Bab 10

3.8K 399 38
                                    

"Lalu bagaimana jika ingatanmu kembali, Mas? Sesungguhnya aku bukanlah wanita yang kau cintai dan yang kau inginkan untuk ada di hidupmu. Lalu siapa yang akan menjamin jika nanti kau tidak akan kembali pada Mbak Mika jika ingatanmu pulih nanti?" Alena menatap Arkha sendu, kecemasan berpendar di kedua bola matanya.

Mata Alena membulat.

"Jika suatu saat ingatanku pulih dan aku mampu mengingat semuanya kembali, aku bersumpah tidak akan pernah kembali kesisinya. Dan aku akan berusaha keras untuk mengubur semua kenanganku dengannya. Dan jika itu masih kurang, maka aku akan mencelakakan diriku lagi agar Tuhan kembali mengambil ingatanku," tutur Arkha dengan dipenuh kesungguhan.

Alena kembali menetaskan air mata sebelum menunduk dalam. "Kamu tidak boleh mengatakan itu, Mas."

"Itu janjiku Alena." Arkha menggenggam kedua bahu Alena, membuat wanita itu menatapnya. "Karena mulai detik ini aku akan melakukan apapun untuk tetap berada disisimu dan juga Kenan, bahkan jika harus mempertaruhkan nyawa aku tidak keberatan asalkan aku bisa berada di dekat kalian."

Entah dorongan dari mana, tiba-tiba Arkha menyentuh dagu Alena sebelum mendekatkan wajah mereka hanya untuk menyatukan bibir.

Alena yang terkejut hanya dapat menutup kedua matanya saat Arkha memagut bibirnya. Mulanya ciuman itu terasa begitu lembut, lidah Arkha membelainya dengan pelan sehingga Alena terbuai. Kemudian segalanya berubah intens, semua terjadi begitu cepat. Arkha mendorongnya ke ranjang, lalu disusul oleh cumbuan pria itu yang seketika merenggut kesadaran. Jika di masa lalu, Arkha selalu mendesahkan nama Mika disepanjang penyatuan mereka, namun berbeda dengan kali ini yang terus menyebutkan nama Alena, seakan pria itu benar-benar menginginkannya. Setiap sentuhan dan juga cumbuan Arkha ditubuhnya membuat Alena melayang, begitu pun sebaliknya. Mereka bagai sepasang insan yang sedang dimabuk kepayang.

***

"Ma, Pa, kenapa Kenan nggak punya adik?" tanya bocah empat tahun itu saat ketiganya tengah sarapan.

Pertanyaan sang putra membuat Alena nyaris tersedak makanannya. Ia baru saja akan menjawab ketika Arkha menyela lebih dulu.

"Memangnya Kenan mau punya adik?"

Kenan mengangguk cepat tapi langsung berhenti saat melihat sang mama memelototinya dengan galak.

"Kalau gitu, Kenan minta sama mama, soalnya kalau papa yang minta mama kamu nggak mau ngabulin." Arkha terkekeh.

"Mas...." Alena memelototi suaminya itu.

"Kenapa? Memang benar kan yang aku bilang tadi?" Arkha menyengir tanpa rasa bersalah.

"Ya tapi...." Alena tak dapat melanjutkan ucapannya saat menyadari kebenaran atas ucapan Arkha.

"Mama kenapa nggak mau ngabulin permintaan papa?" tanya Kenan dengan tatapannya yang polos.

Tak menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya kepada sang putra, Alena pun membatu ditempat dengan wajah bersemu merah. Namun tak lama kemudian, jemarinya tiba-tiba digenggam oleh Arkha yang duduk di seberang meja.

"Apakah kedekatan kita beberapa bulan ini masih juga belum membuatmu yakin pada keseriusanku?" Arkha menatap lekat wajah sang istri.

Kata-kata Arkha berhasil menampar hati Alena. Hubungan mereka memang sudah jauh lebih membaik dari sebelumnya dan selama itu Arkha selalu memperlakukan dirinya dan Kenan dengan baik. Seharusnya tidak ada yang perlu ia khawatirkan lagi, mungkin sudah saatnya ia merencanakan kehamilan yang kedua. Selain karena mimpinya adalah memiliki banyak anak, juga agar Kenan tidak lagi kesepian di rumah.

Alena menatap wajah sang putra yang kini tengah memperhatikan mereka. Ia lalu menatap bergantian wajah Arkha sebelum menganggukkan kepalanya.

Mata Arkha seketika berbinar. "Apakah itu artinya...."

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang