⍟
____________
Dering alarm ke lima kembali berbunyi dari ponsel mahal yang tergeletak mengenaskan di bawah lantai bersamaan beberapa buku dengan halaman terbuka dan pecahan beling yang berserakan. Gorden keemasan itu melambai pelan karena jendela yang dibiarkan terbuka. Terlihat beberapa piala berjejer rapi di dalam lemari kaca tembus pandang. Medali emas tergantung indah pada dinding berwarna putih tanpa kusam bersamaan piagam yang dianggap tidak berguna bagi sang pemilik. Tak ada satu pun ditemukan bingkai foto pada sekotak kamar yang terlihat mewah itu, hanya beberapa barang penting dan penghargaan sebagai ajang pamer.
Pemuda yang masih bergelung di dalam selimut itu menggeram kesal. Mencoba mengabaikan suara yang sempat mengganggu mimpi indahnya barusan sembari memeluk guling abu-abu berwarna senada dengan seprai yang menutupi tempat tidur kesayangannya.
Tok tok tok!
Menggeliat, sembari kakinya menendang angin beberapa kali. Ia berdecak malas. "Bangsat!" bisiknya pada ruangan ber-AC tersebut. Pemuda itu mendudukkan dirinya membuat selimut yang sedari tadi menutupi tubuh meluruh, memperlihatkan dada bidangnya yang tanpa mengenakan sehelai benang pun. Matanya masih terpejam dengan raut wajah cemberut, tangannya beberapakali menggaruk rambut berwarna kecoklatannya yang berantakan.
Tok tok tok!
"Iya iya iya! Berisik!" sentak pemuda berdarah campuran Jepang-Jerman itu gemas. Meskipun begitu, pemuda setengah bule itu masih memiliki darah Indonesia. Ayahnya blasteran Jerman-Medan, dan Ibunya Jepang-Jawa.
Kemudian kakinya menyentuh lantai, mencoba bangkit. "Motherfucker!" umpatnya kala telapak kakinya mendadak teriris pecahan beling di lantai. Pemuda itu kembali menjatuhkan bokongnya di atas kasur.
"Udah siang," ujar seseorang dari luar kamarnya yang sedari tadi mengetuk pintu. "Katanya hari ini mau sekolah."
Pemuda itu merengek kecil. Kemudian menendang serpihan beling yang baru ia ingat semalam tak sengaja menjatuhkan gelas kacanya dan enggan untuk langsung dibersihkan. Kemudian ia hanya diam menatap cairan merah yang mulai menggenang di lantai akibat kakinya yang luka, butuh beberapa sekon sampai nyawanya berkumpul.
"Xavier?" panggil sosok itu lagi dari luar. Ketukan pintu kali ini lebih keras terdengar. "Jadi sekolah gak? Atau mau saya sampaikan ke Pak Damian tentang pembatalan kontraknya?"
Pemuda itu menghela napas. Menatap dirinya sendiri pada pantulan pintu kaca balkonnya, ia mengenakan celana tipis panjang berwarna putih tanpa atasan membiarkan dirinya telanjang dada. Mengerjap sebentar, membiarkan kotoran matanya senantiasa mengering di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
FANTASY
Teen FictionMenyamar sebagai anak sekolahan demi kontrak 90 juta untuk menjaga seorang Johara Mae Damian awalnya adalah tugas biasa bagi Xavier Wistara. Mempertemukan Xavier pada perkumpulan anak-anak istimewa di sekolah yang berujung terkuaknya rahasia masa la...