11. ☕ Kembali Ke Pelukan Secangkir Kopi ☕

369 68 16
                                    

Ini hari keempat dari berpulangnya Emak. Waktu berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja mentari sudah condong ke barat. Tak lama kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekarang baru kusadari satu hal, bahwa waktu yang lebih cepat berlalu adalah ketika aku kehilangan Emak.

Perasaan baru kemarin aku membuka celengan dan meminta Emak membelikan payung karena aku sering kehujanan bila pulang dari sekolah. Perasaan juga, baru kemarin aku suka bertengkar dengan adikku gara-gara tak ingin berbagi tempat di pangkuan Emak. Semua terasa baru saja kemarin.

Di usiaku ini, aku sudah mengerti bahwa terpuruk terlalu lama karena ditinggalkan oleh orang tua adalah hal yang tidak baik. Menangisi orang yang telah tiada juga tidaklah baik. Namun, aku hanyalah perempuan biasa. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengikhlaskan segala hal dengan cepat. Aku belum siap melewati pagi tanpa mendengar Emak memanggil namaku. Sungguh.

Kenangan-kenangan tentang Emak membuat air mata kembali membasahi pipi. Pandanganku tak teralihkan dari tetesan air hujan di luar jendela kamar. Benakku hanya dipenuhi oleh bayangan Emak.

Saat suara pintu kamar terbuka dan seseorang berjalan mendekat, aku tetap menelungkup di atas tempat tidur dan memandang ke arah yang sama. Dari suaranya, aku hafal kalau pemilik langkah itu pastilah adikku, Karey. Kurasakan dia duduk di tepi ranjang. Tangannya menyentuh punggungku.

"Engah," panggilnya lirih. "Dari kemarin sore, Ngah belum makan."

Ah ya, aku tahu itu. Untuk makan sesuap nasi pun aku tak berselera. Suara gendang di dalam perut tak kuhiraukan lagi.

"Ini sudah siang," lanjut Karey. "Makanlah, Ngah, nanti Ngah sakit. Karey tidak mau Ngah sakit."

Ada suara tangis yang tertahan dalam ucapan Karey. Adikku selalu begitu. Dia mampu menahan segala rasa, tidak seperti diriku ini.

Aku mengganti posisi kepala, menghadap ke arah Karey. Sejujurnya aku malu, sangat-sangat malu. Karey, yang usianya hanya terpaut satu tahun dariku, lebih kuat daripada diriku. Seingatku, dia hanya menangis ketika tiba di rumah pada hari itu, sebelum Emak dimakamkan. Bahkan, Karey dengan tegar ikut ke pemakaman untuk melihat Emak yang terakhir kalinya.

Aku sendiri? Aku hanya menangis. Aku tak sanggup melihat tubuh Emak menghilang di bawah tanah. Aku tak sanggup menaburkan bunga di atas gundukan tanah sebagai peristirahatan terakhir Emak. Bahkan, setelah empat hari berlalu, aku masih saja terpuruk.

"Ngah." Karey kembali memanggilku karena tak kunjung meresponsnya.

Kuangkat bibirku yang berat, yang beberapa hari ini hanya bergerak ketika aku menangis saja. "Sebentar lagi," kataku. Ah, suaraku pun sudah parau.

Karey menunduk. Seolah-olah dia lebih tertarik dengan seprai polos cokelat gelap di atas kasur daripada kakak perempuan satu-satunya ini.

"Ngah." Kembali Karey bicara, tanpa mengangkat wajahnya. "Ini ... ini soal teman Ngah." Dia tampak ragu mengatakannya.

Teman? Teman yang mana? Siapa yang Karey maksud? Dia bilang teman kan, bukan sahabat? Artinya ... Nana?

Aku menyeka air mata di pipi. "Nana?" tanyaku. Ah ya, aku ingat, ibu Nana juga berada di rumah sakit saat itu.

Karey mengangguk. "Malam tadi, bos Ngah cerita ke Karey. Katanya, Nana kecelakaan sepulang kerja sore itu."

Lantas aku bangkit dan duduk bersila. Apakah kali ini aku juga tak salah dengar? Kutatap rambut adikku, yang sepertinya hanya diikat sesukanya saja. Juga warna hitam di bawah matanya. Mungkin Karey sebenarnya lebih merasa kehilangan daripada aku, tetapi dia mampu menahan diri dan tak mau memperlihatkan kesedihannya. Ah, seorang kakak macam apa aku ini? Aku malu.

Andanan CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang