22. ☕ Perjuangan Kopi Bersatu Dengan Gula ☕

358 58 45
                                    

Untuk menyatukan kopi dan gula dalam cangkir, butuh proses yang panjang. Terlebih dahulu kopi harus melalui pengolahan dengan proses basah, sortasi, pengupasan kulit buah, fermentasi, pengeringan, pengupasan kulit tanduk, sortasi akhir, dan pengolahan proses kering. Begitu pun gula, yang harus melalui pengolahan awal, penggilingan, pemurnian, penguapan, kristalisasi, putaran, pengeringan, serta pendinginan.

Itulah yang aku percayai sekarang: sebuah proses. Semua butuh proses. Ada proses yang singkat, proses yang lama, dan proses yang lebih lama lagi sebelum mendapatkan akhir bagus.

Sudah memasuki tahun kedua aku bekerja di Rain Coffee. Hubunganku dengan Bang Itzan masih baik-baik saja. Aku sudah berupaya semampuku agar menyukainya, walau rasa itu tetap sebatas suka, belum ada peningkatan ke tahap cinta. Meskipun demikian, sikap Bang Itzan tak pernah berubah padaku. Dia selalu membuatku nyaman berada di sisinya.

Ah ya, Nana sudah berhenti bekerja di awal-awal tahun. Dia memilih menikah. Mungkin saja Nana menikah dengan lelaki yang mengancam akan menyebarkan video itu. Hanya asumsi, aku tak tahu detailnya.

Aku tidak diundang ke pernikahan Nana. Cukup sedih, tetapi mau bagaimana lagi. Soal pernikahan Nana saja aku mendapat informasinya dari Bang Itzan. Setelah nomor ponselku diblokir, akun Instagram-ku di-unfollow, aku tidak dapat kabar apa pun tentang Nana.

Setelah tiga bulan menikah, aku mendapat kabar dari Ghea kalau Nana bercerai dari suaminya. Nana memilih bekerja sebagai resepsionis di sebuah hotel. Aku cukup kaget. Hidup seseorang memang tak ada yang bisa menebaknya. Ya, sekarang aku yakin akan hal itu. Ternyata memiliki fisik yang sempurna tak menjamin seseorang akan merasakan kebahagiaan.

Pengganti Nana di Rain Coffee adalah seorang lelaki, namanya Husein. Setidaknya aku tidak perlu khawatir dan takut jika kejadian yang menimpaku akan terulang kembali.

Adikku lulus dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Hanya saja, sampai sekarang dia masih menganggur. Ah ya, entah mengapa aku merasa Karey seperti seorang Psikolog saja. Terlepas dari—katanya—dia juga belajar Psikologi Kepribadian.

Hal tak terduga terjadi sore ini, sepulang aku kerja. Aku memang dapat sif siang semenjak Husein masuk ke Rain Coffee. Penjelasan Karey itu bagaikan petasan yang meledak di dekat telingaku.

Aku melepas tas selempang dan melemparnya ke sofa, di samping Karey yang sedang duduk. "Kenapa harus Palembang, sih?" tanyaku.

Kesal? Ya, tentu saja. Apa maksud adikku itu? Dia bilang ingin bekerja di Palembang. Apa tidak ada kota lain selain Palembang?

"Sayang ditolak, Ngah," ucap Karey. "Di sana gajinya lumayan."

"Lho, kamu kan jadi guru bukan karena mengejar gaji, tapi ingin menerapkan ilmu. Itu yang kamu katakan sebelum masuk kuliah dulu!"

Ah, kenapa harus Kota Palembang? Pikiranku mulai membayangkan secangkir kapucino, di mana aku sedang menaburkan cokelat granula ke atasnya. Kemudian, butir-butir cokelat granula itu membentuk sebuah wajah, memunculkan bentuk matanya, alisnya, hidungnya, dan ... bibirnya. Astaga! Aku jadi teringat seseorang dan kejadian di Taman Ham Tebiu tahun lalu.

"Ngah, Karey itu suka tantangan. Karey ingin merantau dan sukses di kota orang. Melihat teman Karey yang sukses di Jakarta, Karey juga ingin mencobanya."

"Ya sudah, kita ke Jakarta saja, jangan ke Palembang!" Ya ampun, semoga saja suaraku tidak terdengar sampai ke luar rumah.

"Ngah—"

"Kamu itu egois, Rey!" Dia hanya memikirkan dirinya saja, sedangkan aku? Bagaimana dengan aku?

"Kenapa sih sama Kota Palembang?" Karey bangkit. Suaranya terdengar sewot. "Takut ketemu dia? Sefobia itu sama dia? Halo, Kota Palembang itu luas, Ngah, lu-as! Tidak mungkinlah kita ketemu si ...."

Andanan CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang