tiga

60 7 1
                                    

Sangat mudah mengurus masalah yang ditimbulkan oleh Watanabe Haruto jika saja lelaki itu mau menyebutkan namanya. Namun Haruto tetap bungkam dan Rei secara tidak terduga mengurus semuanya tanpa diminta sehingga mereka berakhir damai dan bisa pulang.

"I dont ask you." Kata Haruto setelah mereka akhirnya keluar dari kantor manajer dan kembali ke parkiran bersama. Rei menyeringai saat ia berhenti berjalan dan menatap lelaki itu, "Is it another words of thank you?"

Rei mungkin tergolong tinggi dibanding gadis-gadis pada umumnya namun ia tetap kelihatan kecil jika berhadapan dengan Haruto. Apalagi ketika lelaki itu mengikis jarak di antara mereka dan menunduk.

"Gue nggak meminta lo mengurus semuanya."

"Karena lo nggak mau ketahuan bokap lo habis buat masalah?"

"Oh, malah itu rencana gue dan lo baru saja menghancurkannya."

"Boy, lemme tell you something." Rei tersenyum sinis dan membalas, "saat gue melihat lo di dalam mobil tadi, lo nggak kelihatan sengaja menabrak pagar itu."

"Lo nggak tahu apa-apa tentang gue." Sergah Haruto dengan kening yang tertekuk dalam tidak terima. "Hanya karena kita mengobrol tadi, bukan berarti lo bisa masuk ke dalam hidup gue dan ikut campur ini itu."

"I'm sorry if i crossed the line. But i just symphatize you." Ujar Rei dengan cepat dan jujur. Ia kemudian memutar kedua bola mata setengah tersinggung. "Gue nggak menyangka niat baik gue malah jadi disalahartikan begini."

Haruto diam saja sampai ia terhuyung ke depan dan menjatuhkan kepalanya di bahu kiri Rei yang terbuka. Suhu tubuh lelaki itu mengejutkan Rei, karena setelahnya hanya udara panas yang menerpa kulitnya.

Jemari Rei terangkat menyentuh sekitar wajah Haruto dengan punggung tangan dan berujar. "Lo demam. Lo mau pulang sendiri dengan keadaan begini?"

"Oh, still isnt your business." Tegas Haruto keras kepala meski tubuhnya bereaksi sebaliknya. Rei mendecak dan menyahut kesal.

"Fine! If you dont ask any help i cant help you." Tukas Rei yang bersiap mendorong tubuh Haruto menjauh darinya. Namun ia berakhir tidak tega dan menjadi mengambil alih kunci mobil lelaki itu dari kepalan tangannya yang melemah.

"Patah hati ternyata bisa bikin orang jadi begini ya?" Sungut Rei yang susah payah membawa Haruto ke dalam mobil lelaki itu dan memasangkan sabuk pengaman dengan baik di kursi belakang sementara ia mengambil tempat di balik kemudi.

"Lo ingat alamat lo?"

Haruto tidak menjawabnya sama sekali. Jadi Rei berkata kepada dirinya sendiri. "Kalau dia habis kecelakaan dan demam begini bukannya gue harus membawanya ke rumah sakit?"

"Jangan. Gue bisa beneran mati kalau ke sana."

Rei menoleh ke belakang dan menyahut, "Kalau begitu di mana alamat rumah lo? Lo pasti masih cukup sadar buat mengingatnya kan?"

"Benar. Tapi gue nggak bisa memberitahukannya kepada orang asing." Tegas Haruto dibalas umpatan Rei. Namun lelaki itu perlahan mulai menggigil dan meringkuk di tempatnya. Rei merutuki kelakuan kurang ajarnya yang satu itu dan ia memilih melajukan mobil range rover biru tua itu menjauh lebih dulu dari kelab.

"I can call 911 if you kidnapped me."

"Dang. Gue bakal nyeburin lo ke sungai han kalo lo kebanyakan omong, dude!"

Haruto tidak lagi bersuara setelahnya. Entah karena demamnya yang menguras tenaga atau karena ancaman Rei berhasil menakutinya.

Rei sama sekali tidak berniat membawa Haruto ke apartemennya, tapi ia tahu setelah ia tidak dapat menghubungi Wonyoung sama sekali karena gadis itu sedang dalam perjalanan menuju Beijing ia nyaris berada di jalan buntu.

Pada akhirnya Rei menepi sebentar untuk mengecek apakah ia bisa menghubungi teman lelaki itu lewat ponselnya yang barangkali ada di saku celana, namun lelaki itu dengan cepat meraih pergelangan tangannya dengan keras dan menatap tajam.

"Are you going to rape me?"

"Fuck off." Umpat Rei tepat di hadapan Haruto dengan kesal karena selain dituduh ia juga tidak menemukan ponsel lelaki itu. Ia menepis tangan Haruto dan berakhir bertolak pinggang, "Apa lo punya teman? Seenggaknya satu orang aja supaya gue bisa melempar lo kepada dia."

"Ada. Jeongwoo."

"Good. Berapa nomornya?" Sahut Rei yang segera beralih mengambil ponselnya dan bersiap mengetik. "Kosong... kosong.."

"Oke?"

Rei masih menunggu sambil menatap layar ponselnya sebelum ia mendongak dan melihat lelaki itu sudah terlelap dalam tidurnya sekarang. Selain itu, suhu tubuhnya pun terasa semakin tinggi.

Gadis keturunan Jepang itu tentu saja mengumpat dan melempar ponselnya ke jok dengan frustasi. Sehingga ia memutuskan kepada dirinya sendiri, rumah sakit atau tidak sama sekali.

Rei pikir ia jauh lebih bisa menoleransi kemarahan lelaki itu yang sudah tidak sadarkan diri sekarang bila membawanya ke rumah sakit daripada mengurusnya sendirian di apartemennya.

Lagipula jarak tempuh dari rumah sakit tiga kali lipat lebih dekat daripada ke apartemen milik Rei jika dihitung dari tempat kelab malam berada.

"I'm gonna kill you tomorrow." Gerutu Rei yang sudah melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat.

Ide tentang memarkir mobil besar itu masih tidak terlalu sulit untuk dilalui, bagi Rei cobaan yang paling menguras tenaga adalah membawa Haruto susah payah jika saja para perawat tidak membantunya.

Tubuh lelaki itu besar sekali seperti raksasa, dan sekarang Haruto benar-benar kehilangan 80% kemampuannya untuk membawa diri sehingga perjalanan mereka terasa berkali lipat lebih lama andai saja Rei benar-benar membawanya ke apartemen.

Jujur, ini bukan pertama kalinya Rei mengurus orang sakit. Tapi ini pertama kalinya ia mengurusi laki-laki asing yang baru dikenalnya kurang dari dua puluh empat jam.

Pada akhirnya Rei berhenti memikirkan alasannya repot-repot membantu lelaki itu sekarang dan memilih tidur di sofa dengan tubuh meringkuk seperti kucing di dekat bangsal Haruto.

B; rei • haruto (fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang