16. I dream of "Bro"

32 7 23
                                    

____________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____________


"Beritanya sudah tersebar sejak dua jam lalu. Ayah sudah mencoba menghubungi kamu, Adriel!" ujar sosok pria tinggi dengan jas putih kebanggaannya. Kacamata bertengger di hidung bangirnya, terlihat berwibawa dan awet muda di umur yang sudah lewat dari setengah abad. Beberapa rambut putih menyelinap di antara yang hitam. Pria itu Ardian Kalingga. Pemilik salah satu Rumah Sakit terbesar di daerah sekaligus Ayah kandung dari Adriel Kalingga.

Sementara Adriel hanya diam menunduk menatap ubin Rumah Sakit yang tengah ia pijak. Menikmati sunyi lorong yang menemani sebelum suara bass Ayahnya mulai menginterupsi.

"Liat berita!" seru Ardian, menatap putra bungsunya yang hanya diam tertunduk. "Kamu lagian ke mana aja sih bukan langsung pulang?"

Adriel mengangkat wajahnya yang dibalut suram. Menatap Ardian polos. "Saya nunggu Kak Darren. Dia udah janji mau jemput saya di sekolah."

Ardian sontak menghela napas frustrasi. Ia sisir rambutnya ke belakang mencoba mengusir penat. Sesekali ia menutup erat mata karena pandangannya mendadak buram. "Darren ada di ruangan itu," kata Ardian sembari menunjuk ruang mayat dengan dagunya. "Mereka baru membawanya ke sana."

"Ayah!" teriak Adriel. Sontak Adriel maju satu langkah, sembari menatap Ardian marah. Dua tangannya terkepal di bawah. Menatap mata lelah pria di hadapannya dan mencari bohong yang hilang di sana. Hanya saja, mata Ardian terlalu sendu. Seperti tengah mengatakan kejujuran.

"Kalau masih gak percaya. Liat aja!" Ardian kemudian berlalu menjauh dari hadapan Adriel. Tak peduli dengan reaksi, kecemasan, atau bahkan perasaan putranya yang satu lagi.

Adriel menelan salivanya susah payah, tiba-tiba tersenyum kecil. Tak percaya kenyataan, hanya menganggap dunia tengah mengajaknya bercanda. Kemudian dengan langkah berat ia memasuki ruangan di mana memiliki dua pintu besar. Di dalamnya ada beberapa lemari yang Adriel tahu itu untuk menyimpan tubuh orang mati, dan hanya tersisa satu brankar yang di atasnya ditutupi kain putih dengan banyak bercak darah.

Kadang Adriel suka melihat banyak bercak darah, tapi tidak untuk kali ini. Karena pemuda itu mendadak lupa cara menggunakan otaknya. Pikirannya serasa kosong. Jiwanya terasa tak lagi bersama Adriel kala itu. Setelah mengembuskan napas berat, Adriel mencoba mendekati brankar dan membuka selimut yang menutupi kepala Daren perlahan. Wajah kakak kandungnya terpampang nyata, memberi efek tamparan keras tak terlihat untuk batin Adriel. Jelas, namun kali ini tampak lebih memiriskan. Dengan mata tertutup dan luka di mana-mana. Seperti bukan kakak yang selama ini Adriel kenal.

Pemuda itu menahan napas di antara jantungnya yang berdegup semakin cepat. Antara takut dan kecewa. Pemuda itu benar-benar tak bisa membedakan kenyataan dan ilusi. Sesak mulai berlomba menyergap paru-parunya. Dalam hatinya masih menertawakan diri sendiri, berharap ini hanya mimpi, sialan. Tangannya meremat kedua lengan Darren yang terpampang di depan matanya langsung, tubuh yang mulai kaku, namun masih terasa hangat. Dua netra Adriel mulai memerah, tak peduli lagi tentang nyata atau fantasi karena otaknya mulai bekerja dan memberi kesimpulan bahwa Darren-nya telah pergi. Mungkin meninggalkannya untuk selamanya. Mungkin tak bisa ia dengar lagi suaranya. Dan mungkin tak bisa menghabiskan banyak waktu lagi dengannya.

FANTASYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang