25. ☕ I'm Barista, Barista Spesial Hati ☕

678 67 51
                                    

Apa kata Bu Dini barusan? Abang? Aku tak salah dengar, kan?

"Entar kenalan, deh. Tapi, kayaknya sudah kenal." Bu Dini menoleh ke belakang, ke pintu itu. "Aku tinggal dulu ya, mau sarapan di bawah." Dia lalu melewatiku dan menuruni anak tangga.

Suara sepatu high heels Bu Dini seolah menyatu dengan detak jantungku. Kukira ia akan kembali normal begitu suara di tangga tak terdengar lagi, nyatanya tidak. Jantungku malah makin memainkan musiknya di dalam sana.

Berulang kali kutarik napas panjang. Berulang kali juga kutatap pintu di depan sana. Lalu, kuperhatikan anak tangga di bawah dari samping bahu. Sekujur tubuhku mendadak panas dingin. Jari kakiku bergerak gelisah dalam sepatu kets yang kukenakan. Selain itu, di bawah rambut tipis di keningku, bermunculan buliran keringat.

Sekali lagi, sebelum mengambil langkah pertama menuju pintu itu, kuembuskan napas kuat-kuat. Beruntung tidak ada apa atau siapa pun di depanku. Aku jadi takut, apa atau siapa pun itu, terbang melayang dikarenakan embusan napasku. Ugh, jangan overthinking, Sallu. Berpikirlah yang positif. Semua pasti akan baik-baik saja.

Satu, dua, tiga, empat .... Ah, aku malah menghitung langkah menuju pintu yang sedikit terbuka. Sebelumnya, aku santai saja masuk ke ruangan itu, tetapi kali ini berbeda.

"Permisi." Aku merasa suaraku tersekat di tenggorokan sehingga kuulangi kata itu.

"Ya, masuk saja."

Suara itu. Andaru Deem? Kualihkan tangan kanan dari nampan ke gagang pintu. Dengan perlahan, kudorong pintu. Sorot mata itu ada di sana, di balik meja. Sebelumnya, aku menemukan Bu Dini duduk di kursi itu. Sekarang kutemukan sosok lain yang ... kukenali. Jantungku mencelus.

Ruangan ini sama menariknya dengan ruangan lain. Hanya saja yang paling berkesan dari ruangan ini adalah lukisan dari ampas kopi dibalik meja itu. Lukisan tangan dua anak manusia, lelaki dan perempuan, yang saling bersentuhan di cangkir kopi. Romantis.

Kudekati meja itu. "Ini pesanannya, kopi Vietnam drip tanpa kekasih." Jujur, kata 'kekasih' yang kuucapkan terdengar samar-samar.

"Duduklah!" pinta Andaru lagi, yang sedang berkutat dengan laptopnya.

"Du–duk?" ulangku. Ah, apa yang kau katakan, Sallu?

"Tidak masalah juga kalau mau berdiri, tidak ada yang larang, kan?" kata Andaru.

Terlebih dahulu aku menarik napas panjang. Aku mendarat di kursi, di depan Andaru. Lalu, mataku beralih pada rak buku di sebelah kanan ruangan seraya menghela napas panjang lagi. Sebenarnya, aku sedang mencari cara agar merasa nyaman.

"Ini minggu terakhir kamu dan si Fiesta bekerja di sini." Andaru melirikku, lalu kembali ke layar laptop. "Soal pertukaran barista, sebenarnya ... aku tak tahu. Itu kesepakatan antara pemilik Abadi Kopi dan Andini. Aku juga baru tahu setelah tiba di sini dua hari yang lalu." Dia mengangkat wajah dan aku malah menatap laptop hitam di atas meja, menghindari tatapannya.

"Kinerja kamu bagus selama hampir empat minggu ini, itu menurut catatan Andini. Dan kebetulan semua barista di sini laki-laki." Andaru berdeham. "Aku, selaku owner, menawari kamu menjadi barista perempuan tetap di sini. Bagaimana, tertarik?"

Mataku yang sedang menatap laptop di atas meja langsung terangkat, berserobok dengan mata beriris cokelat gelap dengan alis tebal itu. "Terima kasih, tapi ...."

Aku kan barista part time di Abadi Kopi, bagaimana ceritanya bisa tiba-tiba pindah ke sini? Bagaimana pula respons Pak Andi nantinya? Pak Andi adalah sosok yang cukup berjasa dalam karierku.

"Dini sudah konfirmasi ke pemilik AK. Kata Pak Andi, keputusannya ada di kamu sendiri." Andaru bersandar di kursinya sejenak. "Jangan bilang kalau kamu mau menolak tawaran lagi."

Andanan CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang