Setelah jam belajar mengajar usai, banyak dari sebagian siswa bergegas untuk pulang, begitupun dengan Albi. Laki-laki itu menghampiri dua sahabatnya yang tengah berada di kantin. Bukan karena bandel atau hal lainnya,Nanda dan William cabut dari kelas, namun, karena mereka berdua bosan di saat jam kosong. Sedangkan Albi sendiri lebih memilih tidur dari pada harus keluyuran di kantin.
"Woe! Mau tidur di sini kalian?" tanya Albi sambil melempar tas milik kedua sahabatnya.
"Enggak lah, enak aja," jawab William sewot.
"Terus kenapa kalian pada nggak balik ke kelas? Kagak denger bel apa?" tanya Albi lagi yang kini sudah duduk di samping William.
"Sengaja, biar lo nyusulin ke sini. Lagian gue perhatiin, akhir-akhir ini lo jadi hobi tidur deh, Al? Lo sakit?" tanya Nanda khawatir.
"Ogak. Gue baik-baik aja, kok. Cuman, akhir-akhir ini gue susah tidur mikirin Zea," jelas Albi sambil memainkan sedotan.
"Kenapa tuh cewek?" tanya William yang mulai penasaran.
"jadi__" Albi menjeda kalimatnya, meneguk es teh yang sedari tadi mencuri perhatiannya.
"Anjir! Es gue tuh bos," protes William kesal.
"Elah, es teh doang. Ntar gue ganti deh," jawab Albi sambil meletakkan gelas yang hanya menyisakan es batu itu.
"Iya nih, lo perhitungan banget sama temen Wil," sambung Nanda.
"Iya deh iya. Lanjutin cerita lo," perintah William semakin penasaran.
"Jadi nih ya, akhir-akhir ini gue sering banget ngechat Zea, tapi balesnya tuh lama banget. Misal gue chat jam 7, ntar jam 10 bahkan lebih baru dibalas. Padahal udah diread. Belum lagi pas gue telfon, keknya buru-buru banget ngomongnya, kek ketakutan gitu," jelas Albi panjang lebar.
"Zea selingkuh! Dia pasti punya cowok lain," seru Nanda sambil menggebrak meja.
"Astagfirllah, kaget gue. Lo bisa santai nggak sih, njing!" kesal William.
"Gimana mau santai kalau sahabat gue, sobat gue diselingkuhin? Kagak terima gue! Gue gorok juga tuh cewek chili," kesal Nanda.
"Lagian lo juga sih, Al. Udah dikasih bilang jangan pacaran sama Zea, masih aja ngeyel. Diduain kan lo. Diselingkuhin kan lo. Mending Almeera kemana-mana," imbuh William kemudian memelankan suaranya diakhir kalimat.
"Asem lo pade, gue curhat malah dihakimin. Emang temen laknat ya kalian. Belum tentu juga Zea kek gitu," jawab Albi sedikit kesal.
"Iya deh iya, orang kalau lagi bucin goblog nya jadi nambah," celetuk Nanda sambil memalingkan wajah.
"ya udah ah, nggak usah bahas cewek gue lagi. Btw, gue mau beli parfum, pada mau ikut?" tanya Albi pada kedua sahabatnya.
"Aduh, gue nggak bisa ikut, Al, gue udah janji mau nganter mama ke tempat tante Rosa. William aja deh," tunjuk Nanda pada laki-laki yang tengah makan mendoan.
"Oke deh. Sekalian gue beli daleman. Daleman gue udah nggak layak pakek," jujur William.
"Anjir," seru Albi dan Nanda bersamaan.
"Lo nggak malu emang beli gituan sendiri?" Tanya Nanda penasaran.
"Dari pada mama yang beliin, mending gue beli sendiri. Malu gue kalau mama yang beliin." Albi dan Nanda terbahak melihat ekspresi wajah William si bule Menteng. Di kepala mereka nampak jelas bayangan jika william pergi beli daleman bareng sama mamanya yang super bar-bar itu. Bisa-bisa sampai rumah William bunuh diri karena malu.
Setelah perbincangan panjang diantara ketiganya, akhirnya kini mereka setuju untuk pulang. Sebenarnya hanya Nanda yang pulang, sedangkan Albi dan William bergegas pergi ke mall untuk membeli parfum.
30 menit dalam perjalanan, akhirnya Albi dan William sampai di salah satu mall di Jakarta. Setelah memarkirkan motor masing-masing, keduanya bergegas menuju toko parfum langganan Albi.
Tak butuh waktu lama mereka berada di toko tersebut karena Albi selalu membeli parfum yang sama setiap kali belanja ke toko ini. Parfum yang 3 tahun lalu di pilih oleh Almeera dengan alasan aroma parfum tersebut sesuai dengan karakter Albi.
"Makasih, om," ucap Albi sopan pada pemilik toko sebelum meninggalkan tempat itu.
"Sama-sama, mas. Lain kali datang lagi, ya, nanti saya kasih diskon lebih gede," ujar lelaki yang kira-kira berusia 40 tahunan itu.
"Baik, om," Albi tersenyum ramah pada pemilik toko, kemudian benar-benar pergi meninggalkan toko itu.
Kini mereka berdua berjalan santai melewati beberapa toko. Melihat-lihat barang kali ada yang cocok untuk di beli.
"lo beli daleman di mana?" tanya Albi pada William yang masih celingukan memcari toko yang menjual daleman cowok.
"Bentar, gue nyari toko yang penjaganya cowok, jadi nggak malu-malu banget ntar," tutur William masih dengan meneliti sekitar.
"Oke, gue bantu nyari," Albi mendekati pembatas lantai dua. Menatap ke lantai bawah untuk mencari toko yang di maksud oleh sahabatnya tadi, namun tanpa sengaja, Albi melihat sosok yang sangat dia kenal. Dia Zea, kekasih Albi.
"Wil," panggil Albi pada William yang menyandarkan tubuhnya di besi pembatas. "Wil," panggilnya lagi kali ini dibarengi dengan memukul lengan sahabatnya itu.
"Apaan deh, Al. Gue masih nyari ini," protes William.
Tak lagi menyahut, laki-laki dengan jaket denim itu sudah tidak ada di tempatnya. William celingukan mencari keberadaan sahabatnya itu, namun netranya mendapati sosok yang dicari berada di lantai dasar dengan langkah yang begitu tergesa.
"Ngapain coba dia?" tanya William pada dirinya sendiri. Namun sesaat kemudian, William melihat dengan jelas jika Albi menghentikan sepasang kekasih. "lah, itu bukannya Zea?" William bertanya pada dirinya lagi, kemudian bergegas menyusul sahabatnya sekalian memastikan jika dia tidak salah lihat.
"Zea!" seketika langkah dua sejoli itu berhenti. Betapa kagetnya Zea saat mendapati Albi sudah berada di hadapannya sekarang. "jadi ini yang lo lakuin di belakang gue?" tanya Albi pada Zea dengan tatapan yang sangat mengerikan.
"Gue bisa jelasin, kak." Gadis itu kini mencoba mendekati Albi. Namun sayang, satu langkah Zea untuk menyusul Albi, maka tiga langkah Albi akan menjauh dari gadisnya itu.
"Dia siapa, sayang?" satu pertanyaan mencuak dari bibir lelaki yang kini berdiri di belakang Zea. Seolah menulikan pendengarannya, Zea mengabaikan pertanyaan itu. Gadis itu terus saja berusaha menjelaskan tentang siapa lelaki ini.
"Lo nggak perlu jelasin apa-apa. Lo bisa lanjut sama dia. Kita putus!" ucap Albi tanpa ragu. Setelah mengucapkan kata keramat itu, Albi bergegas meninggalkan Zea yang terlihat menangis.
"ih, sok-sokan nangis segala. Dasar betina nggak tau diri," cibir William saat berada tepat di depan Zea. Kemudian melanjutkan langkahnya menyusul sahabatnya.
"Al," panggil William dengan nafas sedikit ngos-ngosan. "kaki lo seribu apa gimana? Cepet banget jalannya."
"Sorry, Wil."
"Iya, santai aja. Btw, lo oke kan, Al?"
Albi tak menjawab, hanya anggukan yang ia tunjukkan pada William.
"Sabar, ya. Semua akan baik-baik aja," ujar William sambil menepuk pelan bahu Albi.
"Thanks ya, sob."
William hanya mengacungkan jempol sebagai jawaban. Kemudian keduanya memutuskan untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny || Haechan
Teen Fiction"Pertama bertemu, gue pikir itu hanya kebetulan." "Kedua kali ketemu, gue masih nggak percaya kalau itu takdir." "Sampai saat kita bertemu untuk yang ke tiga kalinya. Gue baru percaya bahwa Tuhan telah menakdirkan kita untuk bersama."