentang kopi?"
Aku dan Raina saling pandang. Raina menggeleng.
"Ayo, Dru, punya ide?" tanya Caka pada Andaru yang berdiri di sebelahnya.
Andaru hanya mengernyit, tak menjawab. Tentu saja mengenai kata-kata tentang kopi, beberapa yang kutulis di buku catatan Andanan pun kembali bermunculan dalam benak.
Melihat Andaru hanya diam, Caka pun melangkah ke depan Raina. "Ada ide?" tanyanya. Raina menggeleng lagi.
Caka berpindah ke depanku, yang membuat jantungku langsung berdegup kencang. Terlebih lagi saat mataku berserobok dengan Andaru, seperti sebelumnya. Dengan segera, aku menunduk dan menatap buah-buah kopi merah di tangan Caka.
Kutarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. "Tidak segala hal yang kita minta pada Tuhan langsung dikabulkan. Seperti halnya secangkir kopi. Butuh proses yang panjang hingga kopi bisa bersatu bersama gula."
"Wow!" seru Caka, yang membuatku terkejut hingga memundurkan langkah. "Keren. Kok bisa kamu mendapatkan ide secepat itu?"
Aku ingin membentuk lengkungan di bibir, tetapi kubatalkan. Apa katanya? Mendapatkan ide dengan cepat? Uhm, andaikan saja dia tahu dari mana asalnya kata-kata yang kuucap barusan.
"Oke." Caka berdeham keras. "Siapa yang kena buah kopi ini, berarti dia adalah jodoh Mrs. Deem!" Dia melempar buah kopi ke belakang dengan gerakan cepat. Alhasil, Andaru yang jelas berada di belakangnya pun terkena buah kopi tersebut.
Aku hanya berdiri tak nyaman melihat reaksi Andaru yang kaget. Dia tak sempat menghindar.
Ketika Caka berbalik badan, lelaki bermata sipit itu malah tertawa. "Wah, wah, Badboy memang jodoh sama Mrs. Deem."
Mrs. Deem lagi. Ah, nama itu benar-benar terdengar tak nyaman di telingaku. Lebih-lebih melihat Raina yang kembali berwajah masam. Bahkan, kali ini perempuan itu tak lagi tersenyum. Bukan hanya itu, Raina malah menjaga jarak denganku dan berjalan di sisi Andaru. Mereka berdua mengobrol. Apa sih yang mereka bahas? Sepenting itukah?
Aku tak berkomentar, bahkan tak bicara sedikit pun dalam perjalanan selanjutnya. Entah sudah berapa lama kami berjalan—rasanya mau kuangkat kedua tangan dan mengatakan bahwa aku menyerah karena lelah—dan beberapa kali juga kami berhenti untuk minum setelah melalui jalan setapak yang menanjak. Akhirnya, kami tiba di sebuah tempat. Melihat yang lain berhenti, aku juga ikut menghentikan langkah sambil memperhatikan sekeliling.
"Nah, guys, kami sudah sampai di Pintu Rimba," kata Aciel di depan kamera yang dipegang oleh Shofwanul. "Kalau dari informasi yang kita dapatkan, jarak antara Desa Hujung ke Pintu Rimba ini sekitar 4–5 kilometer, guys."
KAMU SEDANG MEMBACA
Andanan Coffee
Romansa🏅Reading list WattpadRomanceID bulan Juni 2023 kategori Dangerous Love 🏅Pemenang Kategori Best Branding top 15 Author Got Talent (AGT) 2022 Aku jomlo dan suka kopi. Semoga secangkir kopi bisa menghadirkan seorang kekasih untukku. Tapi, bukan lelak...