dua puluh empat

42 2 0
                                    

Haruto membawa Rei ke villa pribadi milik keluarganya di Namhae, dan ketika sampai di sana, hujan sudah turun. Haruto membangunkan Rei dengan cara menepuk bahunya pelan namun berulang kali sementara tangannya yang lain mencari payung yang bisa dipakai di dashboard mobil wanita itu walau hasilnya nihil.

Rei menggumam sebentar sebelum menoleh ke sekeliling. "Kita udah sampai? Di mana?"

"Namhae."

Rei melotot spontan dan melirik sekitarnya lagi. "Lo benar-benar menculik gue kalo begini caranya!"

"Kan lo sendiri yang nggak keberatan diculik." Sahut Haruto tak ambil pusing. "Lo nggak punya payung ya di mobil ini?"

"Nggak. Baru aja gue turunin tadi pagi."

"Mau nerobos hujan?"

"Hujan-hujanan?" Sahut Rei dengan semringah. Haruto mengangkat alisnya bingung namun ia tetap mengangguk sebagai jawaban. "Iya, karena kita nggak payung. Tapi kalo lo mau nunggu..."

"Nggaklah!" Kata Rei yang langsung melepas sabuk pengamannya. "Kemana kita mau pergi?"

"Villa keluarga gue. Pintu masuknya ada di tangga paling atas, jadi kita harus lari sambil hati-hati karena cukup licin. Alangkah baiknya lo tetap di dekat gue. Paham?"

"Paham."

Haruto kemudian mematikan mesin mobil sebelum memberi instruksi supaya mereka keluar bersama-sama. Kedua orang itu berlari kecil menaiki tangga, dan mencegah ada yang tergelincir, Haruto mengulurkan tangannya kepada Rei untuk digenggam.

"Ini pertama kalinya gue mandi hujan setelah sekian lama!"

"Iya, tapi kita nggak boleh lama-lama kehujanan. Lo bisa sakit lagi! Lo baru aja demam tinggi kemarin malam!"

Rei tertawa, dan menyahut asal. "Gue kan punya lo!"

Haruto merutuki dirinya yang terkejut karena kata-kata asal yang dikeluarkan oleh wanita itu. Jadi ia mempercepat langkahnya sehingga mereka bisa langsung masuk ke dalam villa dan membuat terkejut penjaganya yang buru-buru keluar saat mendengar bel.

"Tuan Muda, ada apa sampai datang tanpa pemberitahuan?"

"Saya jelaskan nanti Pak Kim." Ujar Haruto yang langsung meneduh di depan pintu masuk. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya keluar membawakan sepasang handuk untuk mereka buru-buru. "Kenapa mendadak sekali Tuan Muda? Kamarnya belum sempat Bibi rapihkan."

"Bibi Park tidak perlu repot-repot membersihkan semua kamarnya. Kami cuma datang berdua. Ada satu kamar yang bersih saja sudah cukup untuk Rei, saya bisa tidur di sofa. Lagipula kami cuma menginap satu malam."

Pandangan Bibi Park, wanita paruh baya tersebut, kini berpindah ke arah jari-jemari itu saling bertaut. Bibi Park mengerjap dan beralih menyapa Rei yang cuma bisa menggigil dibalik tubuh besar Haruto sambil mengamati hujan di luar.

"Kalau begitu ayo masuk, Bibi akan siapkan pakaian ganti dan air hangat untuk mandi kalian. Hawa di luar sangat dingin."

Haruto membawa Rei masuk dan ia membalut tubuh wanita itu dengan handuknya lagi sebelum menangkup wajahnya untuk menyeka bulir-bulir air dari wajahnya.

"Lo bikin gue takut lagi." Celetuk Rei sambil menatap lurus Haruto yang justru menanyakan hal lain. "Apa masih dingin?"

"Nggak. Di sini hangat."

Pandangan Haruto kini berpindah saat ia mengambil kedua jemari Rei untuk melihat telapak tangannya yang langsung berkeriput. "Okay. Kalau kedinginan bilang."

"Interior yang dipegang sama keluarga lo nggak pernah mengecewakan." Ucap Rei setelah melihat ke sekeliling dengan takjub. Haruto belum sempat membalas karena setelahnya Bibi Park kembali muncul. "Airnya sudah siap."

"Lo bisa mandi duluan." Kata Haruto yang mendorong kecil bahu Rei agar mengikuti langkah kaki Bibi Park menuju kamar utama yang memiliki kamar mandi sendiri.

Haruto tidak langsung mengikutinya karena ia memastikan tidak ada mata-mata yang mengikutinya sampai ke sini. Ia sudah mengecoh mereka di sepanjang jalan, namun untuk berjaga-jaga, ia meminta Pak Kim untuk memperketat keamanan sehingga tidak ada seorang pun yang menerobos masuk. Setelah melakukan semua hal yang ia bisa, Haruto menyusul ke kamar utama dan memakai bathrobenya selagi menunggu Rei mandi.

Suara gemericik terdengar dari dalam, dan Haruto berjalan menuju stop kontak untuk mencharger ponselnya yang mati total. Ada banyak pesan dan panggilan tidak terjawab dari J, ayahnya, ibunya, dan Jeongwoo.

Haruto memilih untuk tidak menghubungi kembarannya karena J pasti akan mengoceh panjang lebar, ibunya juga akan bereaksi tidak jauh berbeda dan Jeongwoo akan mengomel karena kedua wanita itu pasti menginterogasinya untuk menanyakan di mana Haruto berada.

Jadi pilihannya jatuh kepada sang Ayah. Haruto menelepon lelaki itu dan tidak sampai dering kedua panggilannya terjawab.

"Selamat."

"Halo, Pa."

"Kamu membuat pilihan tepat dengan menghubungi Papa." Ujar ayahnya dengan nada kalem tanpa maksud menyindir sementara Haruto menggaruk dahinya bingung. "Maaf aku nggak pulang ke rumah malam ini."

"Kali ini menginap di mana?"

"Namhae."

"Hanya sendirian atau bersama seseorang?"

"Bersama seseorang."

"Orang yang sama yang membuat kamu mengurus demamnya kemarin?"

"Ya."

"Pacar baru kamu?"

"Bukan."

Papa diam sejenak sebelum menyahut. "Kenapa nggak dipacari?"

"Papa, itu bukan pertanyaan titipan dari Mama atau J kan?"

"Oh, dia sadar." "Itu karena Papa terlalu kentara." "Benar. Harusnya kamu nggak terdengar seperti robot!" "Kalau begitu tanya saja sendiri, jangan menyuruh-nyuruh."

Haruto mendecak sebal saat mendengar perdebatan konyol di seberang sana. Kini ia bisa mendengar suara ibunya bertanya. "Apa kamu bersama Rei?"

"Mama, kita sepakat buat nggak menyebut namanya." "Oopsie, Mama lupa." "Cepat berakting pura-pura nggak tahu kalau begitu."

"Aku bisa mendengar suara kalian kalau bisik-bisiknya sekencang itu." Sungut Haruto yang langsung menoleh saat pintu kamar mandi terbuka. Rei keluar sambil mengeringkan rambutnya dan memakai piyama, gadis itu mengedikan dagu dengan tatapan bertanya sementara di seberang sana suara krasak-krusuk mereka kembali terdengar.

"Oh, apa itu Rei?"

"Ya. Dia baru selesai mandi—dan sebelum kalian salah paham, kami kehujanan begitu sampai di bawah villa."

"Eiii, kamu nggak perlu menjelaskan begitu. Hujan di mana-mana malam ini." Ucap Mrs. Jang sebelum lanjut bersuara. "Berikan ponselnya kepada Rei, Mama ingin bicara."

Haruto menyerahkan ponselnya dan Rei menerimanya dengan bingung. "Mama gue ingin bicara sama lo. Gue mau mandi dulu."

"Airnya terlalu panas, gue mengantisipasi kalau aja lo kaget."

Haruto mengangguk sebagai jawaban dan percakapan kecil mereka tentu saja menjadi bahan konsumsi keluarga Watanabe-Jang di Seoul.

B; rei • haruto (fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang