Bab 6

2.8K 440 16
                                    

"Tadi Arkha yang menelepon?"

Pertanyaan itu menyentak Alena, detik selanjutnya ia tersadar di sebelahnya duduk kini sudah terisi oleh nenek dari sang suami.

"Aku senang melihat Arkha kini sudah memperlakukan kalian dengan baik. Semoga hal itu tidak berubah meski ingatannya kembali nanti."

Alena melempar tatapannya pada sang putra yang kini tengah cekikikan bersama Haikal.

"Entahlah Nek, dia dulu begitu membenci kami. Kelak jika ingatannya pulih pun, kami akan kembali menjadi dua orang yang dibenci olehnya."

Tiba-tiba punggung tangan Alena ditepuk dengan lembut oleh wanita tua itu. "Kalau begitu nenek berdoa, supaya ingatan Arkha tidak akan pernah pulih selamanya supaya dia bisa terus memperlakukan kalian dengan baik."

"Mana boleh berdoa seperti itu Nek...."

"Kenapa tidak boleh? Itu demi kebaikan cucu dan buyut nenek. Lagipula, sudah seharusnya Arkha memperlakukan istri dan anaknya dengan baik, bukannya malah wanita itu."

Alena tertegun, mendadak ia teringat pada kedatangan Mika di pagi itu. "Waktu itu Mbak Mika datang kerumah, Nek."

"Ya, aku tahu."

Alena tidak ingin bertanya mengenai pengetahuan sang nenek. "Lena kasihan sama dia."

Sang nenek tertegun, sedari lama sebenarnya ia sudah mengetahui ketulusan hati dari menantunya itu. Saat itu, ia berkunjung ke kantor dan mereka bertemu didalam lift. Alena yang saat itu adalah karyawan baru tidak tahu jika ia adalah pemilik dari perusahaan itu. Wanita itu menyapanya dengan sopan dan bahkan saat penyakit asmanya kambuh, Alena dengan sigap menolongnya. Membawanya menuju ruang kesehatan dengan cara memapahnya dan dengan sabar mengurusnya disana. Sehingga ia berinisiatif memberinya hadiah akan tetapi Alena menolaknya. Alena masih tidak tahu jika yang ditolongnya itu adalah nenek dari bosnya dikantor.

Hari berselang, ia mulai mencari tahu tentang Alena. Dan memutuskan untuk menjodohkan Arkha dengan wanita itu, mengingat ia begitu tidak menyukai wanita pilihan dari cucunya itu. Mulanya Alena menolak, tapi setelah ia menawari bantuan untuk pengobatan ayahnya, Alena pun menerima. Dan ia semakin menyukai Alena semakin ia mengenal sosok istri dari cucunya itu.

"Kamu kasihan padanya, tapi sayangnya dia tidak pernah mengasihani kalian."

Alena menoleh dan memberi sang nenek tatapan sendunya.

"Dia bahkan tidak kasihan melihat putramu di abaikan oleh papanya kandungnya sendiri. Dan bahkan dia terus saja menikmati saat-saat itu. Dia tidak merasa bersalah telah menjauhkan seorang ayah dari anaknya."

Alena menunduk sedih, tak tahu harus menjawab apa. "Tapi itu adalah kesalahanku, disini aku lah yang menjadi orang ketiga didalam hubungan mereka. Dan Kenan yang malang harus mendapatkan imbasnya dari kesalahanku."

"Lena, mau siapapun yang lebih dulu ada dihidup Arkha tapi tetap kamu dan Kenan-lah yang lebih berhak mendapatkan perhatian dari Arkha. Wanita itu hanyalah orang lain didalam hubungan kalian."

Benar, yang neneknya ucapkan memang benar. Jadi seharusnya tidak ada lagi yang perlu ia risaukan.

Tak lama dari itu, tiba-tiba suara tangis Kenan terdengar oleh mereka. Bocah itu langsung menghambur kearah keduanya dengan berurai air mata.

"Nenek Om Ikal nakal." Kenan mengaduh.

"Wah cucu nenek memang diapain sama Om?" tanya sang nenek seraya memeluk Kenan yang masih menangis.

"Om Ikal mainnya curang, Kenan nggak mau lagi main sama Om," keluh Kenan seraya menunjuk Haikal yang menyengir lebar.

"Yah, masa jagoan gitu aja nangis. Cengeng banget sih."

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang