8. I dream of "Lier"

77 12 25
                                    

____________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____________

Valo duduk di pinggiran balkon sembari memainkan asap dari rokok elektrik yang dia isap. Pemuda berwajah blasteran western itu memilih melemparkan daya lihatnya pada permadani cakrawala berwarna kelabu. Mengingat perkataan Allena yang bahkan sampai sekarang seperti menjadi moto hidup bagi Valo.

Hidup itu seperti tantangan tanpa akhir, jadi jangan berharap semua akan indah pada waktunya. Karena pada waktunya nanti, abadi gak pernah terdaftar dalam list kehidupan.

Allena ... Allena ... Allena!

Kira-kira kapan mereka akan bertemu lagi? Mungkin di kehidupan selanjutnya?

Satu sudut bibir Valo naik sebentar. Katanya hidup seperti bumi yang tengah berputar mengelilingi matahari. Katanya bahagia dan luka itu datang sepaket untuk kehidupan. Hanya saja karena terlalu fokus untuk menyembuhkan luka, saat hari bahagia itu tiba kita bahkan tak menyambut rasa itu. Lantas jika kita merasa hidup menjadi amat banyak luka, apakah semesta patut disalahkan?

Apa takdir benar tak bisa berubah? Happy ending never exist in this universe, isn't it?

Sebenarnya hidup yang tak pernah baik, atau manusia yang tak membiarkan mereka menjalani hidup dengan baik?

"Udah gue bilang vape itu gak baik buat kesehatan lo. Ngeyel banget kalau dikasih tau," ucap Adriel sembari menahan tangan Valo yang hendak mendekatkan rokoknya pada bibir.

Valo melirik sekilas. Terkekeh kecil. "Peduliin kesehatan lo aja. Gue mah rajin olahraga, gak kayak lo, lemah. Gue senggol dikit juga jatoh ke bawah."

"Ya di mana-mana juga jatoh ke bawah. Bukan ke atas," jawab Adriel asal. Pemuda itu menarik rokok yang ada di tangan Valo dan menyembunyikannya di saku hoodie yang ia kenakan. Valo hanya mendengkus kesal tanpa perlawanan.

"Sebenarnya lo ngajak kita ngumpul ke sini buat bahas apa, Dri?" Fay yang masih setia berdiri di tengah ruangan paling terang menyahut, membuat semua temannya menunjukkan atensi.

Adriel menoleh. Mengangkat satu alisnya sebentar. "Emang sebelumnya kita punya alasan buat ngumpul di sini? Ini rumah kita."

"Lo bilang ada yang mau dibahas," kata Hara yang memilih duduk pada kursi panjang tak terpakai di tengah ruangan.

Sementara Hansa hanya diam berdiri beberapa jengkal di belakang Fay.

Adriel ikut duduk di pembatas balkon di samping Valo. Menatap tiga temannya yang ada di tengah-tengah ruangan terkena cahaya. Sekarang secanggung ini hanya untuk berkumpul ternyata. "Kita pernah buat janji di gedung ini untuk ceritain semua masalah yang kita punya. Kita punya janji untuk jadi diri sendiri di gedung ini. Gue harap kalian masih inget janji itu."

FANTASYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang