04. ☕ Perjalanan Kopi ☕

458 77 20
                                    

Membayangkan akan mendapatkan foto, di mana dalam foto itu aku berdiri dengan background matahari terbit, membuatku bersemangat.

Kemudian, aku juga mengkhayalkan foto yang lain. Di foto itu ada aku dan seorang lelaki dengan cangkir kopi di tangan masing-masing. Aku tersenyum sendiri. Ah, aku mulai berpikir romantis-romantisan.

Sekarang aku sudah mengenakan kaus hitam berlengan panjang dan celana gunung cokelat. Rambut kukucir seperti biasanya. Tas hitam milik Andaru menggantung di punggungku. Lalu, untuk sepatu gunung yang kupakai ini, kupinjam kemarin pagi dari salah seorang teman. Untung saja ukurannya sama.

Telepon WhatsApp membuat ponselku berdering, tepat saat aku hendak mengunci pintu kamar. Muncul nama 'Karey' di layar. Nama yang mengingatkanku akan sebentuk senyum manis, akan alasan mengapa aku harus mengalah dan mengubur impian untuk kuliah.

"Engah...,⁴" panggil Karey dari seberang. Lebih tepatnya di sebuah indekos yang tak jauh dari Universitas Lampung. Di sana Karey mengambil Jurusan Bimbingan dan Konseling.

"Tigham ...,⁵" sambungnya.

Aku tersenyum. "Iya, Engah juga tigham. Niku ampai minjak?⁶" tanyaku saat mendengar adikku menguap.

Karey tertawa pelan. "Tidur lagi setelah subuh tadi, Ngah."

"Kebiasaan," kataku gemas. Teringat bahwa aku hendak berangkat ke Gunung Pesagi, aku pun langsung memberitahunya. "Oh ya, Rey, Engah mau berangkat ke Pesagi, ya."

"Berangkat ke mana, Ngah?" tanya Karey. Entah karena tak terlalu mendengar atau apa.

"Ke Gunung Pesagi." Aku mengulangi.

"Mendaki?" Adikku memastikan.

"Iya," tegasku.

Aku yakin mata Karey membulat mendengar jawabanku.

"Tumben," ucap Karey. "Mimpi apa semalam?"

Teringat dengan salah satu aktor Hollywood asal Inggris yang sekarang menjadi buah bibir, aku pun menjawab, "Mimpi bertemu Hero Finnes Tiffin."

Karey berdeham. "Semoga saja benar-benar ketemu Hero Finnes Tiffin, atau ... seseorang yang mirip-mirip sama Hero, deh."

Aku tertawa. "Mana ada, Rey."

"Kan, aku bilang yang mirip, Ngah, mi-rip. Bisa saja yang mirip itu gaya rambutnya, atau hidungnya, atau ... sorot matanya."

Aku terdiam. Ucapan Karey tentang hidung dan sorot mata mengingatkanku pada Andaru. Astaga!

"Ngah?" panggil Karey karena tak mendengar suaraku.

"Eee, iya?"

"Hati-hati ya, Ngah."

"Iya."

"Kasih kabar kalau ...." Karey berhenti bicara sejenak. "Kalau benaran ketemu Hero, atau lelaki yang mirip-mirip Hero, deh."

Ya ampun, kupikir tadi Karey akan mengatakan, "Kasih kabar kalau sudah sampai". Ternyata oh ternyata ....

Aku tersenyum. "Baiklah."

Tak lama kemudian, aku berangkat menuju Rain Coffee. Dinginnya udara pagi Liwa menusuk jemariku yang memegang stang motor. Di sepanjang perjalanan, perkataan Karey di telepon tadi terngiang dalam benakku. Lelaki yang mirip aktor Hero Finnes Tiffin? Uhm, Andaru tidak mirip. Ah, sudahilah memikirkan lelaki itu.

Bang Itzan baru saja mengeluarkan mobil pikap dan memarkirkannya di tepi jalan ketika aku tiba. Aku bergegas membawa kendaraanku ke depan rumah Bang Itzan.

Andanan CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang