"So you run away from home for two years but now you live with your father."
Mrs. Kim berkata kepada putri satu-satunya yang mengunci mulut rapat ketika mereka memilih restoran ramen di dalam Pusat Perbelanjaan Eunbi—tempat mereka bertemu tadi. Restoran ini adalah tempat favorit mereka sebelum dua tahun terburuk itu datang. Ia melihat Rei yang hanya menatapnya dan mengabaikan makanan di depan mereka.
"Kenapa nggak dimakan?" Mrs. Kim bertanya lalu ia menyuap sesendok kuah ramen tersebut ke dalam mulutnya. "Kamu paling suka makan di sini dulu."
"Mama benar." Rei menyahut. "Tapi Mama melewatkan detail terpentingnya. Aku menyukai tempat ini ketika keluarga kita masih bersama. Dulu, ketika keluarga kita masih bersama. Aku bukan hanya menyukai tempat ini. Aku menyukai banyak hal, dan sekarang aku membenci semuanya."
"Kamu merajuk lagi." Komentar Mrs. Kim sebelum meremas tengkuknya sendiri dan Rei tahu ibunya hanya mencoba untuk tidak terlalu merasa bersalah. "Bukannya sekarang kamu sudah besar? Kenapa kamu masih terjebak di masa lalu dan mengharapkan semuanya kembali seperti semula?"
"Because all this pain is holding me back." Jawab Rei dengan datar dan ia akhirnya mengambil sendok untuk memulai makan.
"Apa kamu nggak jijik?" Tanya Mrs. Kim dengan nada mencemooh dalam suaranya. "Kamu makan di meja yang sama dengan seorang pelacur."
Rei mengeratkan pegangannya kepada sendok karena ia tahu ibunya sengaja mengatakan hal tersebut. Ibunya ingin ia sadar kalau ia bukan lagi seseorang yang bisa dijadikan panutan seperti dulu. Ibunya telah berubah, jadi jangan mengharapkan apapun lagi, itu pesannya.
"Apa tujuan Mama datang lagi ke negara ini? Aku rasa itu bukan sekedar karena Mama ingin menemui aku. Mama nggak suka hal yang sia-sia. Itu sebabnya ketika aku menyusul ke tempat Mama berada, Mama mengusir aku."
"Apa itu benar?" Mrs. Kim menyuap ramennya sebelum memperjelas pertanyaannya. "Apa Papa kamu mengirim mata-mata untuk mengawasi kamu selama dua tahun terakhir agar tidak jadi sepertiku?"
Wajah Rei mengeras dan rahangnya menjadi sangat sakit untuk dipakai bicara. "Who's telling you?"
"Kamu hanya perlu menjawabnya." Mrs. Kim melirik bagaimana tangan putrinya terkepal sangat erat di atas meja. "Apa lelaki brengsek itu benar-benar melakukannya?"
"Itu bukan urusan Mama." Rei menggigit bagian dalam pipinya lagi sampai berdarah. Seperti hal itu adalah kebiasaannya agar tidak menangis layaknya orang bodoh. "Malam itu, Mama yang bilang kalau kita hanya harus mengurusi hidup masing-masing. Jadi apapun yang Papa lakukan kepadaku. Itu sama sekali bukan urusan Mam—"
"THEN STOP CALLING ME WITH THAT NICKNAME!" Potong Mrs. Kim dengan marah. Wajahnya sudah memerah dan ia tidak peduli suaranya menarik perhatian orang-orang di sekeliling mereka. "Apa kamu pikir aku bisa melakukannya kalau kamu masih menganggapku ibumu?"
"Kamu bertingkah seolah aku masih sama, tapi pada kenyataannya tidak begitu. Aku bukan lagi ibu yang baik seperti yang kamu tahu dan kamu harusnya mengerti kalau aku adalah ibu yang buruk."
"Aku akan melakukannya. Aku akan belajar melakukannya mulai dari sekarang. Jadi, Anda tidak perlu repot-repot—" Mrs. Kim menepis dengan cepat airmatanya yang mengalir sebelum bangkit dari duduknya dan pergi tanpa menunggu Rei menyelesaikan kata-katanya.
Rei tidak menangis. Ia berhasil menahannya. Ia hanya perlu menahannya sedikit lebih lama dan menjauh dari keramaian ini secepatnya.
Pada akhirnya, ia meninggalkan mobil di parkiran dan pulang ke apartemennya dengan taksi dan terus menahan gejolak menyakitkan tersebut dalam dadanya.
Rei lebih benci mengetahui kalau wanita itu masih memedulikannya dibanding ketika wanita itu membuangnya. Rei benar-benar membencinya dan ia hanya berpikir bagaimana caranya sampai ke apartemennya dengan cepat karena berlama-lama di kapsul besi yang berhenti karena jalanan yang macet ini semakin membuatnya sesak.
Rei turun dari taksi itu meski tujuannya masih cukup jauh untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen. Rei menepi ke dekat pohon, berusaha menyingkirkan kenangan-kenangan masa lalunya, berusaha menyingkirkan wajah Papa, Mama, dan juga Ni-ki yang entah mengapa muncul lagi.
Rei pikir ia bisa menahannya. Ia benar-benar berpikir ia bisa menahannya sampai seseorang menarik tangannya dengan cepat diikuti klakson mobil yang berulang.
"NOW, YOU WANNA DIE?!"
Rei melihat sepasang mata yang tengah menatapnya marah dan mengomelinya karena ia hampir menyeberangi jalan raya ketika lampu pejalan kaki baru saja berubah merah. Lelaki itu menyebutkan betapa bahaya-nya yang Rei lakukan namun pikiran Rei tidak sedang dalam tempatnya.
Rei pikir ia bisa menahannya. Ia masih berpikir seperti itu.
Namun detik berikutnya, tangisnya sudah pecah seperti anak kecil. Rei menangis dengan keras dan membuat omelan lelaki itu berhenti disusul wajah piasnya.
"I'm sorry." Watanabe Haruto jarang meminta maaf kepada siapapun. Tapi setelah ia bertemu dengan wanita itu, ia selalu mengucapkannya tanpa sadar. "I shouldn't have scolded you like this."
Rei membiarkan Haruto membenamkan wajahnya ke dalam dadanya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain melingkari bahu Rei erat. Ia tidak lagi mengoceh selagi Rei masih terisak dengan sangat keras seolah menumpahkan semua yang sudah ia tahan dari tadi.
...
...
Mr. Naoi tahu kalau mantan istrinya sedang berada di negara ini dan ia juga tahu kalau wanita itu baru saja mengajak putri mereka makan siang di restoran ramen favorit mereka dulu.
Pilihan yang egois. Batin Mr. Naoi yang kemudian mencemooh pikirannya sendiri. Memang sejak kapan wanita itu tidak egois?
Mr. Naoi lalu menemukannya di sana sedang berdiri di jembatan sambil menatap sungai Han. Entah apa yang sedang ia pikirkan, mungkin ia berniat menenggelamkan dirinya lagi seperti dua tahun yang lalu—dua tahun yang lalu yang meninggalkan trauma bagi putri mereka.
Mantan istrinya adalah wanita keras kepala dan tangguh. Wanita itu tidak pernah menangis bahkan ketika Mr. Naoi dengan jujur menceritakan perselingkuhannya. Wanita itu sendiri yang mengajukan gugatan cerai sebelum terbang ke Jepang karena ia membuat wanita itu membenci negara yang menjadi rumahnya.
Namun semakin ia mendekati wanita itu, Mr. Naoi melihat bagaimana rapuh dan terlukanya wanita itu hari ini. Wanita itu menangis dalam diam dan meskipun ia menepis air matanya berulang kali, air matanya tetap menetes.
"Apa kamu akan melompat seperti waktu itu?" Mr. Naoi membuat mantan istrinya menyadari keberadaannya dan meski wanita itu membuang muka untuk menghapus air matanya, ia sudah terlanjur melihat semuanya, dan mengatakan hal menusuk itu kepadanya dengan sengaja. "Kalau kamu melompat sekarang, tidak akan ada yang menolong kamu. Rei tidak ada di sini."
Mrs. Kim tersenyum sinis. Ia menunjukan wajah arogannya ketika berhadapan dengan mantan suaminya. Tidak ia sadari sama sekali kalau lelaki itu sedang mengamati kedua matanya yang sembab.
"Aku tentu saja akan melompat lagi kalau aku tidak menyadari keputusanku mempercayai kamu untuk menjaganya adalah hal yang bodoh. Aku tahu dia kabur dari rumah selama dua tahun terakhir dan kamu mengirim mata-mata hanya untuk mengawasinya."
"Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran kamu." Kata wanita itu. "Apa itu yang kamu maksud akan mengurusnya dengan baik? Kamu memperlakukan dia seperti tahanmu, bukan putri kamu."
"Apa yang kamu bicarakan?" Mr. Naoi menyeringai tidak habis pikir. "Kamu yang meninggalkannya dan bodohnya dia mengejar kamu. Kamu tidak bisa berpikir dengan sombong karena apapun yang terjadi, hidupnya bersamaku lebih baik daripada hidup di rumah pelacur sepertimu."
Satu tamparan. Hanya dengan satu tamparan keras dan Mr. Naoi sadar, ia tidak menyesali keputusannya meninggalkan wanita itu.
"Aku berusaha. Sangat keras. Agar dia tidak menjadi seperti kamu."
Mr. Naoi meyakini hal yang sama selama dua tahun terakhir dalam hidupnya. Ia meyakini kalau semua masalah ini berasal dari wanita itu.
Hanya wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
B; rei • haruto (fanfiction)
Fanfiction"Do we look like a butterflies?" - 2022 by sweetjjie