Dehaman keras menghentikan mereka. "Alena akan pulang denganku."
Keduanya menoleh dan menemukan Arkha berdiri tak jauh dari mereka-menatap dengan sorot tajamnya.
Haikal tertegun sejenak, ia seperti tidak percaya jika lontaran kalimat itu adalah milik kakak tirinya.
"Tumben banget," dengkusnya seraya tersenyum miring.
"Dan kata-kata itu tidak hanya berlaku untuk hari ini, karena untuk seterusnya Alena akan selalu berangkat dan pulang denganku."
Layaknya tersambar petir disiang bolong, ucapan itu tidak hanya mengejutkan Haikal tetapi Alena juga. Ia tak habis pikir jika pria dingin yang dinikahinya lima tahun ini akan mengatakan sesuatu yang tidak biasa selama pernikahan mereka. Namun kemudian Alena ingat jika kecelakaan itu membuat Arkha kehilangan sebagian memorinya, bisa jadi pria itu tidak ingat jika dulu ia begitu tidak menyukai Alena.
"Uhm, sepertinya aku pulang sendiri saja, hujannya juga sudah reda. Terimakasih atas tawaran kalian." Tanpa menunggu jawaban kedua bersaudara itu, Alena langsung berlari menembus rintik hujan. Meski belum sepenuhnya reda tapi itu cukup memberi alasan bagi Alena untuk menolak tawaran mereka.
Apa jadinya jika pegawai biasa seperti dirinya ikut menumpang ke mobil salah satu diantara mereka yang merupakan bos di kantor itu? Tidakkah hal itu akan mengundang banyak pertanyaan nantinya? Meski dirinya sudah sejak lama digosipkan dengan Haikal, tapi Alena selalu mempunyai cara untuk mematahkan kabar itu. Tetapi jika sekarang Arkha juga bersikap baik padanya, entah apa yang harus ia jelaskan pada rekan-rekannya nanti. Hal itu jelas tidak biasa. Arkha yang dulu selalu tak acuh padanya. Dan ia sangat yakin, jika ingatan Arkha pulih pria itu pasti akan menyesal telah menawarinya pulang bersama.
Tolong ingatkan Alena Tuhan bahwa suaminya yang sebenarnya sangat membencinya. Arkha mengatakan hal itu semata karena pria itu tak ingat jika ia adalah istri yang dibencinya selama ini.
***
"Ma, kapan kita akan pergi ke zona bermain?"
Pertanyaan Kenan membuat Alena termangu, ia sedang membantu sang putra merakit lego dikamarnya. Menemani Kenan bermain adalah aktifitas rutin yang Alena lakukan saat berada di rumah. Keduanya akan mengurung diri di dalam kamar setiap kali Arkha tiba dirumah.
"Nanti ya sayang, nunggu Mama dapat uang."
Alena mengusap kepala putranya. Teringat selama ini uang gajinya selalu habis untuk membayar upah orang yang merawat ayahnya dan juga membayar uang sekolah Kenan serta mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Arkha memang selalu mentransfer uang dalam jumlah yang banyak ke rekeningnya setiap bulan atas permintaan neneknya, tapi seperakpun Alena tidak menggunakannya. Baginya kesembuhan sang ayah sudah lebih dari cukup sehingga ia tidak memerlukan kemewahan yang keluarga suaminya berikan. Ia tidak ingin Arkha terus menuduhnya wanita yang mata duitan.
"Kapan Mama dapat uang?" tanya Kenan lagi, anak itu memang cukup kritis di usianya yang baru empat tahun sehingga Alena sering kewalahan memenuhi keingintahuan putranya.
"Kalau mama gajian."
"Kapan Mama gajian?"
Alena tersenyum, dengan lembut di usapnya kepala sang putra. Ia hendak menjawab ketika sebuah suara mendahuluinya.
"Kenapa memangnya nanya mama gajian?"
Arkha tiba-tiba muncul mengejutkan Alena dan Kenan yang nampak tercengang.
"Hmm?" Pria itu berjongkok di depan Alena dan sang putra.
Melihat sikap papanya yang tidak biasa, Kenan menatap wajah Alena lebih dulu sebelum menggeleng takut-takut.
Arkha tertegun menatap putranya yang kini tengah menyembunyikan wajahnya ke dada Alena. Tiba-tiba hati Arkha seperti di cengkeram kuat. Ia tidak mengingat satupun kenangan tentang mereka. Kali pertamanya melihat anak itu adalah sekembalinya ia dari rumah sakit. Sang nenek yang menjemputnya pulang mengatakan jika anak itu adalah putranya. Tapi bukannya memeluknya saat bertemu, Kenan justru menyembunyikan dirinya dibalik punggung sang nenek. Sebenarnya ada apa dengan mereka? Mengapa putranya itu selalu ketakutan tiap melihatnya?
"Besok papa gajian, Kenan mau minta apa dari papa?" tanya Arkha berusaha menarik simpatik anaknya.
Mendengar pertanyaan itu, Alena sontak menatap Arkha dan pria itu melakukan hal yang sama.
"Apa Kenan boleh minta apa aja?" Kenan mendongak, masih dengan tatapan takutnya ia melihat wajah sang papa.
Arkha tersenyum lembut, jemarinya mengusap wajah putranya. "Tentu saja, Kenan boleh minta apa pun yang Kenan mau."
Kenan menoleh ke wajah Alena sebelum kembali menatap Arkha. "Kalau Kenan minta papa untuk nggak marah lagi sama Kenan dan juga Mama, apa papa bersedia?"
"Kenan...." Alena langsung membekap mulut putranya. "Maaf Mas, Kenan belum mengerti dengan apa yang dia ucapkan barusan." Ken menganggap jika sikap dingin Arkha selama ini kepadanya dan juga Alena adalah karena pria itu marah kepada mereka.
Arkha membeku sesaat lamanya. Senyuman getir terbingkai diwajah Arkha tak lama kemudian, entah seperti apa sikapnya di masa lalu sehingga sang putra mengatakan begitu tentangnya?
"Tidak apa-apa, aku mengerti. Mungkin dulu aku adalah papa yang buruk, dan itu adalah kesalahanku." Tangan Arkha mengangkat tubuh kecil Kenan, lalu didudukkan di atas kakinya yang bersila. "Memangnya kapan Papa pernah marah sama Kenan dan Mama? Jika dulu Kenan merasa papa seperti itu, papa minta maaf ya. Papa janji mulai detik ini papa akan menjadi papa yang baik untuk Kenan."
"Uhm, seperti papa teman-temannya Ken di sekolah ya Pa?" Kenan terlihat senang.
Arkha tersenyum. "Iya Sayang, seperti itu."
"Apa papa juga akan mengantarkan Kenan sekolah?"
"Kenan...."
"Ya tentu saja." Arkha menyambar dengan cepat sebelum Alena berhasil menginterupsi Kenan dengan kalimatnya yang panjang.
"Horeee, asiiikkk.... Terimakasih papa."
Kenan melonjak senang, ia mengecupi seluruh kulit wajah Arkha sehingga pria itu tergelak saat mendapatkan ciuman bertubi-tubi dari putranya. Kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya seketika membungkus hatinya. Seburuk apakah sikapnya di masa lalu sehingga Tuhan sampai menghukumnya dengan cara merenggut ingatannya? Lalu bagaimana jika dalam kecelakaan itu ia tidak selamat, mungkin selamanya ia akan menjadi sosok ayah yang merugi-yang tidak akrab dengan putranya sendiri.
***
"Terimakasih, Mas sudah mau menghibur Kenan."
Suara lembut Alena menyentak halus Arkha yang tengah memandangi wajah lelap Kenan. Bocah itu tertidur usai dibacakan cerita olehnya.
Arkha berdiri. "Itu sudah tugasku sebagai papanya."
Jawaban Arkha membuat Alena tertegun, sejak awal kehamilannya hingga Kenan dilahirkan ini pertama kalinya Arkha mengakui Kenan sebagai putranya. Rasa sesak seketika memenuhi dada Alena, andai ingatan Arkha tidak terganggu mana mungkin pria itu akan berkata demikian.
"Maaf Mas, sebelumnya aku harus menjelaskan terlebih dulu, mungkin Mas tidak mengingat soal ini ... tapi dulu Mas tidak menyukai Kenan."
Layaknya mendapat sebuah tamparan, kini terjawab sudah rasa herannya atas sikap Kenan yang tidak akrab dengannya. "Aku tidak ingat."
Alena mengerjap, meremas jemarinya demi mendapat kekuatan guna membalas tatapan Arkha yang mengintimidasi.
"Karena itu aku harus mengingatkan Mas, supaya Mas tidak menyesal nantinya."
Arkha menoleh ke arah ranjang, menatap sendu wajah putranya. "Justru aku akan menyesal jika selamanya aku tidak pernah memberi kasih sayang pada darah dagingku sendiri." Ia tersenyum getir. "Ingatanku memang terhapus, tapi jika hal itu bisa mengubahku menjadi pria yang lebih baik. Aku berharap ingatanku tidak akan pernah kembali."
Tbc
Yuhuw, maaf baru update sekarang🙏
Yang nungguin cerita ini??
Love
Neayoz😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Alena
RomanceDibenci oleh suaminya dan dianggap sebagai wanita penggila harta adalah nasib yang harus di tanggung Alena sepanjang pernikahannya dengan Arkha sejak ia menerima pinangan nenek suaminya yang menagih hutang budinya selama ini. Tapi itu dulu, suaminy...