Musikalisasi Puisi

168 19 0
                                    

Riuh tepuk tangan terdengar hingga ke belakang panggung, mengiringi berakhirnya penampilan dari tim nomor urut lima. Karin memberikan semangat untuk tim Luna yang terakhir kali dengan bertepuk tangan heboh, mengiringi lima anggota tim yang berjalan menaiki tangga menuju atas panggung.

MC memanggil tim Luna untuk segera tampil, membuat gedung teater itu kembali dipenuhi dengan tepuk tangan dari pendukung tim Luna yang tak lain adalah teman-teman satu sekolah mereka.

Lima anggota tim berjalan tertib menaiki panggung dengan kostum penduduk pribumi saat jaman penjajahan. Luna mengenakan kebaya sederhana berwarna putih. Rambutnya disanggul rapi, menampilkan lehernya yang jenjang tanpa ada aksesoris apapun.

Dari atas panggung, Luna bisa melihat barisan kursi penonton yang hampir penuh. Ia menampilkan senyum manisnya, mengedarkan pandangannya dari ujung timur hingga barat. Pandangannya menangkap teman-temannya yang melambaikan tangan ke arahnya.

Ada Fero yang mengangkat kedua tangannya dengan jari telunjuk dan ibu jari membentuk simbol love, Surya yang membawa papan tulis kecil bertuliskan nama timnya, Bintang dan Indra yang kompak memberikan tepuk tangan, lalu Resti dan Sella yang sudah mengangkat ponsel masing-masing untuk mendokumentasikan acara.

"Luna Fighting!" seru Resti di antara tepuk tangan penonton.

Luna mengangguk, lantas berbalik. Ia dan yang lainnya segera menempati posisi masing-masing. Luna duduk di bangku kayu yang sudah disiapkan. Gadis itu menghembuskan napas pelan, mulai fokus dengan penampilannya.

Lampu panggung dimatikan, sebuah lampu dinyalakan dan langsung menyorot ke arah anggota tim Luna yang membacakan puisi. Luna sampai merinding saat mendengar kalimat pertama yang dibacakan oleh temannya itu, apalagi ia memakai kostum kebaya sederhana berwarna hitam. Menambahkan kesan kesedihan sesuai dengan puisi yang disampaikan.

Diam-diam Luna kagum dengan cara temannya membacakan puisi.

Sebait puisi telah dibacakan. Kini terdengar ketukan suara kajon dan Luna mulai bernyanyi. Sorot lampu yang tadi menerangi si pembaca puisi telah padam, berganti menyoroti Luna.

Tema musikalisasi yang mereka tampilan kali ini adalah tentang kesedihan. Luna menyanyikan bait lagunya dengan penuh penghayatan, membuatnya terbawa suasana hingga ikut merasakan kesedihan yang ada di lagunya.

Suara petikan gitar mulai memenuhi ruangan teater itu. Saat lampu yang menyorotinya padam, Luna menjauhkan wajahnya dari mikrofon untuk mengambil napas panjang. Salah satu temannya yang lain membacakan bait puisi diikuti oleh iringan suara penyanyi latar.

Tiba di akhir penampilan, lima lampu sorot menyala bersamaan dan menyoroti satu persatu anggota tim. Musik kembali terdengar. Panggung dipenuhi dengan asap putih. Luna berjalan ke tengah panggung dan berdiri di sana untuk kembali bernyanyi.

Ia berhasil mengakhiri lagunya dengan nada tinggi yang menyayat hati. Suaranya bersahutan dengan kalimat terakhir dari pembaca puisi, diiringi dengan suara penyanyi latar. Seiring dengan berakhirnya penampilan mereka, lampu panggung kembali padam untuk beberapa detik lalu menyala dengan terang.

Luna merasakan keheningan menyelimuti ruang teater itu. Ia tidak sadar kalau kedua matanya sudah berkaca-kaca. Ia menoleh ke samping, melihat teman-temannya ikut bergabung untuk berdiri di sebelah kanan dan kirinya.

Terdengar tepuk tangan dari seseorang, seakan membuat yang lainnya tersadar lalu ikut memberikan tepuk tangan yang lebih meriah. Lebih meriah daripada saat pertama kali mereka naik ke atas panggung.

EphimeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang