Bab 8

2.7K 447 33
                                    

Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berhenti dihadapannya. Mengejutkan Alena yang tengah melamun.

"Lena?" Haikal menyapa dari balik kaca kaca mobil yang terbuka, keningnya mengerut seakan heran mendapati keberadaan Alena disana.

"Pak Haikal...."

"Nunggu angkot."

"Jam segini? Kamu akan terlambat nanti sampai kantor, ayo naik! Kita berangkat bareng."

"Uhm, Pak Haikal duluan aja."

"Ayolah Lena...."

Alena menatap kesekitar, dimana wajah risih orang-orang terlihat. Menganggap mobil Haikal menghalangi angkutan umum yang akan berhenti di halte itu. Kalaupun Alena kukuh menolak, Haikal bukan tipikal orang yang mudah menyerah. Jadi daripada ia tidak enak hati pada yang lain mengingat Haikal yang tak juga mau menyingkir, Alena terpaksa menerima tawaran pria itu. Lagipula, Haikal benar ia akan terlambat jika ke kantor menggunakan angkutan mengingat kini ia berangkat tidak lagi sepagi dulu.

"Nah ini baru benar," ucap Haikal begitu Alena sudah masuk ke mobilnya.

"Terimakasih Anda sudah menawariku tumpangan," sahut Alena seraya memasang sabuk pengaman.

"Kalau tidak salah, sepertinya aku sudah sering memintamu untuk tidak bersikap formal padaku. Kita ini saudara, right? Jadi cukup memanggilku dengan Haikal. Tapi aku tidak keberatan jika kamu ingin memanggilku dengan Honey."

"Apa...."

Mendapati Alena yang tercengang, Haikal seketika tergelak. "Just kidding. Aku suka becanda...."

Senyuman Haikal menular ke Alena. Pria itu memang pandai mencairkan suasana.

"Ngomong-ngomong, suamimu kemana? Kenapa kalian tidak berangkat bersama pagi ini?"

"Itu.... sebenarnya tadi kami berangkat bersama dari rumah tapi karena Kenan rewel jadi aku minta Mas Arkha untuk berangkat duluan. Sementara aku menunggui Kenan di sekolah sampai gurunya datang," kilah Alena.

"Jika dia suami dan ayah yang baik, dia tidak akan meninggalkan kalian begitu saja," timpal Haikal tegas, dari samping wajahnya nampak kesal.

Alena terbungkam, siapa sangka jika jawaban hasil karangannya malah memancing amarah Haikal.

"Itu...."

"Aku harap kamu bisa menjaga hatimu, karena perubahan Arkha yang sekarang disebabkan karena ia kehilangan ingatannya. Dia yang sebenarnya tidak pernah mencintaimu dan menerima anakmu sebagai darah dagingnya."

Mendengar itu seketika sesuatu yang menyesakkan mencengkeram hati Alena.

"Maaf aku harus mengatakan itu, aku hanya tidak mau kamu nanti terluka," sambung Haikal seraya mengemudikan mobilnya.

Seraya menunduk, bibir Alena tersenyum tipis. "Terimakasih sudah mengingatkan, tapi aku memang sudah tahu posisiku bahkan meski tidak diingatkan sekalipun."

Haikal menoleh, sementara Alena berpaling. Ia menangkap kesedihan di gesture tubuh wanita itu yang berusaha tidak diperlihatkan. Sebenarnya Haikal tidak sampai hati mengatakan kalimat itu, hanya saja ini demi kebaikan Alena sendiri. Kedekatan Alena dengan Arkha beberapa waktu ini membuatnya mencemaskan wanita itu dibanding kecemburuannya saat melihat kebersamaan mereka.

***

Di lobi kantor, Haikal menurunkan Alena. Ia menyerahkan kunci mobil kepada security lalu mengejar Alena yang berjalan mendahuluinya.

"Alena, aku minta maaf jika kata-kataku menyinggung perasaanmu," ucap Haikal saat berhasil mengejar langkah Alena dan menahan lengan wanita itu.

Alena mengedarkan pandangan pada para karyawan yang menatap mereka dengan penuh ingin tahu saat berjalan melewati keduanya. "Nggak apa-apa kok Pak, aku mengerti." Sembari mengurai senyuman, Alena berusaha melepaskan cekalan Haikal ditangannya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang