Ancaman

153 10 0
                                    

Sesampainya di Posko, Yudha dan Wahyu dikejutkan dengan banyaknya warga yang berkumpul di sana.

"Walah, rame men ana opo kui (Walah, ramai sekali ada apa ya itu)," Celetus Wahyu.

Yudha dan Wahyu kemudian segera mendekati posko mereka itu. Di sana ramai orang sedang berkumpul di teras luar. Ada beberapa bapak-bapak tani, mereka membawa celurit dan parang. Widya dan Ayu duduk menemui mereka ditemani oleh Pak Prabu. Suasana tegang dan salah paham mewarnai kejadian siang itu. Yudha dan Wahyu lega melihat Ayu ada di sana, tandanya dia tidak pergi Tapak Tilas.

"Tenan Pak, mau iku ana ulo, neng kok saiki gak ono ya (Benar Pak, tadi itu ada ular, tapi sekarang kok tidak ada ya)," Kata salah satu bapak-bapak itu.

"Mbak Widya, apa benar tadi ada ular?" Tanya Pak Prabu pada Widya.

"Tenan Pak! Mau i ana (Benar Pak! Tadi itu ada)," Bapak itu masih bersikeras.

"La mau i pie to Pak kok iso neng pos e arek-arek terus nyawang ula? (La tadi itu ceritanya gimana to Pak, kok bisa ke posnya anak-anak terus lihat ular?)," Tanya Pak Prabu.

Bapak itu akhirnya bercerita kalau tadi saat dia hendak berangkat ke sawah, dia melihat ada seorang Penari yang mengenakan selendang hijau, berjalan anggun lalu masuk ke dalam posko lewat pintu dapur. Yudha yang mendengarkan cerita itu diam dan waspada, Sang Penari itu muncul lagi, kali ini saat Widya sedang sendirian. Bapak itu lalu melanjutkan ceritanya, dia bilang kalau dia bingun melihat perempuan itu karena dia hapal betul satu per satu peserta KKN, tapi dia tidak pernah melihat perempuan itu. Bapak itu lalu mengikuti perempuan itu, dia berusaha mengintip ke lubang rumah, saat dia mengintip, dia melihat ular yang sangat besar.

Pak Prabu mendengarkan cerita itu dengan seksama, namun untuk menyingkirkan segala kesalahpahaman dan juga rasa takut dari Widya dan Ayu yang saat itu ada di rumah, Pak Prabu akhirnya menyatakan kalau bapak itu cuma salah lihat saja. Akhirnya permasalahan dengan bapak-bapak itu beres dan mereka pun pulang. Pak Prabu kemudian memanggil Ayu dan Nur untuk diajak bicara, sementara Widya disuruh beristirahat saja. Yudha, Wahyu dan Anton memilih mengobrol di teras depan sambil asyik menyantap bakwan jagung.

Agak lama sampai matahari terbenam, Ayu dan Nur akhirnya pulang. Ayu nampak kesal dan masuk dengan membuka pintu dengan keras. Sementara Nur berjalan lemas di belakangnya. Wahyu, Yudha dan Anton menatap Ayu dengan keheranan, Nur kemudian memilih duduk bersama mereka bertiga.

"Ayu lapo Nur? (Ayu kenapa Nur?)," Tanya Anton.

"Gak popo (Nggak papa)," Nur sedang malas menjawab pertanyaan. "Oh iya, Mas Yud karo Mas Wahyu disuruh ke rumah Pak Prabu," Lanjut Nur.

"Saiki? (Sekarang?)," Tanya Wahyu.

Nur hanya mengangguk lemas. Wahyu dan Yudha pun bergegas ke rumah Pak Prabu. Benar, di sana Pak Prabu nampak sudah menunggu Yudha dan Wahyu.

"Mas Yudha, Mas Wahyu, besok ke kota ya," Kata Pak Prabu.

"Ngapain Pak?" Tanya Wahyu.

"Kemarin Mbak Ayu mengajukan beberapa keperluan, banyak ternyata yang tidak bisa di dapat di sini, jadi harus ke pasar. Satu lagi adalah ke kantor pos, Mbak Ayu kemarin juga bilang harus mengirim laporan perkembangan KKN ke Kampus," Kata Pak Prabu. "Nah, karena pasar sama kantor pos itu arahnya berlawanan, maka besok Mas Yudha sama Mas Wahyu berangkat sendiri-sendiri naik motor, saya sudah pinjamkan motor satunya ke Pak Budi," Lanjut Pak Prabu.

"Berarti besok kami berangkat sendiri-sendiri gitu Pak?" Tanya Yudha.

"Iya, seperti yang tadi saya bilang, letak pasar dan kantor pos itu mentang agak jauh, jadi daripada satu motor nanti takutnya bisa-bisa pulang terlalu sore," Kata Pak Prabu.

Mahasiswa Ketujuh KKN di Desa PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang