PROLOG

160 13 11
                                    

"Kak Semesta ... ?" Saskara tidak pernah menyangka akan bertemu Semesta disini. Air mata yang terus mengaliri pipinya semakin deras saja merembas. Saskara tak sanggup menatap mata Semesta, ia menundukkan kepala dalam-dalam. Saskara takut Semesta memikirkan hal yang tidak-tidak ketika mereka bertemu, Saskara takut Semesta memandanginya sebagai---

"---Jangan nangis, Sa."

Pemikiran Saskara tentang Semesta yang beropini jika Saskara adalah perempuan yang tak baik pun lenyap. Bukannya tangisannya mereda, tangisan Saskara semakin kencang. Pada akhirnya, Saskara memilih menutup mulutnya sendiri menggunakan telapak tangan agar jerit tangisnya tak terdengar orang lain.

Bagi Semesta ... Tangisan Saskara seolah-olah menyiratkan akan penderita yang tak berujung, sesak yang terlalu menusuk, serta sebuah keputusasaan hidup. Binar mata yang dulunya selalu cerah bersinar itu ... Telah tiada. Sinarnya meredup tergantikan dengan semu malam. Benar. Malam yang dingin, malam yang mencekam, dan malam yang penuh oleh tangisan Saskara-nya.

Luka, lara, pilu, sakit ... Gumpalan rasa itu mampu membuat Saskara-nya berubah---berubah seratus delapan puluh derajat. Jika dapat meminta, apa Semesta diperbolehkan? Semesta hanya meminta tuk mengembalikan Saskara-nya yang dulu.

Semesta paham, ia egois. Egois karena meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa dirubah, dikembalikan, dan diperbaiki. Tapi ... Ia ingin Saskara yang setiap kali bertemu, tersenyum. Ia ingin Saskara yang bisa tertawa ringan tanpa beban. Ia ingin Saskara yang ceria. Ia ingin Saskara yang selalu terlihat baik. Semua yang Semesta inginkan saat ini adalah ... Tentang Saskara-nya. Itu saja.

"Saskara kotor, Kak. Saskara rusak. Hidup Saskara yang udah hancur, semakin hancur."

Tanpa persetujuan Saskara, Semesta merengkuh tubuh ringkih Saskara dalam dekapan hangatnya.

Perlahan namun pasti, tangan Semesta mengusap-usap punggung Saskara guna memberi perempuan itu sedikit ketenangan. Semesta ingin Saskara mengetahui jika gadis itu tlah bersamanya, semuanya akan baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Tidak perlu cemas. Tidak perlu takut.

Semesta mengerti maksud dari perkataan Saskara barusan. Saskara ... Perempuan itu---ah sudahlah, Semesta tak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri. Semesta memandangi Saskara lekat-lekat. Dipeluknya, Saskara masih menangis, bahkan kedua tangan Saskra ikut memukul-mukul dada Semesta seolah tengah melampiaskan rasa kesalnya.

"Apapun resikonya, saya yang bakalan nanggung semuanya, Sa."

"Saya disini, saya ada untuk kamu."

"Kita lewatin semua masalah ini sama-sama, ya?"

Berapa kalimat yang dilontarkan Semesta, membuat Saskara mendongakkan kepala. "Kak ..., " Saskara memanggil Semesta menggunakan suara seraknya, "jangan." Finalnya, Saskara tak memperbolehkan Semesta menanggung lukanya. Kenapa? Karena Semesta tidak seharusnya melakukan tanggung jawab itu. Semesta tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan ini. Semesta tak semestinya menyodorkan dirinya sendiri untuk menutupi celah yang orang lain perbuat.

Karena bagi Saskara, Semesta berada disini pun sudah lebih dari cukup.

.

To Be Continued

Saskara & Semestanya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang