Sang Penjaga

146 9 0
                                    

Anton masih sibuk memperban Yudha, Widya dan Wahyu belum kembali dari kota sementara Nur sedang meminta penjelasan dari Ayu dan Bima.

"Sekarang kamu ceritakan! Apa yang sebenarnya terjadi? Kok bisa kamu seperti ini Bim?" Tanya Nur dengan nada membentak.

Ayu yang mendengarnya hanya bisa diam. Dia lebih teringat ucapan Nur tentang suara desahan misterius dari kamar Bima itu. Bukan Ayu yang bersama Bima saat di kamarnya, Widya juga tidak mungkin apalagi Nur, lalu siapa?

"Maaf Nur, kayaknya aku khilaf," Kata Bima sambil menundukan kepala.

"Gila kamu Bim, seenaknya cuma bilang Khilaf. Ini masalah sudah bukan masalah sepele, kita di sini itu tamu, kamu seenaknya bilang Khilaf. Bayangkan kalau warga tahu, kita semua bisa diusir. Kita masih bisa ngulang KKN tapi Mas Wahyu, Mas Anton sama Mas Yudha? Mereka bisa di DO kalau KKN ini nggak berhasil! Berengsek kamu!" Marah Nur.

"Nur, tolong! Jangan ceritain ini ke siapa pun. Aku mohon, gimana nanti reaksei orang kalau tahu ini," Kata Ayu sambil mulai menangis.

Bima hanya diam, dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang lebih besar. Tiba-tiba di sela perdebatan mereka itu, Anton keluar dari kamar Yudha.

"Gimana keadaan Mas Yud, Mas?" Tanya Nur.

"Luka bakarnya lumayan banyak, tapi untung belum sampai di tahap yang parah, yang mengkhawatirkan itu ternyata tulang rusuknya beberapa ada yang patah, kayaknya dia nabrak pohon. Sudah ku perban sebisanya supaya tidak gerak, kok dia bisa sampai jadi seperti itu?" Kata Anton.

"Kita juga nggak ada yang tahu, tiba-tiba kita lihat Mas Yud udah kayak gitu," Kata Nur.

Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, ternyata itu Widya dan Wahyu yang baru pulang. Kedatangan Widya dan Wahyu itu sepertinya di waktu yang salah, karena terlihat semua wajah sedang tegang. Nur sebenarnya ingin bertanya kenapa mereka bisa pulang selarut itu, namun dia sadar raut wajah Widya yang begitu letih. Wajah Widya seperti baru saja mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Semua orang lalu membantu mereka membawa keperluan yang tadi mereka beli.

"Lah, ki ngopo kok do tegang? (Loh, ini kenapa kok pada tegang?)," Tanya Wahyu.

"Nggak papa Mas, cuma pada capek," Jawab Nur.

Wahyu lalu dengan bersemangat menceritakan kejadian yang dia alami saat perjalanan pulang. Widya mendengarkan dengan raut muka yang kesal, sementara Wahyu sangat ceria dan bersemangat, saking semangatnya dia lupa untuk menanyakan Yudha yang jelas-jelas tidak ada di situ.

Wahyu bercerita kalau tadi sewaktu perjalanan pulang tiba-tiba motor mereka mogok. Untung mereka bertemu seseorang yang mau menolong mereka, tidak hanya itu mereka juga diajak ke acara pernikahan salah satu warga desa tetangga. Wahyu bahkan bercerita kalau dia melihat penari yang cantik dan jelita, kecantikanya melibihi perempuan paling cantik di kampus. Semua orang diam mendengar cerita Wahyu itu.

"Emang e ana desa lain po Mas? Sak ngertiku cedek kene kui ra ana desa neh (Memang ada desa lain Mas? Setahuku di deket sini tidak ada desa lain lagi,)," Sahut Bima.

"Kon kui! Wong diceritani kok ra percoyo, mau i tenan ana desa liyo, kon wae seng rung eruh (Kamu ini! Orang diceritain kok nggak percaya, tadi itu benar ada desa lain, kamu saja yang nggak pernah lihat)," Kesal Wahyu. "Tanya saja ke Widya," Lanjut Wahyu.

Namun Widya hanya diam saja dan tidak menjawab pertanyaan Wahyu. Wahyu menjadi semakin kelas, dia lalu membuka isi tasnya untuk menunjukan apa yang dia bawa dari hajatan tadi. Semua mata memandang Wahyu, mereka penasaran dengan benda yang mereka bawa. Namun ekspresi Wahyu yang bersemangat tiba-tiba berubah menjadi bingun.

Wahyu mengeluarkan sebuah bingkisan yang terbungkus daun pisang, Wahyu terlihat bingun karena dia tadi yakin bingkisan itu dibungkus kain. Wahyu pun gemetar, dia takut ternyata yang dikatakan Bima tadi benar. Wahyu kemudian secara perlahan membuka bungkusan itu, semua mata tertuju padanya. Tiba-tiba tercium bau anyir dan amis yang menyengat, semua orang yang ada di situpun menutup hidungnya.

Ternyata yang ada di balik bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih bersimbah darah. Wahyu kemudian melemparkan kepala monyet itu ke lantai, yang lain lalu mundur perlahan karena tidak tahan dengan apa yang mereka lihat. Wahyu terdiam, dia shock melihat itu, dia teringat kalau dia makan beberapa makanan di sana. Wahyu lalu muntah hebat, memuntahkan semua isi perutnya.

>>>

Sesudah kejadian itu, Wahyu merasa tidak enak badan. Dia lalu beristirahat di kamarnya. Hari itu sudah dua orang tumbang, Yudha yang ditemukan tidak sadar dengan banyak luka dan Wahyu yang mendapat terror kepala monyet. Nur merasa memang ada yang salah dengan rentetan kejadian ini. Semua kejadian seakan berfokus ke Widya dan orang yang sering berhubungan dengannya. Yudha dan Wahyu adalah teman sekelompok Widya, dirinya sendiri merupakan teman satu kamar Widya juga Ayu. Sementara Nur sebenarnya tahu kalau Bima menyimpan perasaan ke Widya, hanya Anton yang jarang sekali mendapat gangguan karena dia yang paling jarang berhubungan dengan Widya.

Malam itu, setelah memastikan Widya dan Ayu sudah tidur. Nur terbangun dan mengambil tas Ayu ke dapur. Nur merasa mungkin Ayu menyembunyikan sesuatu, dia lalu teringat percakapan Ayu dengan Bima tadi siang. Nur lalu mencari benda bernama Kawaturih itu di tas Ayu.

Nur kemudian membongkar isi tas Ayu di dapur, namun Nur tidak menemukan Kawaturih itu. Namun tiba-tiba tatapan Nur tertuju pada resleting depan di dalam tas itu. Nur lalu membukanya, seketika tercium aroma wewangian dari sana. Wewangian itu berbau sangat pekat, Nur lalu mengeluarkan isi dari kantong depan itu. Ternyata itu adalah sebuah selendang hijau yang mirip seperti yang dipakai oleh Sang Penari.

Nur kemudian merasa berat di bagian pundak, suasana lalu menjadi dingin dan mencekam. Nur merasa dia tidak sedang sendiri. Nur kemudian dikagetkan oleh seseoang yang masuk myibak gorden. Ternyata itu Widya yang lalu menatap Nur dengan tajam.

"Wid, kamu kenapa?" Tanya Nur.

Nur melihat Widya memiliki gelagat yang sangat aneh, caranya berjalan, caranya menatap sangat berbeda dari biasanya. Widya lalu duduk bersimpuh menatap Nur dengan tajam, dia lalu melirik selendang hijau yang ada di tangan Nur dan kemudian tersenyum kea rah Nur.

"Ojo mbok terusno ya nduk (Jangan kamu teruskan ya Nak), Suara Widya lebih besar dari biasanya. "Luwih apik, awakmu ora usah melok-melok, tak sarano awakmu ora usah melok-melok nang permainan iki (Lebih baik kamu tidak usah ikut campur, kusarankan kamu tidak usah ikut-ikut permainan ini)," Sahut Widya.

"Permainan?" Nur bingun.

"Uwes, aku ngajeni sopo seng ana neng mburi mu. Neng aku ra bakal segen nggo nyelokoi awakmu, nek awakmu terus melok-melok (Sudah, aku menghormati siapa yang ada di belakangmu. Tapi aku tidak akan segan untuk mencelakai kamu, jika kamu terus ikut-ikut)," Lanjut Widya

Widya lalu menunduk di depan Nur, seakan-akan menghormati Nur dan melangkah pergi. Badan Nur kemudian kembali terasa normal, beban berak di punggungnya seperti terangkat. Nur lalu segera membereskan itu smua lalu mengembalikan tas Ayu itu. Nur sedikit kecewa karena tidak menemukan Kawaturi itu namun selendang yang dia temukan itu membuat Nur penasaran. Nur kembali ke kamar dan mendapati Widya sedang terlelap tidur di kasur, firasat Nur tidak enak seakan merasakan marabahaya yang akan menimpa Widya. 

Mahasiswa Ketujuh KKN di Desa PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang