Satria Makai

173 8 0
                                    

Pagi-pagi sekali sebelum sarapan di saat langit masih biru subuh, Yudha pergi jalan-jalan ke Sinden. Dia melihat-lihat Sinden itu sekaligus menelaah cara yang pas untuk mengalirkan air ke dalamnya. Walau berusaha fokus, Yudha tetap terpikir Penari dan kejadian semalam yang menimpa Widya. Tiba-tiba dari belakang ada yang menyapa Yudha.

"Cah bagus!" Itu ternyata adalah Mbah Buyut. Tidak jauh di belakang Mbah Buyut, Pak Prabu mendampingi.

"Mbah, Pak Prabu," Sambut Yudha.

"Oh Mas Yudha sudah kenal Mbah Buyut?" Pak Prabu terkejut melihat Yudha yang sudah familiar dengan Mbah Buyut.

"Sudah Pak, kemarin sudah ketemu di rumah Pak Budi," Jawab Yudha.

"Oh begitu. Baru apa mas? Pagi-pagi sudah kesini?" Tanya Pak Prabu.

"Oh saya cuma lihat-lihat sambil mikir cara ngalirin air sungai kesini Pak, Pak Prabu sama Mbah Buyut sendiri sedang apa?" Yudha balik bertanya.

"Cuma jalan-jalan saja mas," Kata Pak Prabu.

"Kemarin, opo awakmu ketemu Penari iku? (Kemarin, apa kamu bertemu dengan Penari itu?)," Tanya Mbah Buyut tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat Pak Prabu dan Yudha sama-sama terkejut, raut wajah Pak Prabu pun berubah yang tadinya ramah dan santai menjadi tegang.

"Penari Mbah?" Pak Prabu tidak percaya.

"Hoo, Penari iku (Iya, Penari itu)," Kata Mbah Buyut.

Yudha melihat Mbah Buyut dengan tajam, terkejut kalau Mbah Buyut tahu apa yang dia alami semalam.

"Inggih Mbah (Iya Mbah)," Jawab Yudha.

Pak Prabu makin terkejut dengan jawaban yang Yudha lontarkan itu. Dari sorot matanya Pak Prabu juga merasa heran kalau Yudha dapat menjawab Mbah Buyut tanpa perasaan bingun dan takut.

"Prabu, rasah kaget, ndek wingi dee ngumbe kopi ku, rasane tawar jare (Prabu, tidak usah kaget, kemarin dia minum kopi buatanku, katanya rasanya tawar)," Mbah Buyut menenangkan Pak Prabu.

"Tawar mbah?" Pak Prabu belum percaya.

"Hoo, wong biasa mesti ngeroso kopi kui pahit, wong seng disenengi lelembut mesti ngeroso kopi kui manis, tapi wong seng ra biasa neng ya ora disenengi lelembut mesti ngeroso kopi kui tawar (Iya, orang biasa pasti merasa kopi itu pahit, orang yang disukai lelembut pasti merasa kopi itu manis, tapi orang tidak biasa dan tidak disukai lelembut mesti merasa kopi itu tawar)," Terang Mbah Buyut. "Cah Bagus, sakdurunge tambah adoh, awakmu iku asline sopo (Anak tampan, sebelum tambah jauh, kamu itu sebenarnya siapa?)," Lanjut Mbah Buyut.

Yudha nampak ragu namun dia sudah yakin kalau Mbah Buyut adalah orang yang bisa membantunya. Dia lalu membuka rahasianya kepada Mbah Buyut dan Pak Prabu.

"Kulo niku Satria Makai, keturunan ke 57 pewaris zirah Garo (Saya adalah Satria Makai, keturunan ke 57 pewaris zirah Garo)," Kata Yudha.

Pernyataan itu membuat Mbah Buyut dan Pak Prabu kaget.

"Tak pikir wes ra ana eneh Satria Makai neng dunia iki (Aku pikir sudah tidak lagi Satria Makai di dunia ini)," Kata Mbah Buyut.

"Satria Makai itu apa Mbah?" Tanya Pak Prabu.

"Satria Makai iku adalah gelar yang diberikan kepada kelompok kesatria pemberani yang menjaga batas alam ghaib dan alam manusia. Dulu dalam perang besar Jin, sebagian besar Satria Makai gugur dalam pertarungan, Satria Makai bertarung menggunakan zirah gaib yang terbuat dari logam yang mempunyai jiwa, tadi kamu bilang Garo?" Mbah Buyut menjelaskan panjang lebar.

"Inggih Mbah (Iya Mbah)," Jawab Yudha.

"Mbiyen aku moco, nek ana zirah serigala emas legendaris, jenenge Garo, kui awakmu pewaris e Cah Bagus? (Dulu aku baca, ada zirah serigala emas legendaris, namanya Garo, itu kamu pewarisnya Anak Tampan?) Tanya Mbah Buyut.

"Inggih Mbah, nangin sakniki zirah emas Garo pun mboten gadah sinar emas e, zirah niku saniki lemah (Iya mbah, tapi sekarang zirah emas Garo sudah tidak mempunyai sinar emasnya lagi, zirah itu sekarang lemah)," Kata Yudha.

"Jebul bener pikiranku, Prabu ngko gowonen Cah Ayu seng mau mbok ceritani kui nang omahku (Ternyata benar pikiranku, Prabu nanti bawalah anak cantik yang tadi kamu ceritakan itu rumah)," Kata Mbah Buyut.

"Inggih Mbah, (Baik Mbah)," Jawab Pak Prabu.

"Mbah, sebenarnya apa yang terjadi pada Widya dan Nur teman saya itu Mbah?" Tanya Yudha.

"Aku urung mudeng nek seng koncomu Widya kui, tapi koncomu seng jengene Nur kui jebul ndue kodam, kodam e dee ora disenengi karo lelembut desa kene. (Aku belum tahu kalau temanmu yang Widya itu kenapa, tapi temanmu yang bernama Nur itu ternyata punya pelindung gaib, pelindungnya itu tidak disukai oleh lelembut desa sini)," Cerita Mbah Buyut. "Sek paling tak wedeni kui, nek koncomu seng Widya kui jebule getih anget, aku wedi dee di incer penari iku (Yang paling aku takutkan itu, kalau temanmu yang Widya itu darahnya hangat, aku takut dia diincar oleh Penari itu)," Lanjut Mbah Buyut.

Yudha paham maksud Mbah Buyut, getih anget adalah sebutan bagi mereka yang punya darah yang disukai oleh bangsa lelembut dan gaib, orang seperti Widya biasanya akan diincar atau diikuti oleh banyak mahluk gaib.

"Cah Bagus, awakmu rasah mikir kabotan, aku ngko ya ngewangi gen konco-konco mu ora diganggu, tenang o pikirmu (Anak tampan, kamu tidak usah berpikir terlalu keras, aku nanti juga membatu supaya teman-temanmu tidak diganggu, tenangkanlah pikiranmu)," Kata Mbah Buyut sambil menepuk pundak Yudha.

Pak Prabu kemudian juga mendekat dan menepuk pundak Yudha, Pak Prabu seakan tahu pikiran dan rasa tidak beraturan di hati Yudha saat ini.

"Ojo ditanggung dewe Mas, (Jangan ditanggung sendirian mas)," Kata Pak Prabu.

"Saiki aku tak balek sek, ngko Cah Ayu kui ter no neng omahku ya, Prabu (Sekarang aku pulang dulu, nanti Anak Cantik itu antarkan ke rumahku ya, Prabu)," Kata Mbah Buyut.

"Inggih Mbah (Iya Mbah)," Jawab Pak Prabu. "Mas Yudha nanti tolong disampaikan ke Mbak Widya ya," Lanjut Pak Prabu.

"Baik Pak," Balas Yudha. 

Mahasiswa Ketujuh KKN di Desa PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang