Bab 9

2.7K 437 34
                                    

Malamnya Arkha merasakan kepalanya pening luar biasa, suhu tubuhnya juga meningkat tidak seperti biasanya. Ia sudah berada didalam kamarnya sejak pulang dari kantor dan tidak turun dari ranjang bahkan untuk sekedar makan malam yang sudah disiapkan para pelayan.

"Ma, kenapa Papa nggak keluar-keluar dari kamarnya?"

Pertanyaan Kenan sontak membuat Alena bingung untuk menjawabnya. Bagaimana ia harus menjelaskan pada sang putra agar terbiasa dalam situasi seperti ini lagi?

"Tuan sepertinya sakit, Nyonya." Seorang pelayang yang berdiri di belakang mereka menjelaskan. "Tadi Tuan minta diambilkan obat, katanya kepalanya pusing."

Alena seketika terkejut mendengarnya, ia menoleh kearah pintu kamar Arkha yang berada dilantai dua dengan cemas. Dorongan untuk menghampiri pria itu seketika hadir bersama keraguan yang menyertai.

"Ma, ayo kita kekamar Papa. Kasihan Papa...."

Antara khawatir dan juga tekad untuk mengabaikan, rupanya hati Alena lebih dikuasai oleh kecemasan. Ia sungguh tidak bisa bersikap tidak peduli, sehingga ketika sang putra menarik lengannya Alena tak berusaha menolak.

Tak butuh sedetik mereka sampai di pintu kamar Arkha, Kenan langsung membuka pintu tersebut dan menghambur kedalamnya.

"Papaaa.... Papa sakit ya?" seru Kenan seraya mendekati ranjang dimana Arkha tergolek diatasnya.

"Kenan, papamu sedang tidur." Alena berusaha mencegah sang putra yang sudah menyentuh wajah Arkha dengan tangan mungilnya.

"Aku nggak tidur kok," Arkha membuka matanya dan tersenyum lemah kepada sang putra yang kini sudah naik keatas ranjang.

"Badan Papa panas, mau Arkha panggilkan dokter?" tanya bocah itu selayaknya orang dewasa sehingga memunculkan senyum diwajah Arkha.

"Nggak usah Sayang, papa udah minum obat, nanti juga sembuh," sahut Arkha seraya mengusap kepala Kenan.

"Kenan benar Mas, aku panggilkan dokter aja ya. Aku takut Mas kenapa-kenapa?" timbrung Alena sambil meremas jemarinya.

Ucapan itu langsung membuat Arkha menatap kearahnya. Kening pria itu mengerut seakan terkejut mendengar kata-kata penuh kekhawatiran wanita itu.

"Nggak usah," sahutnya singkat sebelum bergerak bangun, duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memangku Kenan diatas pahanya.

"Tapi Mas...."

Kata-kata itu langsung terbungkam begitu mendapatkan tatapan dingin dari Kenan.

"Maaf, aku hanya mencemaskan kondisimu." Alena menunduk, menyembunyikan kedua netranya yang berkaca-kaca.

"Terimakasih tapi itu tidak perlu."

"Papa kenapa bentak-bentak Mama lagi, Papa kan udah janji akan selalu bersikap baik sama Kenan dan juga Mama," tegur Kenan dengan nada sedih yang tidak dibuat-buat.

Arkha terkesiap, ia meraup kasar wajahnya, nampak menyesali akan sikapnya. "Kalian keluarlah, aku ingin sendirian saat ini." Detik berikutnya, ia memindahkan Kenan dari atas pangkuan sebelum membaringkan tubuhnya kembali keatas ranjang, memunggungi sang putra dan juga Alena.

Wajah Kenan terlihat akan menangis, Alena yang menyadari hal itu langsung menggendong putranya itu untuk kemudian membawa bocah itu keluar dari kamar Arkha.

Setelah pintu kamar di tutup dari luar, tatapan Arkha berubah sendu. Ia tampak begitu tersiksa dengan situasi saat ini, dimana dirinya harus kembali menjauhi Alena dan putra mereka demi kebaikan keduanya. Tiba-tiba rasa sakit yang teramat sangat mencengkeram kepalanya, selama beberapa saat ia berkutat dalam rasa sakit sebelum akhirnya kesakitan itu menghilang menyisakan keringat dingin yang membanjiri kulit keningnya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang