Hari semakin sore, Anton dan Bima masih terlelap dalam tidur begitupun Ayu, Widya dan Nur. Sementara itu Yudha dan Wahyu memilih untuk berjalan-jalan di desa untuk mencari makanan, siapa tahu ada warung.
"Payung mu kui ra iso mbok tinggal wae po? (Payung mu itu nggak bisa ditinggal saja?)," Wahyu risih melihat Yudha yang membawa payung kemana-mana.
"Menowo udan (Jaga-jaga kalau hujan)," Balas Yudha.
"Terang ki lo, nek mendung lagi gowonen (Terang nih lo, nanti saja kalau mendung baru dibawa)," Desak Wahyu.
"Wes bacut digawa (Sudah terlanjur dibawa)," Balas Yudha dengan nada datar.
"Hah, koe ki pancen angel dikandani (Hah, kamu ini memang susah dibilangin)," Kesal Anton. "Tapi kon ngroso ra Yud, nek neng kene ra ono wong seng seumuran awakdewe? (Tapi kamu ngerasa nggak sih Yud, kalau di sini nggak ada orang yang seumuran kita?)," Wahyu tiba-tiba bertanya saat mereka sedang menyusuri jalan setapak desa.
"Paling do ngerantau (Paling pada merantau)," Kata Yudha.
"Mosok kabeh? Neng kene bahkan ra ono cah cilik (Masa semuanya? Di sini bahkan nggak ada anak kecil)," Wahyu masih belum puas.
"Koe wae seng gak eruh paling (Kamu aja kali yang nggak lihat)," Balas Yudha.
"Emang kon eruh? (Emang kamu lihat?)," Kata Wahyu.
"Ora (Tidak)," Balas Yudha dengan muka datar.
"Lha kui kon barang ya gak eruh (Lha itu kamu juga nggak lihat)," Kata Wahyu sambil menahan kesal.
Saat mereka asyik berbincang di jalan itu, tanpa sengaja Yudha dan Wahyu berpapasan dengan Pak Budi, salah satu warga yang kemarin mengantar mereka.
"Mas Yud, mau kemana?" Tanya Pak Budi dengan ramah.
"Mlampah-mlampah mawon Pak, menawi nemu warung (Jalan-jalan saja Pak, siapa tahu nemu warung)," Balas Yudha.
"Luwe to? Mampir omahku wae, ono panganan rodok akeh (Lapar ya? Mampir rumahku saja, banyak makanan di sana)," Kata Pak Budi.
"Wah hoo Pak, awakdewe tak mampir (Wah iya deh Pak, kita mampir ya)," Sahut Wahyu.
"Mboso o sitik, isin no sitik (Bahasa mu dijaga, malu sedikit dong)," Bisik Yudha sambil menyikut Wahyu.
"Hahaha, tak tunggu ya mas, omahku ono neng pojok kono (Hahahah, aku tunggu ya mas, rumahku ada di pojok sana)," Kata Pak Budi sambil menunjuk ke arah rumahnya.
Yudha dan Wahyu melihat ke arah rumah Pak Budi kemudian menganggukkan kepala. Pak Budi lalu berjalan duluan meninggalkan mereka, Yudha merasa tidak enak tapi Wahyu senang-senang saja.
"Kowe kui nek ditawari ngono i perkewuh o sitik, kelakuan og ratau dijogo (Kamu itu kalau ditawari seperti itu sungkan sedikit, kelakuan kok nggak pernah dijaga)," Omel Yudha.
"Halah rapopo, lagian dee dewe seng nawari (Halah nggak papa, lagipula dia sendiri yang menawarkan)," Bebal Wahyu.
Yudha memilih untuk diam saja, tidak ada gunanya menasehati manusia bernama Wahyu itu. Mereka lalu sampai di rumah bapak Budi, di sana mereka duduk di teras rumah sambil menyantap singkong goreng buatan Pak Budi. Saat mereka sedang enak-enak menikmati singkong itu, tiba-tiba dari jauh Yudha melihat ada sosok kakek-kakek mendekat ke arah rumah Pak Budi. Kakek itu berpakaian hitam dan berjalan agak membungkuk, Pak Budi yang mengenali kakek-kakek itu kemudian menyambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahasiswa Ketujuh KKN di Desa Penari
FanfictionWhat if, dalam cerita KKN di Desa Penari mereka tidak berangkat hanya berenam, melainkan bertujuh? Dan What if, kalau orang ketujuh ini punya kemampuan untuk menyelamatkan Ayu dan Bima? Cerita ini adalah sebuah Fan Fiction dari KKN di Desa Penari...