Nana belum juga mau mengangkat telepon dariku. Apa sulitnya dia untuk sekadar menyentuh ikon hijau di layar ponselnya itu? Apa sulitnya dia mendengarkan suaraku, walau hanya sebentar saja? Apa sulit semua itu baginya?
Di Rain Coffee pun, sebelum aku menurunkan kedua kaki dari motor, Nana sudah buru-buru pulang dan berlalu tanpa melirikku sedikit pun. Kutahan semampuku agar tak menangis. Kutatap punggungnya hingga menghilang di ujung jalan. Apakah kesalahanku sefatal itu?
Bukan hanya aku yang bersalah, kan? Aku yakin, bukan hanya aku. Mengapa seolah-olah akulah pelaku tunggal dalam masalah ini? Jika ditelusuri ke belakang, kurasa bukan aku yang bersalah.
Dimulai dari Andaru yang ingin berkenalan dengan Nana. Wajar saja, mereka sama-sama memiliki wajah rupawan. Entah bagaimana, buku milikku berpindah dari atas meja booth ke tangan Andaru. Kemudian, lelaki itu kembali lagi untuk mengembalikan buku, yang dia kira Nana-lah pemiliknya. Padahal buku itu milikku, tulisan tanganku, dan hasil pemikiranku.
Salahnya, malam itu, Nana memintaku menemani Andaru. Lalu, Andaru memohon padaku agar aku menemaninya. Salahnya lagi, Andaru malah mengatakan bahwa dia mencintaiku sesaat setelah Nana menyatakan perasaan pada lelaki itu. Salah terbesarnya, Andaru menciumku. Apa Andaru terbiasa menyatakan perasaan pada perempuan, lalu menyambar bibirnya seperti itu? Kalau begitu, berapa banyak perempuan yang telah mendapat "secangkir kopi susu" darinya? Bukan salahku, kan? Di mana letak kesalahanku? Mereka berdua yang salah!
Bolehkah aku meminta satu hal? Aku ingin semuanya kembali ke awal, di mana hubunganku dan Nana masih baik-baik saja. Kami adalah teman, yang suatu saat akan berganti menjadi sahabat. Lelaki bernama Andaru tidak pernah hadir di antara kami.
Walau sisi lain dari diriku bilang, "Andaru hadir dalam hidupmu, memang karena dia ditakdirkan hadir. Rasa sebal dalam hatimu terhadap Andaru telah bermetamorfosis menjadi cinta."
Ya, ya, bagaikan kepompong yang menjadi ulat, lalu kupu-kupu, bukan? Rasa yang memiliki dua sayap sekaligus, yaitu benci dan cinta.
Tak lama kemudian, setelah aku menghubungi Nana, Andaru meneleponku. Tentu saja aku tak mengangkat telepon darinya. Itu kulakukan sebab Nana tak menghiraukan telepon dariku. Semacam pelampiasan, mungkin?
Aku seorang diri di sini, menangis di kamar mungil ini. Aku melempar ponsel ke atas kasur, lalu mengempaskan tubuh ke tempat yang sama. Kutatap langit-langit kamar yang bercat putih. Aku menangis, menjerit, menumpahkan segala rasa dalam kesunyian.
Lihatlah, apa yang muncul di langit-langit kamarku? Andaru menarik tubuhku dan tanpa izin mengambil gula di bibirku. Ah, bukan mengambil, melainkan mencurinya! Dia pencuri! Ketika aku memaki bayangan itu, malah muncul bayangan lain, yaitu Nana. Tatapannya yang menyala dan ucapannya yang menyakitkan.
Ponselku berbunyi lagi. Pasti Andaru. Aku tidak ingin mengangkatnya. Aku tidak ingin mendengar suaranya. Apa lagi yang ingin dia katakan? Tidakkah dia tahu apa yang terjadi pada hubunganku dan Nana? Seorang lelaki berengsek tetaplah berengsek!
Berkali-kali dering dari ponsel tak kuhiraukan. Aku masih sibuk menangis. Hanya air mata yang ingin mendengarkan kesedihan dan keresahanku ini. Begitu puas menangis, barulah kuambil benda pipih itu. Kulihat layarnya dengan mata sembap.
Benar, nomor Andaru menelepon beberapa kali. Ada dua pesan darinya. Pesan pertama: 'Angkat, tolong'. Pesan kedua: 'Sori, Nahla, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku mencintaimu. Angkat teleponnya. Jangan membuatku lebih gila dari ini.'
Men-cin-tai-mu. Kata itu langsung menyusup lagi, mencari-cari sedikit celah di lubuk hatiku. Aku ingin menepisnya, ingin. Akan tetapi, aku tak mampu.
Pikiranku akhirnya teralih pada telepon atas nama Karey. Kuhapus air mata di pipi dengan punggung tangan, lalu duduk di tepi ranjang.
"Ngah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Andanan Coffee
Roman d'amour🏅Reading list WattpadRomanceID bulan Juni 2023 kategori Dangerous Love 🏅Pemenang Kategori Best Branding top 15 Author Got Talent (AGT) 2022 Aku jomlo dan suka kopi. Semoga secangkir kopi bisa menghadirkan seorang kekasih untukku. Tapi, bukan lelak...