"Sia-sia kamu bilang?" Mika menyambar kerah kemeja Arkha. "Tega kamu bilang kayak gitu, Arkha!"
Arkha memalingkan wajahnya, seolah tak sudi menatap Mika. "Pergilah, semakin lama kamu disini kamu akan semakin tersakiti oleh kata-kataku."
Tak membuang waktu, Arkha langsung menghela Alena kembali untuk mengikutinya.
"Brengsek kamu, Arkha! Aku pastikan kamu akan kehilanganku selamanya!" raung Mika sebelum tangisnya pecah mengiringi kepergian ketiganya.
Arkha menulikan telinganya, ia terus berjalan membawa istri dan anaknya tanpa peduli pada tangis kesakitan Mika yang baru saja ia tinggalkan.
"Mas, aku sama Kenan berangkat sendiri aja. Kamu bicaralah dengan Mbak Mika lagi, minta dia untuk memahami kondisimu sekarang ini. Jangan sampai sikapmu yang sekarang membuatmu kehilangan dia selamanya."
Alih-alih menanggapi ucapan Alena, Arkha langsung memaksa masuk istrinya itu kedalam mobil. Dalam diam, ia mulai melajukan mobilnya meninggalkan rumah mereka. Sepanjang perjalanan menuju sekolah Kenan, Arkha tampak begitu diam. Selain menanggapi celotehan Kenan, pria itu terlihat tidak berniat mengajak bicara Alena. Sedang Alena sendiri terlalu takut untuk memulai percakapan, sekalipun ia ingin sekali membahas soal Mika.
"Pesan dari siapa?"
Pertanyaan itu mengejutkan Alena. Mereka baru saja mengantarkan Kenan ke sekolah dan kini sedang dalam perjalanan menuju kantor. Sejak meninggalkan rumah, ini pertama kalinya Arkha mengajaknya bicara. Alena tidak menyangka meski Arkha terlihat tidak peduli ternyata pria itu memperhatikannya.
"Oh, i-ini dari Pak Haikal."
"Ngapain dia chat kamu?" Arkha terlihat kesal. Tapi ketika Alena hendak menjawab Arkha sudah lebih dulu menyambar ponselnya.
"'Selamat pagi.'" Arkha membaca isi pesan itu dengan wajah jijik.
"'Kamu tahu Lena, mengapa aku tidak menyukai fajar? Karena fajar membawa pergi mimpiku tentang kamu.'"
Arkha terus membaca riwayat pesan Haikal yang satupun tidak di balas oleh Alena. Mobil mereka kini berhenti di lampu merah, jadi Arkha punya cukup waktu untuk men-scroll isi chat adik tirinya itu kepada sang istri.
Dulu, ia pernah mendengar ada seorang karyawati dikantor yang membuat Haikal tertarik, namun tidak menyangka jika wanita itu adalah Alena. Wanita yang di minta nenek mereka untuk menikah dengannya. Terlepas dari Haikal yang mencintai Alena lebih dulu, seharusnya Haikal sadar diri jika wanita yang dicintainya itu kini sudah menjadi kakak iparnya. Bukannya terus mengejar istrinya seolah tidak tahu malu. Mungkin dulu Arkha terlihat tidak peduli, tetapi kini ia tidak akan biarkan adik tirinya itu mendekati istrinya lagi. Oh ya, dia masih bisa mengingat bagaimana Haikal berusaha mendekati Alena selama ini. Anehnya, ia dapat mengingat segala hal kecuali yang berhubungan dengan perasaannya kepada Alena, Kenan dan juga Mika.
"Haruskah aku menendangnya dari kantor agar dia berhenti mendekatimu? Seingatku dulu dia bahkan sering terang-terangan menunjukkan rasa sukanya padamu."
Alena tercengang. "B-bagaimana Mas bisa mengingatnya, padahal Mas kan...."
"Lupa ingatan?" Arkha menoleh dengan wajah datarnya. "Benar, aku memang amnesia, tapi tidak semua hal aku lupakan. Contohnya rasa benciku padanya." Ia tersenyum miring. "Astaga ... aku bahkan masih bisa mengingat dengan jelas betapa bencinya aku padanya."
"Begitukah? Apakah Mas sudah mengonsultasikan soal ini pada dokter?"
"Tentu saja, dokter mengatakan ini biasa terjadi dalam kasus amnesia."
"Apa itu artinya, amnesia mas tidak tergolong berat? Jika memang benar seperti itu, semoga ini tidak akan lama." Alena tersenyum lembut. "Jadi Mas bisa kembali mengingat Mbak Mika."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alena
RomanceDibenci oleh suaminya dan dianggap sebagai wanita penggila harta adalah nasib yang harus di tanggung Alena sepanjang pernikahannya dengan Arkha sejak ia menerima pinangan nenek suaminya yang menagih hutang budinya selama ini. Tapi itu dulu, suaminy...