Besoknya, pagi-pagi sekali Widya, Ayu dan Nur sudah mendatangi posko posyandu tempat anak laki-laki tinggal. Ayu terlihat langsung asyik berbicara dengan Bima, Anton dan Yudha masih bersiap-siap di dalam pos dan semua pemandangan indah pagi itu tidak bisa mengalihkan pandangan Widya dari Wahyu yang sedari tadi wajahnya terlihat dongkol. Wajahnya muram dan tidak mengenakkan. Padahal tanpa memasang wajah seperti itu saja, wajah Wahyu memang tidak enak untuk dilihat.
"Kenapa tuh anak?" Tanya Widya kepada Nur.
"Katanya kemarin dia kalah mulu main kartu, dia juga kesel soalnya di tempat mereka tinggal nggak ada kamar mandinya," Sahut Nur.
"Loh, kasihan," Ucap Widya sambil menahan tawa.
Tidak lama kemudian, Pak Prabu datang dan membuat mereka semua mengerumuninya.
"Mas Yudha sama Mas Anton belum siap ya?" Tanya Pak Prabu saat melihat tidak ada Yudha dan Anton di sana.
"Tadi mereka masih siap-siap Pak. Biar saya panggil," Bima lalu berteriak memanggil Anton dan Yudha.
Tidak lama kemudian Anton dan Yudha keluar dari posyandu dengan membawa perlengkapan mereka. Hari ini ceritanya mereka semua hanya akan berkeliling sambil memetakan potensi desa. Semuanya hanya membawa buku dan alat tulis saja namun Yudha juga membawa payungnya yang besar itu, melihat itu Wahyu kemudian bertanya.
"Lah, kon ngopo gowo payung? (Loh, kamu ngapain bawa payung?)," Tanya Wahyu.
"Sopo ngerti ngko udan (Siapa tahu nanti hujan)," Jawab Yudha.
"Lah, wong terang ngene (Loh, orang terang begini)," Kata Anton sambil melihat langit dan matahari yang bersinar terang.
"Hahaha, Mas Yudha iki ketok wonge sedia payung sebelum hujan (Hahaha, mas Yudha ini kelihatan orang yang suka berjaga-jaga)," Kata Pak Prabu. "Baiklah, karena semuanya sudah berkumpul, agenda pagi ini kita keliling desa. Saya antarkan, mari," Lanjutnya.
Mereka semua lalu mengikuti Pak Prabu berjalan menyusuri rumah-rumah warga. Sepanjang perjalanan Pak Prabu banyak menjelaskan tentang desa termasuk beberapa permasalahan yang dihadapi oleh desa. Salah satu permasalahan itu adalah akses air, warga kesulitan mengakses air bersih karena jarak desa ke sungai yang agak jauh. Pak Prabu kemudian membawa mereka ke tempat yang bernama "Sinden" sebuah sendang air yang dulunya menjadi salah satu sumber air warga, namun kini airnya seret.
"Ini namanya Sinden. Dulu ini seperti sendang. Airnya banyak, tapi sudah lama tidak berfungsi," Terang Pak Prabu. "Saya ingin kalian jadikan ini sebagai fokus utama program kerja kalian, jadikan program kerja inti begitu. Coba cari cara bagaimana mengalirkan air sungai ke sendang ini, karena dari sini jarak sungai tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan dari rumah warga," Lanjut Pak Prabu.
Yudha mengamati dengan seksama Sinden itu, bentuknya unik dan tidak biasa, seakan-akan sudah dibuat dan dirancang untuk menampung banyak air di dalam tempat yang tidak terlalu besar. Saat tengah sibuk memikirkan beberapa kemungkinan cara mengalirkan air sungai ke Sinden itu, Widya kemudian memecah keheningan mereka dengan sebuah pertanyaan.
"Itu apa Pak?" Tanya Widya sambil menunjuk ke sebuah sesajen lengkap di ruang tanah kosong tidak jauh dari Sinden itu.
Pak Prabu menoleh ke arah Widya. "Itu cara warga kami untuk menjunjung adat dan istiadat, untuk menghargai leluhur," Terang Pak Prabu.
Yudha memperhatikan sesajen itu, memang dia cukup sering melihat beberapa daerah yang biasa mempraktekan hal semacam itu. Tidak menjadi masalah baginya jika hal tersebut masih ada, setiap orang punya kepercayaannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahasiswa Ketujuh KKN di Desa Penari
FanficWhat if, dalam cerita KKN di Desa Penari mereka tidak berangkat hanya berenam, melainkan bertujuh? Dan What if, kalau orang ketujuh ini punya kemampuan untuk menyelamatkan Ayu dan Bima? Cerita ini adalah sebuah Fan Fiction dari KKN di Desa Penari...